Senin, 17 September 2018

Asal Usul Kebudayaan Selamatan Kematian

ITU BUDAYA MAGHRIB MAROKO (Ulama penyebar Islam di tanah Jawa, Nusantara, Asia dll)

KENDURI= ZARDAH

Lintas Tradisi Kenduri dan Zardah
Ajaran Budha Siwa penuh dengan upacara keagamaan. Falsafah agama tersebut mengajarkan kehidupan damai dalam kesatuan, menerima apa yang menjadi takdir karena semuanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa (Sang Hyang Widiwasa). Kedamaian masyarakat mendorong terbukanya ragam budaya yang mewarnai kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya masyarakat Jawa lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri.

Sebelum masuknya Islam kepercayaan Wangsa Jawa masih diwarnai pemujaan kepada dewa dan leluhur sekaligus mendewakannya. Selain itu kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian dengan mengandakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak lagi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Ketika Islam masuk kenduri diisi dengan bacaan Tahlil dengan membuang unsur pemujaan arwah orang yang meninggal, digantikan do’a yang diperuntukkan bagi mayit.

Misalnya tradisi kenduri di Indonesia tidak hanya akibat hasil akulturasi budaya lokal saja namun ada kecocokan dengan ajaran Ulama Maghrib dari Maroko yang dikenal dengan Syeh Maulana Maghribi. Menengok Islam di Maroko saat ini sangat kultural dan ramah terhadap budaya lokal, sebagaimana yang berkembang di Indonesia. Beda dengan negara Arab lainnya seperti Saudi yang sebagian besar tidak mengenal kenduri.

Kenduri dalam bahasa Maghrib disebut “zardah”, pada beberapa hari tertentu pasca kematian salah seorang. Mereka membaca Alquran dan memilih surat-surat khusus seperti surat Yasin, al-Ikhlas, Muawidzatain, dan beberapa kalimat tayibah tahlil. Zardah dilakukan dengan dipimpin seorang imam diikuti tamu undangan secara melingkar persis seperti kenduri di Jawa. Banyak kesamaan lainnya misalnya, ada beberapa sekelompok orang yang memperingati hari berkabung di Maroko sejak hari pertama meninggalnya hingga hari ke-7 dan 40 setelah kematiannya.

Orang Maroko mempunyai tradisi yang unik saat menyajikan makanan, baik ketika Kenduri maupun jamuan makan lainnya. Mereka menyajikan menu makanan itu sebanyak tiga kali dan bahkan bisa lebih.
Misalnya, menu pertama berupa ikan laut, kemudian disusul dengan menu kedua yaitu ayam dan ketiganya berupa daging sapi atau kambing. Bahkan, mereka kalau menyajikan daging kambing terkadang berupa kambing utuhan (kambing guling) yang hanya dipotong kepala dan kakinya saja. Jadi, masaknya seperti masak ayam panggang (ingkung).

Islam masuk ke Jawa melalui akulturasi damai karena para pendakwah Islam yang datang ke Jawa adalah para santri ulama dan pedagang bukan para prajurit perang sehingga salah satu prakteknya adalah dengan melakukan perkawinan. Selain itu juga didukung oleh sifat tenggang rasa dari orang Jawa sendiri yang mudah menerima sesuatu dari luar.
Dalam perjalanan sejarahnya agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa, namun kuatnya tradisi membuat Islam mau tidak mau harus siap berakulturasi. Wujud akulturasi tersebut menjadi ajaran khas Jawa.

“Kenyataan ini telah menjadi dasar penelusuran sejarah, untuk menentukan madzab dan fiqih ulama dan waliyulloh yang masuk ke tanah Jawa, terlacak sebagaimana penyair terkenal Maroko, Abdul Wahid Ibn Asyir yang wafat pada tahun 1040 H dalam syairnya: Aqidahnya Asy’ariyah, fiqihnya imam Malik dan tarekat sufinya mengikuti Al Junaid”.

Sebelumnya saya sampaikan terlebih dahulu bahwa dengan tulisan ini saya tidak ada maksud untuk menjelek-jelekkan amaliyah dan tidak memojokkan orang ataupun organisasi tertentu. Maksud dari tulisan ini pada hakikatnya adalah untuk diri saya pribadi agar dalam menjalani ajaran Islam ini selalu berusaha sesuai yang dicontohkan Rasulullahberdasarkan ilmu agama yang sudah saya ketahui dalil-dalilnya.
Jangan saling menghakimi, jangan merasa dijelek-jelekkan, jangan merasa paling benar sendiri, silakan membaca sampai tuntas artikel ini dan renungkan dengan hati yang jernih. Boleh Anda tidak setuju dengan yang saya tulis ini akan tetapi jangan merasa dijelek-jelekkan amaliyahnya atau merasa dipojokkan karena tulisan ini tidak saya tujukan untuk orang atau organisasi tertentu, saya menulis ini berdasarkan pemahaman ilmu agama yang saya yakini kebenarannya. Kalau ada perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman mari kita kembalikan pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, ”lana a’maluna walakum a’malukum” (bagiku amalku bagimu amalmu).
 
Dari gambar tersebut di atas terlihat rangkaian dari janur kuning yang disebut penjor. Penjor tersebut bukan sekedar hiasan, namun dalam ajaran agama Hindu penjor tersebut ada maknanya, silakan menanyakan sendiri kepada pemilik ajarannya.
Kebanyakan umat Islam dalam menjalankan ajaran agama ini hanya berdasarkan warisan turun temurun dari apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dan dari apa yang dikatakan dan dilakukan oleh kyai-kyai mereka begitu saja tanpa menanyakan atau ditunjukkan dalil-dalilnya. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT sebagai berikut:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah Diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk. [Q.S. Al-Baqarah : 170]
Padahal sudah kita ketahui semua bahwa sebelum Islam datang di negara kita sudah ada agama-agama selain Islam. Berakar pada ajaran agama nenek moyang kita terdahulu inilah yang dipakai dasar kebanyakan umat Islam saat ini dalam menjalankan ajaran agama, misalnya acara-acara selamatan seperti acara selamatan 3 hari orang meninggal, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, penggunaan kembar mayang, menginjak telur pada acara pernikahan, acara selamatan 7 bulan kehamilan, selamatan sepasaran bayi, selapanan bayi, acara selamatan pada bulan suro, acara penempatan sesaji-sesaji, acara ruwatan dan sebagainya. Segala macam bentuk selamatan itu semua bukan dari ajaram Islam.  Dicari dalilnya dalam Al Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah pun tidak akan ditemukan karena itu memang bukan dari ajaran Islam. (Untuk mendapatkan informasi yang sahih, silakan mengunduh file audio ceramah mantan pendeta Hindu, ustadz Abdul Aziz, di menu DOWNLOAD pada blog ini, atau di sini: –> Abdul Aziz).
Apapun bentuk dan tujuannya, selamatan itu adalah perbuatan syirik, dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT karena itu perbuatan mensekutukan Allah. Dan yang lebih mencengangkan lagi, yang membuat hati kita menangis adalah bahwa sebenarnya segala macam bentuk selamatan tersebut adalah ajaran dari agama Hindu dan dalil-dalilnya tertulis dalam kitab Weda. Sungguh sangat menyedihkan ternyata kita selama ini sebagai orang Islam tapi mengamalkan ajaran dari agama Hindu. Informasi ini saya peroleh dari ceramah pengajian yang disampaikan Ustadz Abdul Aziz, yang mana Ustadz Abdul Aziz ini adalah mantan seorang pendeta Hindu dari kasta Brahmana yang sudah mendapat hidayah-Nya dengan memeluk agama Islam.
Kalau kita mengaku beragama Islam seharusnya kita tinggalkan segala amalan-amalan yang tidak kita ketahui dasar hukumnya, apalagi yang bukan berasal dari ajaran Islam itu sendiri. Kalau kita tahu itu bukan dari ajaran Islam maka harus kita tinggalkan, jangan campur adukkan antara yang haq dan yang bathil.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 208)
Mungkin Anda bisa bilang begini, kita kan orang Jawa yang hidup di tanah Jawa, kita bukan orang Arab. Okelah kalau Anda berpendapat begitu, tapi perlu diingat bahwa Islam itu diturunkan bukan hanya untuk orang Arab. Al Qur’an kitab suci umat Islam ini diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk umat Islam di Arab saja tapi untuk seluruh umat manusia, bahkan bukan hanya untuk umat Islam saja.
Mungkin ada orang atau organisasi yang merasa amaliyahnya dijelek-jelekkan atau dipojokkan dari tulisan saya ini, tapi sekali lagi tidak ada maksud dari saya untuk menjelek-jelekkan atau memojokkan, karena baik buruk itu bukan dari pendapat seseorang walaupun dia seorang kyai sekalipun akan tetapi baik buruk itu menurut Allah SWT. Coba perhatikan hadits-hadits berikut ini:
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Kami (para sahabat Nabi) menganggap berkumpul-kumpul ke rumah ahli mayit,  dan (keluarga si mayit) membuat makanan untuk orang-orang  sesudah dikuburnya itu termasuk meratap. [HR. Ahmad]
Coba direnungkan benar-benar dengan hati yang jernih apa yang saya sampaikan di atas. Tapi semua amalan itu kan tergantung niatnya, innamal a’malu bin niyat, seperti pada hadits berikut ini:
Dari Umar bin Khathab Ra. berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw.bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, ia akan sampai pada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya menuju dunia yang akan di perolehnya atau menuju wanita yang akan dinikahinya, ia akan mendapatkan apa yang dituju.” (HR. Bukhari & Muslim)
Saya berikan contoh seperti berikut ini:
1. Kita semua tahu kalau mencuri itu perbuatan dosa dan kita tahu kalau mencari nafkah itu perbuatan baik. Dengan menggunakan dalil di atas (innamal a’malu bin niyat), apakah orang yang sudah tahu kalau mencuri itu dosa kemudian diniatkan untuk mencari nafkah menjadikan perbuatan mencurinya itu jadi perbuatan baik? Tidak kan? Mencuri tetaplah dosa walaupun diniatkan untuk mencari nafkah.
2. Contoh kedua, ada seorang WTS (maaf hanya sebagai contoh saja), dia tahu kalau perbuatannya itu adalah perbuatan zina, karena tahu kalau zina itu dilaknat oleh Allah maka dia niatkan untuk shodaqoh dengan memberi kenikmatan kepada orang lain, yang dipakai dasar innamal a’malu bin niyat.  Bagaimanakah dengan perbuatan yang dilakukan WTS tersebut? Zina tetaplah zina walaupun niatnya baik.
3. Contoh ketiga, Si Fulan sedang bepergian dan pada waktu sholat Asar tiba dia mampir di masjid. Waktu masuk masjid Si Fulan mendapati orang yang baru takbiratul ihram untuk melaksanakan sholat. Tanpa pikir panjang Si Fulan langsung bermakmum pada orang tersebut, akan tetapi baru dapat dua rakaat orang tersebut langsung salam, artinya orang tersebut melaksanakan sholat sunnah. Si Fulan pun tidak ikut salam tetapi melanjutkan rakaatnya hingga empat rakaat. Bagaimanakah dengan sholat Si Fulan tadi? Berdasarkan hadits di atas, innamal a’malu bin niyat, orang yang dijadikan imam tersebut tetap mendapatkan pahala sholat sunah, sedangkan Si Fulan yang karena tidak tahu kalau yang dijadikan imam tersebut sholat sunnah maka Si Fulan tetap mendapatkan pahala sholat wajib karena niatnya memang sholat wajib.
Berdasarkan ketiga contoh di atas coba renungkan dengan hati yang jernih untuk menerima kebenaran ajaran Islam. Bagaimana kalau selamatan-selamatan itu kita niatkan untuk shodaqoh? Jawabnya bisa Anda temukan dari hasil renungan yang Anda lakukan. Ingat, sekali lagi renungkan dengan hati yang jernih, jangan kedepankan rasa kedengkian.
Begitulah pesan yang dapat saya sampaikan, kalau ada salah dalam penyampaian ataupun ada kesalahan dari apa yang saya sampaikan itu karena kebodohan saya yang belum tahu apa-apa tentang masalah agama, dan jika ada benarnya itu semata-mata dari Allah SWT. Walau ada perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman namun tetap jaga kerukunan. Yang bisa kita kerjakan bersama-sama mari kita kerjakan bersama, sedangkan yang tidak bisa kita kerjakan bersama karena perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman tersebut mari kita kerjakan sesuai yang kita yakini dan pahami. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Tolong artikel ini disharing biar ummat Islam dapat berpikir jernih tentang apa yang mereka amalkan selama ini karena dalam tulisan ini saya sertakan link download dari sumber yang dapat dipercaya kebenarannya.

Memahami dasar Iman



Sabtu, 14 April 2018

Konsep tentang persembahan

Meruntut Tentang Persembahan Dari Perjanjian Lama sampai perjanjian Baru.

 

MAKNA KORBAN DALAM KITAB IMAMAT

Tidak dapat disangkal kebanyakan orang khususnya kaum awam akan mengatakan Kitab Imamat adalah kitab yang sukar untuk dipahami, dan memang jika dibaca sepintas lalu kitab ini nampaknya kurang menarik dan bahkan jarang dipelajari ataupun diajarkan. Kitab Imamat sering kali tidak mendapat banyak tanggapan, bahkan kitab Imamat dianggap tidak penting dan lebih parah lagi  orang percaya terkesan mengabaikan kitab Imamat karena: Pertama, kitab ini sungguh-sungguh terasa asing bagi pembaca yang hidup pada masa kini. Persembahan-persembahan korban yang sangat ditekankan dalam kehidupan bangsa Israel terasa tidak penting bagi orang percaya saat ini sebab Tuhan Yesus sudah menggenapinya sebagai “kurban yang sempurna bagi Allah”. Kedua, tampaknya kitab Imamat hanya mengatur persoalan ibadah dalam Perjanjian Lama dan sudah tidak relevan lagi bagi kebutuhan masyarakat modern saat ini

Tetapi tidak semua orang Kristen memiliki pemikiran demikian. Meskipun kitab Imamat tidak menggelorakan semangat seperti halnya tulisan-tulisan Paulus tetapi kita akan mendapat banyak hal yang berarti jika membaca dan berusaha mengertinya. Karena jika kita perhatikan secara saksama, kitab Imamat adalah kitab yang paling banyak mengandung kata-kata Allah secara langsung dan juga kitab yang mengandung Injil. Misalnya Roy Gane dalam Commentarynya berkata:

True, this book of twenty-seven chapters contains more direct speech by God himself than any other book of the Bible and it is placed at the heart of the Torah or Pentateuch, which forms foundation for all of scripture. So even though Leviticus is the shortest book of the Pentateuch, we get the impression that it sould be important. (Benar, kitab ini dua puluh tujuh pasal berisi suara langsung dari Allah sendiri dari kitab-kitab lain dari Alkitab dan ditempatkan di jantung Taurat atau Pentateukh, yang membentuk dasar bagi semua tulisan suci. Jadi meskipun Imamat adalah kitab terpendek Pentateukh, kita mendapatkan kesan bahwa kitab ini begitu penting).
Tafsiran Alkitab Masa Kini juga menyatakan, “Inilah Injil PB bagi pendosa yang dinyatakan dalam istilah PL dan diejawatahkan dalam upacara-upacara korban; dan diungkapkan secara sempurna dalam upacara Hari Pendamaian.Selain itu kitab Imamat mempunyai teologi yang masih sah dan relevan dengan kata lain betapa pentingnya kitab ini dalam kehidupan gereja masa kini. Ernst Aebi yang dikutip oleh Achim Teschner misalnya mengungkapkan; “Mungkin kitab Imamat adalah kitab yang paling sering disalah mengerti. Bagi kebanyakan pembaca kitab ini terkunci. Namun dengan keterangan PB, melalui kurban Yesus Kristus, kitab Imamat menjadi salah satu kitab PL yang paling penting dan menarik.

Pada penulisan Uraian ini, dalam semangat untuk mengerti kebenaran Alkitab,  penulis mencoba menjelaskan tentang arti korban, serta pentingnya korban bagi umat Israel zaman PL, serta penulis akan menguraikan hubungan antara korban dalam PL dengan Karya penebusan Kristus Tuhan kita. Harapan penulis ketika membaca paper ini, kecintaan kita akan Firman Allah akan bertambah dan biarlah paper pendek  ini menjadi stimulan kita untuk lebih lagi mendalami dan melakukan Firman Tuhan setiap waktu. 

PEMBAHASAN

Secara umum  Kitab Imamat ini menceritakan tentang bagaimana umat Allah yang sudah di tebus, hidup dihadapan Allah yang Mahakudus. Seperti halnya apa yang dikatakan Gowan yang dikutip oleh R. Borrong, ia berkata  “Penulis kitab Imamat menuntut agar umat Allah merefleksikan sifat Allah dalam kehidupan umat.” Imamat, adalah nama kitab ketiga dari Pentateuch. Nama Imamat berasal dari Septuaginta melalui terjemahan Alkitab bahasa Latin, yang memberikan judul lengkap “kitab mengenai imam-imam”. Kitab ini ditulis oleh Musa. Kitab ini terbagi atas 27 pasal dan merupakan kitab yang ketiga dari kitab-kitab Perjanjian Lama. Kitab Imamat pada dasarnya adalah kitab peraturan atau kitab hukum-hukum yang diberikan Allah kepada umat-Nya melalui Musa di Sinai. Sehingga jika kita perhatikan isi kitab yang mendominasi adalah peraturan. LaSor dkk misalnya menjelaskan bahwa Isi Kitab Imamat dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu: 
1) Mengenai peraturan-peraturan tentang persembahan kepada Allah.
2) Peraturan di dalam kehidupan ibadah dalam persekutuan dengan-Nya. 

Dengan sepintas melihat pembagian Kitab imamat diatas bahwa Kitab Imamat terlihat suatu daftar peraturan. Dari sini terlihat bahwa kitab Imamat  adalah satu kitab yang berisikan peringatan dalam hal menjaga kekudusan sebagai umat Allah yang dinyatakan dengan berbagai peraturan salah satunya bagaimana mempersembahkan korban yang berkenan dihadapan Allah. 

I. PENGERTIAN  KORBAN  DALAM  KITAB  IMAMAT
Tidak dapat disangkal setiap agama bahkan setiap orang yang dikatakan beragama mempunyai pemahaman tentang korban yang berbeda-beda. Maka tidak heran ada banyak variasi dalam menentukan makna korban. Perkataan korban berarti persembahan. Korban dipahami sebagai persembahan kepada yang ilahi, sebagai pengganti manusia yang berdosa, atau santapan untuk dewa-dewa,dan sebagainya. Sistem korban ini secara tidak langsung mengungkapkan akan adanya sesuatu yang lebih besar dari manusia, karena korban itu dipersembahkan kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap lebih besar dari manusia. Dan manusia yang menyadari akan kesalahan-kesalahannya, memberikan korban kepada sesuatu yang lebih besar ini, sehingga akibat dari kesalahan-kesalahan tidak lagi ditimpakan kepada manusia yang melakukan kesalahan. Perlu kita perhatikan konsep korban oleh orang kafir dengan konsep korban orang Israel pada hakekatnya sangat berbeda. G. E. Wright dan Kuiper dalam buku mereka menjelaskan bagaimana konsep orang kafir mengenai korban tidak lepas dari anggapan anthropomorf tentang dewa. Dimana  antara manusia dan dewa terdapat ikatan kekeluargaan dan persamaan, sehingga para dewa menyerupai manusia. Dewa bergantung pada manusia demikian sebaliknya manusia bergantung kepada dewa. Disini berlakulah dasar pokok do ut des (aku memberi agar engkau memberi).

Namun lain halnya dengan korban dalam kitab Imamat sering dinyatakan untuk ’menebus’(Imamat 1:4, dst). Korban salah satu kelompok kata untuk ’persembahan’ yang berasal dari kata kerja ’untuk membawa dekat.”  Korban adalah sarana umat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah bukan karena umat bermasud minta balasan berdasarkan korban yang sudah diberikan, melainkan korban itu adalah korban sukarela kepada Allah juga sebagai tebusan atas pelanggaran umat kepada Allah. Sedangkan Adam Clarke yang dikutip oleh Pdt Budi Azali dalam artikelnya di internet berkata:

“‘Bring an offering.’ The word KORBAN, from KARAB, ‘to approach or draw near,’ signifies an offering or gift by which a person had access unto God: and this receives light from the universal custom that prevails in the east, no man being permitted to approach the presence of a superior without a present or gift; and the offering thus brought was called ‘korban,’ which properly means the introduction-offering, or offering of access” ( ‘Membawa suatu persembahan / korban’. Kata KORBAN, dari kata KARAB, ‘mendekat’, menunjukkan suatu korban atau pemberian dengan mana seseorang mendapat jalan masuk kepada Allah: dan ini mendapatkan terang dari kebiasaan universal yang berlaku di Timur, tak seorangpun diijinkan untuk mendekati seorang yang lebih tinggi tanpa suatu hadiah atau pemberian; dan persembahan yang dibawa itu disebut ‘korban’, yang secara benar berarti ‘korban yang mempersiapkan jalan’ atau ‘korban jalan masuk’).
Namun penulis tidak sepenuhnya menerima ungkapan di atas karena menurut hemat penulis  bahwa prinsip-prinsip di sini diberikan oleh Allah, bukan dari sistim agama lain, atau kebiasaan ibadat agama lain di sekitar Israel. Sekalipun kebiasaan universal yang dikatakan Clarke itu mungkin memang ada, itu tidak berarti bahwa peraturan-peraturan di sini mendapatkan terang dari kebiasaan universal itu. 

Menurut Imamat 7:37, ada lima korban yang termasuk dalam hukum dinyatakan Tuhan Allah kepada Musa di Gunung Sinai dan memerintahkan orang Israel mempersembahkan persembahan mereka di padang gurun Sinai. Kelima macam korban itu adalah korban bakaran, korban sajian, korban penghapus dosa, korban penebus salah dan korban keselamatan. Kelima macam korban tersebut mempunyai tujuan yang berbeda tetapi pada intinya sama yaitu sebagai pendamaian dan ucapan syukur. Dimana tindakan pendamaian di dalam kata ini berhubungan dengan sistim persembahan untuk menyelesaikan masalah dosa atau pelanggaran. 
Selanjutnya untuk upacara korban Dyrness berpendapat bahwa:
“Upacara korban dalam Perjanjian Lama berpusat pada kata kerja bahasa Ibrani kipper yang biasanya diterjemahkan dengan “mendamaikan” atau “menutupi” (Imamat 1:4). Arti dasarnya barangkali “menutupi” atau “menghapuskan”. Atau kata kerja ini menunjuk kepada proses penebusan atau pendamaian dengan membayarkan sejumlah uang atau upeti, yang mencerminkan arti kata benda Ibrani koper (“harga tebusan”). Berdasarkan konteks alkitabiah (terutama Imamat 17:11), arti terakhir ini paling tepat mencerminkan konsep Ibrani.”   

Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa korban-korban yang dipersembahkan oleh Israel kepada Allah dalam Perjanjian Lama adalah merupakan pengganti (substitusi) nyawa mereka sendiri. Gagasan ini jelas terlihat dalam peristiwa korban-korban yang dicurahkan darahnya. Dalam hal ini, darah bukan unsur yang mengandung tenaga gaib, tetapi diterima Allah sebagai pengganti nyawa atau sebagai tebusan orang yang beribadah itu.

II. PENTINGNYA  KORBAN  DALAM  PL                      
Melihat definisi korban itu sendiri sebenarnya sudah mengisyaratkan betapa pentingnya korban itu sendiri. Jika diperhatikan lebih jauh  mengapa dalam kitab Imamat sangat ditekankan persembahan korban dimana pasal satu sampai pasal tujuh dengan detail membahas peraturan-peraturan  persembahan korban yang harus dilakukan oleh umat Tuhan pada waktu itu, jelaslah betapa pentingnya korban itu di dalam Perjanjian Lama. 

Jika kita perhatikan persembahan korban binatang merupakan tema penting dalam seluruh Kitab Suci. Ketika Adam dan Hawa berdosa, Allah mengorbankan binatang untuk menyediakan pakaian bagi mereka (Kejadian 3:21). Kain dan Habel membawa persembahan kepada Allah. Persembahan Kain tidak diterima karena dia mempersembahkan buah-buahan sedangkan persembahan Habel diterima karena dia mempersembahkan "anak sulung dari kambing dombanya" (Kejadian 4:4-5). Setelah banjir surut, Nuh mempersembahkan binatang kepada Allah. Persembahan Nuh ini merupakan persembahan yang berbau harum yang menyenangkan Tuhan (Kejadian 8:20-21). Allah memerintahkan Abraham untuk mempersembahkan Ishak anaknya. Abraham taat kepada Allah, namun ketika Abraham siap mempersembahkan Ishak, Allah campur tangan dan menyediakan seekor domba jantan untuk mati menggantikan Ishak (Kejadian 22:10-13). Korban adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam ibadat orang Israel.

Sistem persembahan mencapai puncaknya pada zaman bangsa Israel. Allah memerintahkan bangsa ini untuk menjalankan berbagai persembahan. Seperti halnya yang diungkapkan Dr. G.E Wright; “ Ia telah memerintahkan agar kebaktian korban dilakukan sebagai cara untuk memuliakan nama-Nya, ini digunakan untuk memelihara persekuatuan dengan Allah yaitu persekutuan yang terjadi oleh perjanjian. Menurut Imamat 1:1-4 ada prosedur tertentu yang harus diikuti dan tentunya ditaati. Pertama-tama, binatang tersebut harus tak bercacat. Kemudian orang yang mempersembahkan harus mengidentifikasikan atau menyamakan dirinya dengan binatang itu yang arti simbolisnya berarti kematian korban melambangkan kematian orang berdosa. Kemudian orang yang mempersembahkan harus membunuh binatang itu. Ketika dilakukan dengan iman, persembahan ini menyediakan pengampunan untuk dosa-dosa. Pulpit Commentary menjelaskan begini: “The offerer’s  faith is truly needful as the victim he brings. ‘Without faith it is impossible to please God’ (= Iman dari si pemberi korban sama perlunya seperti korban yang ia bawa. ‘Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.’), Ibr 11:6  “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah”. Dalam Imamat 4,5,6 dan 7 diuraikan kepada kita hukum-hukum korban penghapus dosa dan korban penebus salah. Korban penghapus dosa bermaksud memperbaiki hubungan dengan Allah kembali dan untuk menebus dosa. Korban penghapus dosa ini dipersembahkan pada hari Pendamaian Besar untuk menebus dosa pada imam dan segenap bangsa Israel. Sedangkan korban pengahapus salah adalah korban ganti rugi kepada orang yang dirugikan.Begitupun mengenai korban bakaran, korban sajian, dan korban keselamatan semuanya dijelaskan dengan detail dalam kitab Imamat. Lihat setiap korban memiliki rincian yang begitu rumit tetapi disitulah sebenarnya terdapat makna yang penting dan seorang imam serta si pemberi korban tidak boleh mengabaikannya. Tentunya bukan tidak ada alasan Alkitab mencatatnya ini menyatakan kepada kita bahwa konsep korban dalam PL sangat penting dan umat Tuhan tidak boleh melepaskannya dari kehidupan mereka.
Jadi dengan persembahan korban manusia diberi kesempatan untuk memuliakan dan menghormati Tuhan yang hidup, memelihara persekutuan dengan Dia dan melalui korban manusia diberi kesempatan menerima penebusan ketika manusia melakukan dosa tetapi itu adalah sementara. Namun korban khusunya dalam PL adalah sesuatu yang sangat penting dan begitu ditekankan.

III. KORBAN  DALAM  PL  MENGACU  PADA  PENGORBANAN  KRISTUS
Korban-korban dalam Perjanjian Lama hanya merupakan tebusan sementara untuk dosa dan takkan pernah dapat menjadikan umat yang mempersembahkan secara sempurna, seluruh umat para imam mereka juga harus mempersembahkan korban dari tahun ke tahun. Karena inilah kehendak Allah kepada umat-Nya. Namun usaha manusia yang bersifat agamawi tidak dapat membuat mereka masuk ke dalam keadaan yang layak di hadapan Allah yang maha kudus. Kelayakan tersebut sepenuhnya datang dari Allah.

Dosa memang merusak hubungan manusia dengan Allah dan menjadikan rintangan bagi manusia untuk datang kepada Allah. Kitab Imamat memberikan gambaran bahwa untuk mengatasi rintangan yakni dengan ibadat korban. Hal ini merupakan sifat yang asasi dari Allah dalam Perjanjian Lama maupun  Perjanjian Baru. Korban dalam Kitab Imamat mempunyai pembatasan sebab hanya bisa menghapus dosa yang tidak disengaja atau bahkan ini hanya bersifat ritual. Berbeda dengan konsep korban dalam perjanjian Baru.

Paulus menekankan bahwa Kematian Yesus di kayu salib menyatakan kebenaran dan keadilan Allah. Penulis surat Ibrani menyatakan dengan sangat jelas adalah korban yang satu-satunya yang perlu membebaskan kita dari dosa, dan korban Tuhan Yesus bersifat kekal atau selamanya. Hal ini membuktikan bahwa Allah tidak mau manusia binasa. Oleh karena itu Kristus telah mati sebagai korban yang dipersembahkan oleh Allah untuk memenuhi tuntutan keadilan Allah yang dinyatakan untuk penyelesaian dosa manusia. Dengan demikian keberadaan manusia diperdamaikan kembali dengan Allah dan manusia melalui pengorbanan Tuhan Yesus kembali memperoleh keberadaan manusia sebelum manusia berdosa. Korban identik dengan persembahan yang dimana ada tujuan yang hendak dicapai. Korban dalam kitab Imamat membawa kita pada pengertian tentang penebusan Kristus bagi dosa manusia.

Pendamaian darah dan kekudusan hidup yang begitu ditekankan dalam kitab Imamat sangat erat kaitannya dengan karya pendamaian Kristus dan kekudusan hidup orang percaya dalam perjanjian baru. Perjanjian Baru mengajarkan bahwa darah pendamaian dari binatang yang dikorbankan, hal yang menonjol dalam kitab Imamat, hanyalah "bayangan saja dari keselamatan yang akan datang" (Ibr 10:1) dan menunjuk kepada Kristus sebagai korban penghapus dosa yang dipersembahkan satu kali untuk selama-lamanya (Ibr 9:12). Perintah untuk hidup kudus dapat dicapai sepenuhnya oleh orang percaya melalui darah Kristus yang mahal (1 Ptr 1:15). 

Coba perhatikan ruang yang Allah berikan untuk Kitab Imamat. Hanya 27 ayat dalam Kejadian yang digunakan untuk menjelaskan seluruh Penciptaan, tetapi ada 27 fasal yang dibutuhkan untuk menjelaskan bagaimana kita menjalani kehidupan yang berkenan kepada Tuhan. Selain itu, kitab ini dikutip lebih dari 80 kali dalam Perjanjian Baru. Korban-korban dalam Kitab Imamat merupakan penjelasan yang paling lengkap dalam seluruh Alkitab mengenai karya penebusan Juruselamat bagi dosa manusia. 

Pada akhirnya terlihat bahwa semua ketentuan peribadatan Perjanjian Lama bersifat sementara. Ia harus selalu diulang-ulang. Penulis kitab Ibrani selanjutnya menyebutkan bahwa tindakan peribadatan ataupun korban-korban yang dipersembahkan secara berulang-ulang di dalam Perjanjian Lama justru menunjukkan bahwa korban tersebut sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa. Itu sebabnya, diperlukan suatu pengorbanan yang sempurna yang hanya satu kali dilakukan dan hal itu menunjuk kepada Kristus sendiri (Ibrani 10:11-12).  Seperti halnya yang di ungkapkan LaSor dkk : “Dalam Perjanjian Baru kurban berupa kambing dan domba dianggap lambang saja, “sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa (Ibr. 10:4). Sedangkan, darah Kristus yang dipersembahkan sekali untuk selama-lamanya merupakan kurban yang sempurna.”

Selanjutnya hari raya-hari raya Israel melukiskan tentang tindakan penyelamatan Allah di dalam waktu yang pernah mereka lalui. Paskah misalnya merupakan hari raya yang dilakukan sebagai peringatan terhadap tindakan penyelamatan yang dilakukan Allah terhadap Israel dari perbudakan Mesir. Dengan hari raya-hari raya tersebut, Israel memperingati bahwa Tuhan yang telah melepaskan mereka di masa lampau. Uniknya, 1 Korintus 5:7 menyebutkan secara jelas bahwa domba Paskah itu menunjuk kepada diri Kristus sendiri. 
Jadi di sini pun jelas terlihat bahwa baik upacara keagamaan maupun hari raya-hari raya yang diwajibkan kepada Israel pada masa Musa (diturunkannya Taurat) merujuk kepada keselamatan yang akan datang atau diwujudkan kelak di dalam Tuhan Yesus Kristus. R. Laird Harris berkata: “ The need for for various sacrifices arises from the varied needs of a people's worship. The New Testament makes clear that all the sacrifices of Israel were symbolic and typical of Christ's sacrifice.” (Kebutuhan untuk berbagai pengorbanan timbul dari beragam kebutuhan ibadah rakyat. Perjanjian Baru membuat penjelasan bahwa semua pengorbanan Israel  ini adalah simbolis dan khas/tipikal dari pengorbanan Kristus). Jelaslah kepada kita bahwa konsep korban dalam PL sebenarnya adalah gambaran dari korban yang di berikan Kristus yang menebus dosa. Yesus Kristuslah yang mendamaikan kita dengan Allah. Dia menderita dan mati sebagai korban yang tak bercacat bagi manusia yang berdosa.



KESIMPULAN

Seluruh korban dalam PL menunjuk kepada satu korban, yaitu Kristus, yang selama-lamanya menghapus dosa seluruh dunia. Korban-korban itu menjadikan kematian Kristus penting dalam rencana keselamatan dari Allah. Jadi makna sistem korban itu  intinya sebenarnya mengacu pada pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai tebusan bagi dosa umat manusia. Korban dalam kitab Imamat ini penting karena memberikan kepada kita latar belakang untuk memahami kebenaran sentral iman Kristen mengenai pengorbanan Kristus yang menebus kita dari dosa

persembahan binatang dalam Perjanjian Lama?

Pertanyaan: Mengapa Allah menuntut persembahan binatang dalam Perjanjian Lama?

Jawaban: Allah menuntut persembahan binatang supaya umat manusia dapat memperoleh pengampunan bagi dosa-dosa mereka (Imamat 4:35; 5:10). Persembahan binatang adalah tema penting dalam seluruh Kitab Suci. 
Ketika Adam dan Hawa berdosa, Allah mengorbankan binatang untuk menyediakan pakaian bagi mereka (Kejadian 3:21). 
Kain dan Habel membawa persembahan kepada Allah. Persembahan Kain tidak diterima karena dia mempersembahkan buah-buahan, sedangkan persembahan Habel diterima karena dia mempersembahkan "anak sulung dari kambing dombanya" (Kejadian 4:4-5). 
Setelah banjir surut, Nuh mempersembahkan binatang kepada Allah. Persembahan Nuh ini merupakan bau harum yang menyenangkan Tuhan (Kejadian 8:20-21). 
Allah memerintahkan Abraham untuk mempersembahkan Ishak anaknya. Abraham taat kepada Allah, namun ketika Abraham siap mempersembahkan Ishak, Allah campur tangan dan menyediakan seekor domba jantan untuk mati menggantikan Ishak (Kejadian 22:10-13). 
Sistem persembahan mencapai puncaknya pada zaman bangsa Israel. Allah memerintahkan bangsa ini untuk melakukan berbagai persembahan. Menurut Imamat 1:1-4 ada prosedur tertentu yang harus diikuti. Pertama-tama, binatang tersebut harus tak bercacat. Kemudian orang yang mempersembahkan harus mengidentifikasikan dirinya dengan binatang itu. 
Kemudian orang yang mempersembahkan harus membunuh binatang itu. Ketika dilakukan dengan iman, persembahan ini menyediakan pengampunan untuk dosa-dosa. 

Korban persembahan lainnya disebut Hari Pendamaian, digambarkan dalam Imamat 16 yang melukiskan pengampunan dan penghapusan dosa. Imam Besar mengambil dua domba jantan untuk korban penghapus dosa. Salah satu dari domba tersebut dikorbankan sebagai korban penghapus dosa bagi seluruh umat Israel (Imamat 16:15), sementara domba satunya dilepaskan di padang gurun (Imamat 16:20-22). 
Korban penghapus dosa menyediakan pengampunan, sementara domba yang lain itu menyediakan penghapusan dosa. 
Kalau begitu mengapa kita sekarang tidak mempersembahkan binatang? Persembahan binatang telah berakhir karena Yesus Kristus itulah persembahan yang paling utama. 
Yohanes Pembaptis mengenali hal ini ketika dia melihat Yesus untuk pertama kalinya. “Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). 
Anda mungkin bertanya kepada diri sendiri, mengapa binatang? Apa salah mereka? Itulah poinnya, binatang-binatang tersebut tidak bersalah, tapi mereka mati untuk menggantikan orang yang memberi persembahan.

Yesus Kristus juga tidak bersalah namun dengan sukarela menyerahkan diriNya untuk mati bagi dosa-dosa umat manusia (1 Timotius 2:6). Banyak orang yang menyebut mati untuk orang lain ini sebagai penggantian. Yesus Kristus menanggung dosa kita dan mati menggantikan kita. 
Sebagaimana dikatakan oleh 2 Korintus 5:21, “Dia [Yesus] yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya [Allah] menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” Melalui iman kepada karya salib Yesus, seseorang dapat memperoleh pengampunan. 
Secara ringkas, persembahan binatang diperintahkan Allah supaya manusia bisa memperoleh pengampunan dosa. Binatang menjadi pengganti – yaitu binatang mati untuk orang yang berdosa. Persembahan binatang sudah tidak diperlukan setelah karya salib Yesus Kristus.
Yesus Kristus adalah korban yang paling besar dan menjadi satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia (1 Timotius 2:5). Persembahan binatang melambangkan persembahan yang dilakukan Kristus bagi kita. 

Satu-satunya dasar di mana persembahan binatang dapat menyediakan pengampunan dosa adalah fakta bahwa Kristus bersedia mempersembahkan diriNya bagi dosa-dosa kita. Ia menyediakan pengampunan sejati yang hanya dapat dilukiskan dan dilambangkan oleh persembahan binatang.


Perjanjian Lama keras sekali berbicara soal korban. Sementara Perjanjian Baru tidak pernah menyinggung tentang hal ini sekalipun. Topik tentang korban persembahan ini menjadi sangat penting karenahal ini mengarah pada dua makna utama yaitu karya kematian-Nya di kayu salib dan juga korban untuk perdamaian.

Dalam Imamat dicatat tentang 5 jenis korban persembahan bagi Tuhan, yaitu:
1. Korban Bakaran
"Api yang di atas mezbah itu harus dijaga supaya terus menyala, jangan dibiarkan padam. Tiap-tiap pagi imam harus menaruh kayu di atas mezbah, mengatur korban bakaran di atasnya dan membakar segala lemak korban keselamatan di sana. Harus dijaga supaya api tetap menyala di atas mezbah, janganlah dibiarkan padam." (Imamat 6: 12-13)
Ini adalah simbol pengertian jemaat bahwa mereka seharusnya sudah binasa. Korban bakaran juga sekaligus menjadi pernyataan syukur karena telah diperdamaikan kembali dengan Allah. Caranya, dengan membawa ternak terbaik dan sebelum disembelih, tangan si pemilik harus diletakkan di atas kepala binatang itu.
2. Korban Sajian
"Apabila seseorang hendak mempersembahkan persembahan berupa korban sajian kepada TUHAN, hendaklah persembahannya itu tepung yang terbaik dan ia harus menuangkan minyak serta membubuhkan kemenyan ke atasnya." (Imamat 2: 1)
Korban ini dipersembahkan setelah mendapatkan nafkah hidup. Pada jaman itu, hanya ada dua macam nafkah hidup yaitu pertanian dan peternakan. Kemudian sepersepuluh hasil terbaik dipersembahkan demi kemuliaan Tuhan. Tapi, tak semuanya dibakar di atas mezbah melainkan hanya sebagian saja sebagai tanda ucapan syukur dan juga melambangkan bahwa hidup manusia adalah anugerah Tuhan.
3. Korban Keselamatan
"Dan Yakub mempersembahkan korban sembelihan di gunung itu. Ia mengundang makan sanak saudaranya, lalu mereka makan serta bermalam di gunung itu." (Kejadian 31: 54)
Korban ini berupa ternak tak bercela yang dibawa ke hadapan Tuhan. Korban ini tidak berurusan dengan dosa melainkan sebagai bakaran bagi Allah setiap kali datang ke bait-Nya. Sebelum disembelih, si pemilik juga harus meletakkan tangan di atas kepala binatang korban sebagai lambang keselamatan yang dianugerahkan Tuhan baginya sehingga tidak binasa dalam dosa.
4. Korban Penghapus Dosa
"TUHAN berfirman kepada Musa: "Katakanlah kepada orang Israel: Apabila seseorang tidak dengan sengaja berbuat dosa dalam sesuatu hal yang dilarang TUHAN dan ia memang melakukan salah satu dari padanya,maka jikalau yang berbuat dosa itu imam yang diurapi, sehingga bangsanya turut bersalah, haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN karena dosa yang telah diperbuatnya itu, seekor lembu jantan muda yang tidak bercela sebagai korban penghapus dosa. Ia harus membawa lembu itu ke pintu Kemah Pertemuan, ke hadapan TUHAN, lalu ia harus meletakkan tangannya ke atas kepala lembu itu, dan menyembelih lembu itu di hadapan TUHAN." (Imamat 4: 1-4) 
Ini melambangkan kesadaran manusia (termasuk para imam) akan dosa lalu bersedia mengaku. Korban tersebut berupa lembu jantan muda yang disembelih dan dibakar di atas mezbah namun hanya lemak, isi perut, buah pinggang serta umbai hatinya sebagai bagian terharum. Sedangkan seluruh bagian lain harus dibakar di luar perkemahan karena Kemah Pertemuan tidak boleh dicemari.

5. Korban Penebus Salah
"Jikalau yang berbuat dosa dengan tak sengaja itu segenap umat Israel, dan jemaah tidak menyadarinya, sehingga mereka melakukan salah satu hal yang dilarang TUHAN, dan mereka bersalah, maka apabila dosa yang diperbuat mereka itu ketahuan, haruslah jemaah itu mempersembahkan seekor lembu jantan yang muda sebagai korban penghapus dosa. Lembu itu harus dibawa mereka ke depan Kemah Pertemuan." (Imamat 4: 13-14)

Korban ini dilakukan setelah berbuat dosa tanpa sengaja karena kelalaian. Misalnya, secara tak sengaja melupakan janji dengan seseorang atau menabrak binatang piaraan orang lain hingga mati. Imamat mengajarkan bahwa si pelaku harus mengganti kerugian lalu mempersembahkan korban di bait Allah.
Korban persembahan di atas dicatat lengkap di dalam Imamat karena hal itu begitu penting bagi Allah. Dia bahkan menegakkan peraturan ini dengan sangat ketat dan serius.
Hal ini dilakukan agar manusia memahami tiga hal penting tentang persembahan:
- Persembahan merupakan gambaran keseriusan dan ketergantungan manusia kepada Tuhan.
- Persembahan menjadi media untuk mengingatkan bahwa manusia membutuhkan Tuhan di tengah rusaknya dunia ini. Manusia membutuhkan kebijaksanaan, anugerah, belas kasihan dan berkat dari Tuhan.
- Persembahan bukanlah sembarang persembahan melainkan sebuah korban yang begitu berharga. Karena itulah Allah memerintahkan agar manusia mempersembahkan korban terbaik.

 

 

PERSEMBAHAN  DALAM  PERJANJIAN  LAMA



Mengapa kita mempelajari persembahan dalam PL? Satu-satunya alasan terbaik adalah bahwa pada jaman Yesus, tidak ada pengurangan peraturan persembahan. Justru yang ada adalah peningkatan kualitas persembahan itu. Benarkah? Mari kita telusuri secara singkat bagian demi bagian dari tulisan ini.
BENTUK AWAL
Persembahan dalam PL, dalam bentuk awalnya dapat kita temukan dalam kisah Kain dan Habel (Kej.4:3-4 “minchah”- memberikan). Juga pada saat Abram mendirikan mezbah, setelah TUHAN menampakkan diri kepadanya (Kej 12:7-8  “mizbeach” akar kata “zabach” - memberikan). Lalu, ketika Abram bertemu dengan Melkisedek, ia memberikan sepersepuluh dari semua jarahan (Kej 14:18-20 “ma`aser – bagian kesepuluh). Ia memberikannya karena Allahlah yang telah menyerahkan musuhnya kepadanya.
· Dari semua kisah awal ini, persembahan bermakna ungkapan syukur atas berkat Tuhan dan pernyataan kebergantungan kepada Tuhan.

TIGA JENIS PERSEMBAHAN
1.      Persembahan Khusus
Ketika Musa mendapat perintah TUHAN untuk mendirikan Tabernakel (Kemah Suci), TUHAN meminta umat Israel untuk memberikan persembahan khusus (Kel 25:1-7; 35:4-19,20-29). Persembahan khusus ini dipungut, tetapi diberikan menurut dorongan hati masing-masing. Persembahan ini juga disebut persembahan sukarela.
· Persembahan ini diberikan untuk tujuan-tujuan khusus yang TUHAN tetapkan. Merupakan ‘senyawa’ dari kewajiban-sukarela.
2.      Persembahan Korban
Dalam ibadah PL, ada beberapa persembahan wajib yang disebut korban. Di antaranya: korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus dosa, dan korban penebus salah, dll (Imamat 1-5).
· Korban-korban ini merupakan bayang-bayang dari penebusan Kristus (atau digenapi oleh penebusan Kristus melalui pengorbanan diri-Nya - Kol 2:17; 1 Petrus 1:18-19).
3.      Persembahan Persepuluhan
Ketika Israel ada di pandang gurun, mereka memberontak kepada Tuhan dengan membuat patung anak lembu emas (Kel 32). Lalu Musa meminta siapapun yang berdiri di pihak TUHAN bergabung dengan dia (ay.25-26). Lewi berada di pihak TUHAN. Lewi berbakti kepada TUHAN (ay.29), menjadi suku khusus yang melayani TUHAN (bersama imam Harun dan keluarganya).
Pada saat pembagian tanah milik pusaka, suku-suku Israel mendapat tanah, tetapi Lewi tidak. Suku-suku lain dapat mengerjakan tanah untuk mendapat nafkah kehidupan, sedangkan Lewi tidak, karena Lewi bekerja melayani TUHAN dan menyelenggarakan ibadah kepada TUHAN (Bil 3:12). Maka supaya mereka juga mendapat makanan, TUHAN menetapkan Lewi mendapatkan persembahan persepuluhan dari suku-suku Israel (Bil 18:21). Para Lewi juga harus memberikan persembahan kepada imam(Bil 18:25-28).
· Ini adalah kearifan ilahi - sebelas suku Israel menghidupi satu suku Lewi, satu suku Lewi menghidupi satu kaum imam! Prinsip: kesetaraan taraf kehidupan! Dalam perkembangan selanjutnya, persembahan persepuluhan diperuntukkan bagi tiga kepentingan: para Lewi, orang miskin (orang asing, anak yatim dan janda),  dan perayaan (Ulangan 14:23, 26:12).
Pada jaman setelah Hakim-Hakim sampai Nabi-Nabi, persembahan persepuluhan tetap berlangsung dengan pengorganisasian yang lebih baik. Ada rumah perbendaharaan di Bait Allah, sebagai tempat mengumpulkan persembahan (Neh 10:38; 12:44). Demikianlah ketika Maleakhi mengumumkan tegurannya (Mal 3:10). Sistem diorganisir dengan baik, tujuan tetap sama.
IMPLIKASI
1.  Persembahan adalah ungkapan syukur dan pernyataan kebergantungan kita kepada TUHAN. Memberikan persembahan adalah sebuah kehormatan untuk menyatakan diri berada di bawah berkat TUHAN. Memberikan sedikit karena pelit tidak memberikan benefit  apapun. Memberikan dengan tidak rela sama saja dengan menyatakan tidak percaya bahwa semua yang kita punya berasal dari TUHAN.
2. Persembahan korban penebus dosa/salah tidak diperlukan karena pengorbanan Kristus telah menggenapinya. Bahkan kalau kita mau tetap mengikuti sistem PL dalam penebusan dosa, kita tidak mungkin memenuhinya.
3. Perjanjian Baru tidak pernah menghapus jenis persembahan khusus dan persepuluhan (Mat 23:23). Bahkan bila kita mau jujur, kualitasnya didorong sampai titik tertinggi (keadilan, belas kasih, kesetiaan). Surat Roma justru menegaskan bahwa bukan hanya sepersepuluh, tetapi seluruh (Rom 12:1). Bait Allah disebut ‘rumah persembahan’ (the house of sacrifice – 2 Taw 7:12). Biarkan hidup kita jadi the house of sacrifice.


PERSEMBAHAN  UMAT P ERJANJIAN  BARU

A. Pendahuluan.
Berbagai pandangan tentang persepuluhan telah dipertanyakan oleh banyak orang Kristen yang dengan segenap hati ingin hidup menyenangkan Tuhan.  Pertanyaannya antara lain adalah:
· Apakah hukum persepuluhan masih berlaku bagi umat Perjanjian Baru?
· Apakah benar bahwa kalau tidak memberikan persepuluhan ke gereja adalah sama dengan menipu Tuhan sebagaimana dikhotbahkan beberapa pengkhotbah berdasarkan Mal 3:10? Apakah kita melanggar perintah Tuhan dalam Ul 16:16, kalau tidak memasukkan uang ke kantong kolekte?
· Apakah persepuluhan harus kita serahkan kepada gereja atau langsung kepada pelayan Firman?
· Bolehkah sebagian dari persepuluhan yang sudah kita sisihkan, diberikan kepada orang miskin yang datang kepada kita meminta bantuan?
· Kepada siapa saja, Tuhan kehendaki kita memberi?
Tulisan ini dimaksudkan untuk menolong orang Kristen merenungkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dalam terang firman Tuhan yakni Alkitab, sehingga dengan pertolongan Roh Kudus yakni Roh Kebenaran itu, setiap orang Kristen akan dipimpin kedalam kebenaran mengenai persembahan persepuluhan dalam hubungannya dengan praktek memberi oleh umat Perjanjian Baru.

B. Umat Perjanjian Baru.

Tuhan telah mengikat diri-Nya melalui perjanjian dengan satu umat yang dipilih-Nya yakni umat Israel. Israellah umat perjanjian lama itu. Umat itu diberikan hukum Taurat sebagai bagian dari perjanjian. Tuhan menjanjikan berkat bagi umat itu kalau mereka melakukan hukum itu dan kutuk kalau mereka melanggarnya. Ternyata umat Israel melanggar perjanjian itu dan tidak melakukan hukum Taurat sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
Tuhan yang setia dengan janji-Nya memberikan suatu perjanjian baru untuk menggantikan perjanjian yang lama itu. Perjanjian yang baru itu sangat berbeda dari perjanjian lama yang telah dilanggar oleh Israel itu. Sesuai nubuat Nabi Yeremia (Yer.31:31-34) dan Nabi Yehezkiel (Yeh.36:26-27), ciri umat perjanjian baru itu adalah:
· Taurat Tuhan ditaruh dalam batin dan dituliskan dalam hati orang.
· Semua orang mengenal Tuhan.
· Dosa dan kesalahan orang diampuni Tuhan dan tidak diingat lagi.
· Orang diberikan hati yang baru yakni hati yang taat dan roh yang baru.
· Roh Tuhan akan tinggal dalam orang dan memampukan orang melakukan kehendak-Nya.

Perjanjian Baru itu mulai dialami dengan datangnya Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia, lahir di Betlehem 2000 tahun lalu, mati disalibkan, bangkit pada hari ketiga, naik ke Sorga dan mencurahkan Roh Kudus untuk memenuhi orang yang percaya kepada-Nya. Orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan menerima Roh Kudus itulah umat perjanjian baru. Ciri khas dari orang-orang yang termasuk umat perjanjian baru itu dapat dibaca dalam https://perintahkristus.wordpress.com/ciri-khas-orang-kristen-yang-menjadi-berkat.
Umat perjanjian baru itu tidak berada lagi dibawah hukum Taurat yang ada diluar dirinya melainkan hidup dipimpin oleh Roh Kudus yang ada dalam dirinya. Orang yang hidup dipimpin oleh Roh tidak hidup lagi dibawah hukum Taurat (Gal 5:18). Tuhan yang memberikan Taurat itu  tinggal dalam diri tiap orang percaya dengan Roh-Nya yang kudus. Roh Kudus itulah yang memimpin dan memampukan umat perjanjian baru melakukan segala kehendak Tuhan sehingga tidak akan gagal lagi seperti umat perjanjian lama (Israel). Roh Kudus itu adalah Roh dari Yesus Kristus yang telah menggenapi hukum Taurat.
Setiap orang yang telah memercayakan dirinya kepada Yesus Kristus sekali untuk selamanya dan melakukan segala perintah Kristus dengan dipimpin oleh Roh Kudus, berarti orang itu dalam Yesus Kristus sudah menggenapi hukum Taurat.

C. Persepuluhan dalam Kitab Perjanjian Lama.

Istilah persepuluhan dalam Alkitab pertama kali muncul dalam cerita tentang pertemuan Abraham dan Melkisedek. Abraham memberikan persepuluhan secara suka rela (bukan diwajibkan) sebagai pengakuan atas kedaulatan Allah Yang Mahatinggi yang telah memberkatinya. Makna dari peristiwa ini menjadi jelas dalam Kitab Perjanjian Baru (Ibr 7) yakni bahwa keimaman Kristus lebih tinggi dari keimaman dalam hukum Taurat.
Kemudian, Yakub waktu lari dari Esau, dan setelah berjumpa dengan TUHAN di Betel,  juga secara suka rela (bukan wajib) berjanji akan memberikan persepuluhan kepada Tuhan (Kej 28:22) meskipun belum ada hukum Taurat.
Selanjutnya, persepuluhan menjadi hukum yang wajib dilaksanakan oleh umat perjanjian lama (Israel) sebagaimana ditentukan dalam kitab Taurat. Tujuan persepuluhan dalam hukum Taurat berkaitan dengan pekerjaan pada Kemah Pertemuan, dimana orang Lewi dikhususkan Tuhan untuk pekerjaan itu. Persepuluhan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kemah Pertemuan atau yang kemudian menjadi Bait Allah yang di Yerusalem. Hukum persepuluhan sebagaimana ditentukan dalam kitab Taurat (Ul 12:6-17; 14:22-29; 26:12-15; Im 27:30-33; Bil 18:21-32),  hanya mungkin dilaksanakan dalam sistem persembahan agama Yahudi yang berpusat pada Bait Allah. Persepuluhan merupakan hukum wajib dalam agama Yahudi sampai Bait Allah dihancurkan tahun 70 Masehi.

D. Persepuluhan dalam Kitab Perjanjian Baru

Dalam Kitab Perjanjian Baru tidak terdapat anjuran  untuk memberlakukan persepuluhan sebagai cara pemberian umat Perjanjian Baru. Persepuluhan disebutkan hanya dalam tiga kali kesempatan dan bukan untuk menganjurkannya.
Yang pertama, persepuluhan disebutkan ketika Tuhan Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mementingkan persepuluhan tetapi mengabaikan hal yang lebih penting (Mat 23:23; Luk 11:42). Perkataan Tuhan Yesus dalam Mat 23:23b yakni  “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”, menunjukkan sikap yang konsisten mendukung sistem agama Yahudi yang berlaku saat itu, namun bukan untuk menyatakan bahwa hukum persepuluhan itu berlaku atas pengikut-Nya. Tuhan Yesus dalam beberapa kesempatan juga misalnya menyuruh orang yang disembuhkan-Nya memperlihatkan diri kepada Imam sesuai Taurat, namun bukan berarti perintah itu dimaksudkan untuk dilakukan oleh pengikut-Nya.
Yang kedua merupakan kecaman Kristus kepada orang Farisi yang merasa benar karena melakukan hukum-hukum termasuk persepuluhan (Luk 18:12). Dalam hal inipun tidak tersirat bahwa Kristus menghendaki pengikut-Nya supaya tetap menaati hukum persepuluhan.
Yang ketiga (Ibr 7) adalah untuk menunjukkan keutamaan Kristus sebagai Imam Besar menurut aturan Melkisedek, yang lebih tinggi dari imam Lewi, karena Abraham “bapak” imam-imam Lewipun memberi persepuluhan kepada-Nya. Dalam hal inipun tidak ada perintah bagi pengikut Kristus supaya tetap melakukan hukum persepuluhan.
Jadi dari semua bagian Kitab Perjanjian Baru yang menyinggung persepuluhan, tidak ada hal yang menunjukkan secara tersurat maupun tersirat bahwa hukum persepuluhan itu tetap berlaku untuk pengikut Kristus. Bahkan dalam kitab  Kisah Para Rasul pasal 15 diceritakan tentang adanya beberapa orang dari golongan Farisi yang menjadi Kristen berpendapat bahwa orang-orang bukan Yahudi harus diwajibkan menuruti hukum Musa, namun Roh Kudus menolong mereka memutuskan untuk menolaknya (Kis 15:28).
Hal ini adalah sesuai dengan ajaran Kitab Perjanjian Baru tentang hal memberi yakni bukan lagi berdasarkan hukum yang tertulis dalam Taurat, melainkan berdasarkan hukum Tuhan yang tertulis dalam hati orang percaya dan dengan dipimpin oleh Roh Kudus yang sudah tinggal dalam orang percaya itu 24/7 (24 jam sehari 7 hari seminggu).
Persembahan umat perjanjian baru yang dilakukan dengan hati baru yang senang melakukan kehendak Allah dan dengan dipimpin oleh Roh Kudus, lebih unggul dibandingkan dengan persembahan persepuluhan yang diwajibkan sebagai hukum agamawi. Hati baru yang mengasihi Yesus Kristus adalah hati yang senang memberi kepada Tuhan dengan tidak menggunakan hitung-hitungan karena kemampuan dan kesempatan memberi itu adalah kasih karunia Tuhan juga. Jadi satu-satunya yang diperlukan hanyalah konfirmasi sorgawi bahwa Tuhan menghendaki pemberian itu. Untuk itulah diperlukan pimpinan Roh Kudus yang jelas sehingga pemberian itu bukan dipimpin “daging” berdasarkan hukum Taurat melainkan dipimpin Roh berdasarkan kehendak Tuhan. Namun pada kenyataannya justru keinginan daginglah yang selalu menguasai kehidupan orang percaya dalam hal persembahan(bisa melakukan lebih baik namun yang terjadi cukup sedikit saja) ini juga tidak bisa kita pungkiri dalam kehidupan berjemaat. Sehingga pimpinan Tuhan juga sering kita abaikan.
Kita pengikut Kristus tidak boleh lagi memberikan persembahan dengan dipimpin oleh daging. Galatia pasal 5 bahkan dengan tegas melarang orang percaya yang telah dimerdekakan oleh Kristus, kembali lagi kepada perhambaan hukum Taurat. Dengan tegas dikatakan: “Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia.” (Gal 5:4 i TB).
Kebenaran ini menunjukkan  bahwa kita tidak boleh lagi melakukan persepuluhan sebagai hukum yang memperhamba kita tetapi kita harus memberi sebagai umat perjanjian baru yang ada dalam kasih karunia Allah. Siapa yang melakukan persepuluhan karena disuruh hukum Taurat, wajib juga melakukan hukum Taurat lainnya seperti sunat, Sabat dan berbagai ketentuan lainnya. Hukum Sabat misalnya, tidak ada perintah Kristus yang memerintahkan kita umat Perjanjian Baru melakukan kebaktian pada hari Minggu, perintah hukum Taurat adalah tetap yakni harus menghormati hari Sabtu bahkan aliran Advent masih melakukan itu. Jadi kalau orang Kristen bersikeras dengan hukum persepuluhan, lebih lagi orang itu harus taati hukum Sabat juga.  Orang itu berada di bawah kutuk (Gal 3:10), tidak dipimpin oleh Roh Kudus, karena ia masih hidup di bawah hukum Taurat (Gal 5:18). “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah”(Rm 8:14).

E. Ajaran tentang memberi dalam Kitab Perjanjian Baru

Sistem persembahan dalam Kitab Perjanjian Lama telah digenapi oleh Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Karena itu segala persembahan untuk pengampunan dosa yang ditentukan dalam Taurat tidak diperlukan lagi (Ibr 10:18).
Bagi seorang pengikut Kristus, hal memberi adalah bagian dari persembahan hidup yang sepenuhnya (bukan 10 % tetapi 100%) kepada Tuhan, sebagai ungkapan syukur atas kemurahan Allah yang telah menyelamatkannya melalui pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib. Firman Tuhan berkata:
“ Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1 TB)
Tubuh kita sebagai umat perjanjian baru adalah persembahan kepada Tuhan. Hidup kita bukannya kita lagi melainkan Kristus yang hidup dalam diri kita (Gal 2:20). Kristus mengendalikan diri kita oleh Roh-Nya yang tinggal dalam diri kita sehingga kita menjadi persembahan yang hidup yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Persembahan umat perjanjian baru adalah seratus persen bukan persepuluhan dan dilakukan dengan pimpinan Roh Kudus sehingga berkenan kepada Allah. Ini mencakup semua anggota tubuh (1Kor 6:19-20), waktu (Ef 5:15-16), karunia yang ada (Rm 12:6-8), harta milik seperti rumah, uang dan lain-lain (Mat 6:20; 13:44; Luk 12:33), pekerjaan, karir, pernikahan dan lain sebagainya (Kol 3:23). Semuanya adalah untuk kemuliaan Allah.

Penjelasan persembahan seratus persen.

Kita bekerja sesuai perintah Kristus dan kita mendapat uang sebagai hasil pekerjaan kita itu. Itu adalah pemberian Tuhan untuk kita nikmati. Sebagian kita sisihkan untuk pemberian sebagai umat perjanjian baru sebagaimana diuraikan di bawah ini. Sebagian lagi kita gunakan misalnya untuk membeli makanan dan minuman agar tubuh kita menjadi kuat dan sehat. Tubuh kita yang kuat dan sehat itu kita gunakan melakukan segala perintah Kristus seperti pergi ke persekutan atau menolong orang dsb. Dengan demikian uang yang kita gunakan membeli makanan dan minuman itu, hasil akhirnya adalah memuliakan Tuhan melalui tubuh kita yang kuat dan sehat untuk melakukan kehendak Tuhan. Demikian seterusnya sehingga 100% uang itu kita gunakan memuliakan Tuhan dengan melakukan segala perintah Kristus, baik melalui pemberian maupun kita gunakan memenuhi keperluan kita.

Pemberian umat perjanjian baru.
Dalam pelaksanaan pemberian, Kitab Perjanjian Baru juga memberikan berbagai petunjuk tentang cara memberi sebagai umat perjanjian baru yang hidup dalam kasih karunia Allah yakni:
1. Memberi bukan untuk dilihat orang.
“ Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Mat 6:3 TB)
Pemberian umat perjanjian baru pada dasarnya adalah menyalurkan apa yang Tuhan berikan melalui kita pengikut-Nya. Yang kita berikan itu adalah milik Tuhan bukan milik kita, karena itu Tuhan saja yang dipuji dan dimuliakan, kita tidak boleh mencuri pujian dan kemuliaan itu.
Orang Kristen yang sudah menghayati kebenaran ini tidak senang menonjolkan identitasnya ketika memberi, bahkan ia tidak akan terdorong memberi kepada gereja yang terang-terangan melanggar kebenaran ini. Pelanggaran atas kebenaran ini dapat dalam bentuk mengumumkan nama pemberi, menonjolkan pemberi yang memberi banyak, melakukan lelang di gereja untuk cari dana dan yang sejenis. Ketaatan atas kebenaran ini mendorong organisasi gerejawi tertentu menggunakan dan mengumumkan pemberian berdasarkan nomor kwitansi penerimaan dana tanpa mencantumkan nama pemberi.

1. Memberi bukan untuk mendapat balasan apapun.
“Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10:8b TB)
Orang Kristen memberi bukan untuk mendapat balasan melainkan karena sudah mendapat anugerah yang tidak ternilai harganya dari Tuhan yakni dosanya diampuni,  dia diselamatkan, namanya terdaftar di Sorga, hatinya dan rohnya dibaharui, Roh Kudus diberikan tinggal dalam dia 24/7 (24 jam sehari 7 hari seminggu) dan dia menikmati segala berkat sorgawi dalam Kristus Yesus. Semuanya adalah anugerah, tidak bayar apa-apa, cuma-cuma. Karena itu hatinya melimpah dengan syukur dan kemurahan untuk memberi. Pengkhotbah yang mendorong orang Kristen memberi dengan iming-iming berkat melakukan pelanggaran terhadap kebenaran ini.
1. Memberi dengan sukacita.
“ Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2Kor 9:7 TB)
Orang Kristen yang dikasihi Allah selalu memberi dengan sukacita, rela hati, tidak sedih dan tidak karena terpaksa. Kebijakan gereja dalam hal pengumpulan dana harus selalu mempertimbangkan kebenaran ini, tidak boleh membuat pengikut Kristus merasa terpaksa atau sedih memberi, melainkan harus membuat orang memberi dengan sukacita. Ada gereja yang menggunakan kantong persembahan dua atau tiga kantong ditambah kotak persembahan khusus yang ditempatkan di muka mimbar ditambah lagi kotak sumbangan di pintu keluar dari gereja. Semuanya cara itu tidak mendorong orang memberi dengan sukacita bahkan ada yang terdorong menukar uang kecil di tukang rokok di dekat gedung gereja untuk dapat memberi ke kantong persembahan dan kotak yang banyak itu.

1. Memberi sesuai kemampuan.
“ Lalu murid-murid memutuskan untuk mengumpulkan suatu sumbangan, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan mengirimkannya kepada saudara-saudara yang diam di Yudea.” (Kis 11:29 TB)
Tuhan menghendaki kita memberi sesuai kemampuan kita masing-masing. Kita tahu bahwa Tuhan memilih kita menjadi saluran berkat bagi orang lain karena Tuhan memberikan kita kemampuan untuk memberi dan kesehatian bersama saudara-saudara seiman yang mengasihi Tuhan, untuk melaksanakannya. Terkadang dari sinilah kita tidak mampu memahami apa yang dimaksud dengan sesuai dengan kemampuan, kadang atau bahkan sering, walaupun kita mampu memberi lebih namn kenyataannya justru memutuskan cukup sedikit saja.

1. Memberi berdasarkan apa yang ada, bukan berhutang.
“ Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” (2Kor 8:12 TB)
Orang Kristen tidak boleh berhutang untuk memberi. Kalau kita kebetulan sedang tidak mempunyai sesuatu untuk kita berikan berarti bukan kita yang Tuhan kehendaki mencukupi keperluan itu. Banyak murid Kristus di dunia ini dan mereka juga perlu menikmati kebahagiaan memberi sama seperti kita. Kita tidak perlu sedih atau kecil hati karena kita tidak dapat memberi pada satu kesempatan tertentu, kita dapat memberi pada kesempatan lainnya.

1. Memberi dengan hati yang mengasihi.
“ Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.” (1Kor 13:3 TB)
Kasih Allah telah dicurahkan oleh Roh Kudus dalam hati kita sehingga kita dimampukan untuk memberi dengan hati yang mengasihi. Kasih itu membuat kita bersikap benar menghadapi orang yang tidak tahu berterima kasih atau bahkan memusuhi kita. Kita memberi karena dipimpin oleh Roh Kudus dan karena itu pastilah mendatangkan kemuliaan bagi Allah.



1. Menyisihkan sesuatu secara teratur untuk diberikan waktu diperlukan.
“ Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing—sesuai dengan apa yang kamu peroleh—menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang.” (1Kor 16:2 TB)
Kita perlu membiasakan diri untuk menyisihkan sebagian dari pendapatan kita untuk pemberian kasih. Hal itu merupakan pernyataan hormat dan kasih kita kepada Tuhan yang telah melimpahkan berkat-Nya bagi kita. Dalam banyak keluarga Kristen ada kebiasaan memiliki amplop pemberian kasih yang berisi dana untuk pemberian kasih pada bulan berjalan sehingga siap untuk diberikan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus.

Kepada siapa saja kita harus memberi?
Kitab Perjanjian Baru juga memberi petunjuk tentang kepada siapa saja kita memberi yakni:
1. Para pemberita Injil
“ Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu.” (1Kor 9:14 TB)
Kita harus mendukung keperluan para pemberita Injil yang Tuhan pilih secara khusus untuk menjadi pemberita Injil agar mereka dapat mengabarkan Injil penuh waktu dengan tidak berkekurangan. Mereka mengorbankan hidupnya bagi pemberitaan Injil bahkan sampai bersedia bekerja dengan tangannya sendiri demi memenuhi keperluannya dan keperluan orang yang bersama-sama dengannya. Semua kita pengikut Kristus diutus oleh Tuhan menjadi saksi Kristus di tempat kita masing-masing, namun ada orang-orang tertentu yang Tuhan pilih khusus untuk memberitakan Injil dan mendirikan jemaat Kristus di tempat yang baru. Kita harus mendukung mereka secara langsung atau melalui koordinator yang khusus untuk mengurus dukungan bagi mereka tanpa menambah beban overhead cost.
2. Para pengajar Firman
“ Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu.” (Gal 6:6 TB)
Tuhan menetapkan orang-orang tertentu dalam Jemaat-Nya menjadi pengajar-pengajar untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan bagi pembangunan tubuh Kristus sehingga semuanya menjadi dewasa rohani tidak terombang-ambing oleh berbagai ajaran sesat yakni yang bertentangan dengan ajaran Kristus. Kita harus mengenali dan mendukung para pengajar yang demikian. Mereka sangat langka pada akhir zaman ini karena munculnya para pengajar palsu yang memenuhi bumi. Orang Kristen telah diracuni dengan pandangan bahwa pengajar harus mempunyai gelar sarjana teologi, padahal Iblis pun mudah untuk memperoleh gelar itu. Banyak sekolah teologi telah dikuasai oleh pandangan liberal yang tidak lagi mengaki Alkitab adalah firman Allah bahkan tidak lagi percaya bahwa Yesus Kristus adalah Jalan satu-satunya kepada Allah Bapa. Mereka menyatakan secara arogan bahwa Yohanes yang menaruh Yoh 14:6 di mulut Yesus.  Mereka itu adalah pengajar palsu yang tidak disuruh Tuhan meskipun mereka mempunyai gelar doktor teologi. Kita tidak boleh mendukung para pengajar palsu agar kita tidak ikut dalam penyesatannya.
3. Saudara seiman yang berkekurangan
4. “ Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” (Gal 6:2 TB)
“ Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!” (Rm 12:13 TB)
“Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?” (Yak 2:15-16 TB)
“ Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Ef 4:2 TB)
“ Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40 TB)
“ Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1Yoh 3:16-17 TB)
Kita yang mengasihi Kristus pasti juga mengasihi saudara-saudara Kristus yakni orang-orang Kristen yang juga mengasihi Kristus sebagaimana nyata dari kesungguhan melakukan segala perintah Kristus dengan dipimpin oleh Roh Kudus. Kasih kita kepada mereka adalah seperti Kristus telah mengasihi kita, itulah tandanya bahwa kita adalah murid-murid Kristus. Dengan kasih yang hebat itu maka semua pengikut Kristus dalam persekutuan tidak akan berkekurangan dan hal itu terjadi karena kasih bukan karena diwajibkan oleh hukum-hukum atau peraturan-peraturan gereja.
4. Janda yang miskin dalam keluarga dan dalam Jemaat
“ Hormatilah janda-janda yang benar-benar janda. Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah.” (1Tim 5:3-4 TB). “ Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.” (1Tim 5:8 TB)
Janda-janda tua dalam persekutuan orang kudus tidak boleh terlantar. Keluarga terdekatnya yang Kristen haruslah yang pertama mengurusnya sebelum persekutuan mengurusnya. Keluarga Kristen akan berbahagia karena mempunyai kesempatan melakukan perintah Kristus untuk mengurus janda dalam keluarganya. Itu adalah kasih karunia, bukan beban bagi pengikut Kristus. Janda dalam jemaat saja pun harus kita urus apalagi janda yang dekat dengan kita.
5. Sesama manusia yang menderita dan yang berpapasan dengan kita (Luk 10:25-37)
“ Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22:39 TB)
Roh Kudus akan memimpin kita memberi kepada sesama manusia yang menderita sesuai kehendak-Nya dan pada waktu-Nya. Orang miskin akan selalu ada di dunia dan Tuhan menghendaki kita menolong mereka ketika Roh Kudus membuat mereka berpapasan dengan kita.

F. Praktek memberi pada masa permulaan Kristen

Pengikut Kristus yang mula-mula, setelah menikmati kebaikan Allah melalui pencurahan Roh Kudus secara spontan oleh dorongan Roh itu memberi dengan sukacita dan penuh kemurahan. Mereka saling mengasihi dan saling membantu sehingga tidak ada yang berkekurangan diantara mereka (Kis 2:41-47; Kis 4:32-37). Mereka tidak menggunakan hukum persepuluhan karena mereka tahu bahwa hukum persepuluhan itu adalah untuk agama Yahudi bukan untuk pengikut Kristus. Mereka (Jemaat-Jemaat di Makedonia) bersemangat dan bersukacita dalam memberi karena bagi mereka hal memberi itu adalah kasih karunia (2Kor 8:1-4). Roh Kudus yang membuat mereka memberi dengan sukacita dan kemurahan tanpa diwajibkan dengan hukum-hukum, adalah juga Roh Kudus yang sekarang memimpin kita umat perjanjian baru, jadi kitapun tidak memerlukan hukum-hukum untuk memberi.

G. Ayat populer persepuluhan

Berikut ini dibahas secara khusus Mal 3:10 yang oleh pengkhotbah tertentu sering      digunakan untuk mendorong persepuluhan. Ayat itu berbunyi:
   “ Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada      persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak    membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai    berkelimpahan.” (Mal 3:10 TB)
Ayat ini adalah untuk orang Yahudi yang menghadapi krisis dalam melaksanakan hukum persepuluhan. Pelanggaran terhadap hukum persepuluhan bukan hal yang langka dalam Kitab Perjanjian Lama, misalnya 2Tw 31; Neh 13:10; dan Mal 3:8-10. Maleakhi dalam ayat ini menunjukkan ketidak setiaan Israel yakni mereka tidak melaksanakan hukum persepuluhan yang merupakan ketetapan perjanjian lama. Allah tetap setia pada janji-Nya sehingga Israel tidak akan lenyap (Mal 3:6). Maleakhi menghimbau Israel untuk bertobat dan kembali melaksanakan hukum persepuluhan itu dengan benar. Persepuluhan itu harus dibawa ke Bait Allah yang di Yerusalem. Allah berjanji pasti akan memberkati mereka yang bertobat itu secara berlimpah.
Dengan demikian, tidak mungkin ayat ini dilaksanakan sekarang ini oleh orang Israel karena hukum persepuluhan itu bersifat melekat dengan sistem korban di Bait Allah, sedangkan Bait Allah itu sudah dihancurkan pada tahun 70 Masehi. Jadi kalau untuk umat Israel saja  Mal 3:10 tidak berlaku lagi sekarang ini, betapa tidak tepatnya memberlakukannya pada umat Kristen.
Argumentasi pembenaran atas Mal 3:10 sering menggunakan pengalaman orang-orang tertentu bahwa setelah ia melakukan persepuluhan, keadaan keuangannya menjadi lebih baik. Hal itu bisa saja terjadi namun bukanlah menjadi bukti bahwa Mal 3:10 berlaku untuk orang Kristen. Ada juga orang yang protes kepada pendeta penganjur Mal 3:10, karena ternyata ia malah bangkrut, padahal sudah setia memberi persepuluhan seperti dikhotbahkan pendeta itu. Sebaliknya ada juga pengalaman dari orang-orang yang memberi lebih dari sepuluh persen dan keadaan keuangannya juga menjadi lebih baik, namun tidak ada orang yang memberi lebih dari sepuluh persen dan protes ke pendeta karena bangkrut, sebab ia melakukannya bukan karena disuruh oleh pendeta melainkan dorongan Roh dalam hatinya.
Orang Kristen sejati sudah menerima anugerah keselamatan yang tidak ternilai harganya dari Tuhan, dan justru karena itu ia senang mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dia memberi bukan supaya mendapat balasan, tetapi karena sudah mendapat karunia yang tidak mungkin dapat dibayar dengan apapun. Mal 3:10 justru adalah untuk orang Israel yang tidak percaya atas kesetiaan Allah dan tidak cocok untuk orang Kristen yang sudah mengalami perjumpaan dengan Allah yang setia itu dalam Yesus Kristus. Bagi orang percaya, Tuhan telah berjanji:
“ Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibr 13:5 TB)

H. Jawaban atas pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan persembahan:

 Pertanyaan 1:
Apakah salah kalau kita menyisihkan 10% dari penghasilan kita sebagai persembahan?
Jawaban:
Adalah baik untuk menyisihkan sesuatu secara teratur untuk pemberian kristiani sebagai bagian dari persembahan hidup kita (1Kor 16:2). Jumlahnya sesuai dengan kemurahan hati yang Tuhan karuniakan pada kita, dan sesuai dengan apa yang ada pada kita. Kalau pun kita sisihkan 10%, bukanlah berarti bahwa sisa yang kita tidak sisihkan itu milik kita sendiri. Sisanya yang 90% itu adalah tetap milik Tuhan, dan harus digunakan sesuai kehendak Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan yakni untuk melakukan segala perintah Kristus (lihat DPPK). Ada saatnya Tuhan memerintahkan kita menggunakan sebagian dari sisa yang 90% itu untuk sesuatu yang telah ditentukan-Nya, dan kita dengan sukacita melakukannya, karena hal itu adalah kasih karunia (2Kor.8:1-4). Roh Kudus akan memimpin kita untuk itu. Roh itu dapat menyatakannya kepada kita melalui nubuat, penglihatan, mimpi dan lain-lain. Uraian lebih rinci tentang mengikuti pimpinan Roh Kudus dapat dibaca dalam: https://perintahkristus.wordpress.com/ciri-khas-orang-kristen-yang-menjadi-berkat.
Yang salah adalah kalau orang Kristen sebagai umat perjanjian baru yang hidup oleh kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus Tuhan kita, kembali lagi hidup di bawah hukum Taurat yang mewajibkan persembahan persepuluhan. Orang yang seperti kembali lagi hidup di bawah kutuk hukum Taurat dan hal itu menunjukkan orang itu tidak beriman kepada Yesus Kristus yang tidak pernah memerintahkan kita pengikut-Nya memberi persembahan persepuluhan. DPPK mencakup 680 pengingat perintah Kristus dan tidak satu pun yang memerintahkan kita pengikut Kristus mempersembahkan persepuluhan.

Pertanyaan 2:
Apakah uang yang kita sisihkan secara teratur itu dapat digunakan untuk menolong orang percaya yang kesusahan?
Jawab:
Pemberian Kristen diperuntukkan bagi banyak hal seperti Penginjil, Pengajar Firman (Gembala), saudara seiman (saudara Tuhan Yesus) yang kesusahan, janda miskin dalam keluarga dan dalam jemaat, sesama manusia yang Tuhan suruh ditolong. Kalau jumlah yang disisihkan ternyata tidak mencukupi, maka yang pertama perlu digumuli adalah: apakah Tuhan menghendaki sisa yang tidak disisihkan digunakan untuk maksud itu. Kalau Tuhan menghendakinya, maka kita harus dengan sukacita melakukannya, meskipun hal itu dapat berarti bahwa kita mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan kita yang rutin. Dalam persekutuan tidak boleh ada orang yang tidak dapat makanan sehari-hari sementara kita masih dapat makan tiga kali sehari. Bila diperlukan kita harus mengurangi makanan kita agar saudara kita juga dapat makanan. Itulah tandanya kita memiliki kasih Kristus.
Pertanyaan 3:
Kalau permintaan sumbangan sangat banyak sehingga dana yang disisihkan tidak mencukupi, apa yang harus kita lakukan?
Jawab:
Prioritas pertama adalah untuk keperluan lima kelompok yang telah disebutkan (penginjil, pengajar Firman, saudara seiman, janda miskin dan sesama manusia). Biasanya banyak permintaan yang tidak termasuk lima kelompok sasaran itu, dan sebaiknya hal itu masuk prioritas kedua.
Selanjutnya, Tuhan menghendaki kita memberi berdasarkan apa yang ada bukan apa yang tidak ada. Kita percaya Tuhan akan mencukupkan keperluan yang ditentukan-Nya menurut cara-Nya sendiri yang sering dengan cara ajaib dan membuat kita terpesona. Jadi kita tidak perlu merasa bersalah kalau tidak mampu memenuhi semua permintaan sumbangan. Kalau kita tidak Tuhan berikan kemampuan dan sukacita untuk memberi, mungkin Tuhan menghendaki orang lain untuk itu, karena semua orang percaya, bukan hanya kita saja, perlu mendapat kasih karunia yakni kesempatan untuk memberi.
Apalagi harus diwaspadai bahwa banyak orang Kristen yang senang membuat proyek dan minta sumbangan meskipun tidak disuruh Tuhan, hanya didorong oleh “daging”. Apa yang dianggap baik oleh manusia belum tentu baik di mata Tuhan. Proyek-proyek seperti itu biasanya dapat dengan mudah kita ketahui dengan melihat apakah para pengusul proyek itu mau mempersembahkan harta milik mereka untuk proyek itu sebagai tanda bahwa mereka yakin Tuhan yang menyuruhnya. Sebagai contoh, ada panitia pembangunan yang mempunyai lima mobil mewah tapi proyek berjalan lambat karena kurang dana, padahal nilai proyek itu tidak lebih mahal dari nilai mobil yang lima itu. Mengapa ia tidak menjual mobilnya itu untuk Tuhan? Karena bukan Tuhan yang suruh proyek itu, inisiatif manusia saja. Proyek seperti itu tidak perlu disumbang, itu bukan proyek Tuhan. 

Pertanyaan 4:
Kalau persepuluhan tidak diwajibkan, bagaimana pendeta dan para pekerja gereja yang penuh waktu dapat hidup?
Jawaban:
Tuhan kita Yesus dan murid-murid-Nya telah memberikan contoh bagi kita. Tuhan Yesus tidak memerlukan persepuluhan untuk memenuhi keperluan-Nya dan keperluan murid-murid-Nya untuk menyelesaikan misi-Nya. Yesus Kristus itu Tuhan yang memiliki segala sesuatu dan berkuasa menggerakkan hati orang untuk menyediakan keperluan pelayanan-Nya bila diperlukan. Para Rasul juga tidak memerlukan persepuluhan untuk melakukan tugas mereka. Tuhan mengatur segala-sesuatu yang mereka perlukan dengan cara-Nya yang tidak terbatas itu. Roh Kudus memberikan karunia kemurahan kepada orang yang sungguh percaya kepada Yesus Kristus sehingga dengan sukacita memberi dengan limpahnya.
Pemberian kristiani sebagai bagian dari persembahan seluruh hidup orang percaya justru lebih unggul dari hukum persepuluhan. Pemberian yang didorong oleh segenap hati selalu lebih bermutu dari pada yang diharuskan oleh hukum. Kalau kita belum menikmati memberi sebagai kasih karunia yang mendatangkan sukacita maka kita perlu menguji diri lagi apakah kita sudah selamat, jangan-jangan kita baru beragama Kristen saja dan tidak memiliki modal dasar Kristen.

Modal dasar Kristen adalah :
1) yakin telah selamat dengan konfirmasi Roh,
2) membaca Alkitab tiap hari untuk bertumbuh,
3) hidup dipimpin oleh Roh Kudus melakukan segala perintah Kristus.
Tugas para pelayan Tuhan  adalah membina orang-orang Kristen agar sungguh-sungguh memiliki modal dasar itu agar dapat semakin mengenal dan mengasihi Tuhan sehingga dengan sukacita mempersembahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Itu berarti waktunya, tenaganya, harta miliknya, uangnya dan sebagainya adalah untuk Tuhan yakni  untuk melakukan segala perintah Kristus dipimpin oleh Roh Kudus. Gereja seperti itu tidak akan pernah kekurangan meskipun tidak menggunakan hukum persepuluhan.  .

Pertanyaan 5:
Kalau demikian halnya, mengapa ada gereja yang kekurangan uang?
Jawaban:
Gereja yang kekurangan uang perlu bertanya kepada Tuhan apa yang Tuhan kehendaki bagi mereka. Janji Tuhan dalam Ibr.13:5 tentang uang juga berlaku bagi gereja sebagai persekutuan orang percaya. Terlebih lagi, prinsip  “Allah menyediakan” (band.Kej.22:14) berlaku dalam gereja, yakni Allah yang menyuruh melakukan sesuatu akan menyediakan segala sesuatu yang diperlukan untuk itu sehingga apa yang disuruh-Nya itu akan berhasil dilaksanakan untuk kemuliaan-Nya. Cara yang dipilih Tuhan untuk mencukupkan umat-Nya adalah menurut kedaulatan Tuhan yang tidak terbatas.Gereja yang kekurangan uang perlu memeriksa diri apakah sungguh melakukan segala perintah Kristus..
 (Kis 20:35) pada umumnya paling sering dilanggar gereja. Pelayan penuh waktu yang harus ditanggung gereja seharusnya tidak banyak karena Kristus menghendaki pelayan-Nya bekerja memenuhi keperluannya sendiri dan keperluan pelayanan mereka. Tuhan Yesus Kepala Gereja tidak menghendaki orang mencari nafkah dalam Gereja-Nya. Pada dasarnya hanya Pemberita Injil dan Pengajar Firman yang perlu didukung keperluannya agar penuh waktu melakukan panggilannya. Semua pelayan yang lain harus bekerja, kecuali ada petunjuk khusus dari Roh Kudus yang menjadi pengecualian.
(Ef 5:17) juga pada umumnya paling sering diabaikan. Perintah itu menghendaki kita pengikut Kristus termasuk para pemimpin gereja tidak bodoh tetapi harus berusaha mengerti apa kehendak Allah yakni apa yang Tuhan kehendaki dilakukan. Kehendak Tuhan itu nyata dalam segala perintah Kristus.
Sebagai contoh, ada gereja yang memberikan bantuan dana kepada orang-orang berada padahal Tuhan menghendaki gereja menolong orang miskin. Orang berada termasuk para pelayan yang mampu dalam gereja, Tuhan kehendaki memberi bukan menerima agar mereka lebih berbahagia.
Para janda dalam gereja harus lebih dahulu dilayani oleh keluarganya sebelum dibantu oleh gereja (  1Tim 5:4,16). Dengan menaati perintah ini, keluarga janda itu akan berbahagia karena melakukan kehendak Tuhan dan gereja tidak perlu keluarkan uang.
Contoh lainnya ialah proyek pengembangan gereja yang tidak pedulikan kehendak Kristus Kepala Gereja sehingga memunculkan berbagai proyek yang tidak disuruh oleh Kristus melainkan hanya dimotivasi oleh daging, dunia dan Iblis. Setiap proyek yang berkaitan dengan keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup termasuk dalam kategori ini dan akan membuat gereja bangkrut secara keuangan dan rohani.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa kekurangan uang dalam gereja dapat menjadi salah satu cara Tuhan menyampaikan pesan-Nya agar gereja berada dalam jalur kehendak Tuhan. Gereja perlu peka mendengar suara Roh Kudus dan mengikuti pimpinan-Nya. Kalau kekurangan uang itu disebabkan dosa karena tidak menaati kehendak Tuhan, maka tidak ada jalan lain selain pertobatan, bukan dengan dosa lain, yakni mengusahakan dana dengan cara yang Tuhan tidak kehendaki. Mengusahakan pemasukan uang dengan memakai tekanan-tekanan psikologis (seperti lelang, menambah kantong atau kotak persembahan dan sejenisnya) atau tekanan spiritual (seperti mengancam dengan Mal 3:10 dan Ul 16:16) atau usaha dana dengan cara duniawi lainnya, adalah sama seperti memaksa sorga memberi uang melalui jalur yang  tidak dikehendaki sorga. Cara seperti itu, meskipun berhasil mendapatkan uang, namun tidak memuliakan Allah dan tidak mendatangkan kebahagiaan dalam gereja.
Mal 3:10 tidak boleh dipakai untuk menekan orang agar memberi persepuluhan untuk gereja, seperti telah diuraikan di atas. Ul 16:16 lebih tidak patut lagi dihubungkan dengan gereja karena itu adalah khusus untuk orang laki-laki Yahudi. Ayat itu menyatakan:
“Tiga kali setahun setiap orang laki-laki di antaramu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, ke tempat yang akan dipilih-Nya, yakni pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh Minggu dan pada hari raya Pondok Daun. Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa, tetapi masing-masing dengan sekedar persembahan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.”” (Ul 16:16-17 i_TB)
Perintah Ul 16:16 hanya untuk orang laki-laki Yahudi tiga kali setahun harus ke Bait Allah di Yerusalem dan bukan untuk umat perjanjian baru (laki-laki dan perempuan dan anak-anak) memberi kolekte tiap minggu atau 52 kali setahun di gedung gereja.

Pertanyaan 6:
Mengapa dalam kenyataannya, ada banyak orang Kristen yang tidak semangat dan tidak sukacita dalam memberi?
Jawaban:
Semangat dan sukacita dalam memberi bukanlah rekayasa “daging” melainkan bagian dari buah Roh Kudus yang tinggal dalam diri orang percaya. Roh Kudus itulah yang memungkinkan orang percaya mengalami Yesus Kristus secara nyata. Roh Kudus itu yang memberikan keyakinan keselamatan bagi orang percaya. Oleh Roh Kudus, orang Kristen yang demikian mengalami secara nyata bahwa dirinya sudah pindah dari maut ke dalam hidup, namanya terdaftar di sorga, tersedia baginya segala berkat rohani di sorga, hidupnya dibaharui hari demi hari. Hidupnya penuh dengan Roh Kudus, penuh doa, mempelajari Alkitab dan melakukan kehendak Allah, penuh persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Semua orang Kristen perlu mengalami ini, namun sayangnya, banyak orang Kristen yang memilih menjadi orang Kristen “biasa-biasa” saja, dan karena itu tidak mempunyai semangat dan sukacita dalam memberi.

MAKNA  PERSEMBAHAN  DALAM  IBADAH

Makna Persembahan dalam Ibadah
“Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan,
supaya ada persediaan makanan di rumahKu dan ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam,
apakah aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit
dan  mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan”.
(Maleaki 3: 10)
Pemberian Korban “persembahan” adalah ketetapan Tuhan
1. Tradisi Alkitab mengungkapkan, setiap kali umat Allah datang menghadap hadirat Tuhan  (beribadah), mereka selalu membawa “korban” atau persembahan kepada Tuhan. Hal ini dilakukan sesuai dengan perintah Tuhan kepada mereka bahwa: Setiap orang yang datang menghadap Tuhan, janganlah ia menghadap dengan tangan hampa, tetapi masing-masing membawa persembahan sesuai dengan berkat yang diberikan Tuhan kepadanya. (bnd, Ul 16: 16-17) dan persembahan itu adalah yang terbaik, tidak cacat atau sesuatu yang buruk, (Ul 17: 1). Dalam Perjanjian Lama, Persembahan erat hubungannya dengan upacara korban. Dalam Imamat pasal 1 – 7 terdapat beberapa contoh jenis persembahan korban seperti; korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapusan dosa dan korban penebusan salah. Ibadah Israel juga mengenal persembahan persepuluhan dalam bentuk hasil ladang, ternak atau uang (lih. Ul 14:22-27), bahkan ada peraturan yang menetapkan  denda 20 % bagi penyimpangan persepuluhan (lih. Im 27:31). Dapat kita lihat bahwa  Korban atau persembahan dalam Perjanjian Lama selalu dihubungkan dengan kebebasan   atau keselamatan jiwa. Umat Allah sadar bahwa dirinya berdosa dihadapan Allahnya, maka dengan hati yang tergerak dan terbuka, mereka datang membawa persembahannya kepada Tuhan yang dapat menyelamatkan jiwanya.

Persembahan dalam Gereja abad Pertama di Perjanjian Baru
1. Dalam Perjanjian Baru ketika gereja terbentuk pada abad pertama, persembahan mempunyai arti yang berbeda. Persembahan di gereja abad pertama berkaitan dengan perjamuan. Ketika itu belum ada pemisahan antara perjamuan kudus (ekaristi) dengan perjamuan kasih (agape). Orang membawa persembahan dalam bentuk makanan atau uang sebagai biaya untuk penyediaan makanan dengan tujuan agar orang miskin yang tidak mempunyai makanan di rumah bisa ikut makan (lih Kis 6:1-6). Boleh kita katakan bahwa persembahan di gereja pertama lebih bersifat diakonal dan itu terjadi setiap minggu, bahkan menurut catatan Kisah Para Rasul 2: 46, perjamuan itu terjadi setiap hari. Disamping itu, pemahaman persembahan dalam kitab Perjanjian Baru selalu dihubungkan dengan pengorbanan Kristus, di mana pengorbanan Kristus menjadi wujud nyata dari penyerahan diri untuk menebus manusia dari dosa yang membelenggunya. Oleh karenanya makna persembahan dalam Perjanjian Baru adalah     pengorbanan diri sebagai bukti ketaatan, kepatuhan terhadap Allah yang memberi kehidupan atau keselamatan. (Yoh 1:29; 36; 1 Petr 1:18; Why 5: 6-10; 13:8, 1 Kor 5: 6-10, Ibrani 10: 5,10) Kristus menunjukkan hal itu, Dia taat, patuh terhadap Bapa yang mengutusnya sampai Dia mati di kayu salib demi keselamatan manusia. Disitulah makna persembahan yang sesungguhnya, yaitu ketaatan, ketundukan kita kepada Tuhan.
Hakikat Persembahan dalam gereja abad pertama dan ibadah Yahudi
1. Pemahaman tentang persembahan menurut gereja abad pertama seperti tertulis dalam Kisah Para Rasul, menunjukkan perbedaan dasariah dibandingkan dengan persembahan dalam ibadah-ibadah agama Yahudi, Kanani, Romawi dan Yunani ditandai dengan persembahan yang bersifat kultis dan ritual. Orang memberi persembahan supaya diimbali, supaya mendapat pahala dan supaya dibalas dengan kekayaan, keselamatan, kesehatan, keberhasilan dan lainnya. Di situ ada unsur “aku memberi supaya aku diberi”. Gereja abad pertama justru mengembangkan pemahaman yang sebaliknya, yaitu kita memberi karena kita sudah diberi. Hal ini perlu mendapat perhatian supaya motivasi memberi persembahan benar-benar dari hati yang tulus iklas. ( = janda miskin yang memberi persembahannya, Mark 12: 41-44).

Persembahan yang dikehendaki Tuhan
1. Menurut Firman Tuhan, Ada beberapa nilai dari suatu persembahan yang dikehendaki oleh Tuhan.
· BILA PERSEMBAHAN ADALAH YANG TERBAIK, (Kel 23:19; 34:26). Persembahan itu terbaik atau tidak , ditentukan oleh sikap hati.(bnd, persembahan Kain dan Habel, Kej 4:3-7. Habel ,memilih anak sulung kambing dombanya, sedangkan Kain mempersembahkan sebahagian dari hasil pertaniannya dengan berat hati). Alkitab mengatakan persembahan Habel yang diterima Tuhan, sedangkan persembahan Kain tidak diindahkan Tuhan. Oleh karena persembahan itu merupakan sikap hati kita, maka persembahan itu adalah yang terbaik.
· BILA PERSEMBAHAN ITU ‘SESUAI KEMAMPUAN’ (Ul 16:17; 1 Kor 16:2). Dalam hal ini, menentukan besarnya persembahan hendaklah jangan melihat pada jumlah, tetapi melihat pada berkat-berkat yang diperoleh atau sesuai keadaan ekonomi yang dimiliki. Menurut Alkitab, Tuhan Allah menilai persembahan kita bukan dari besar jumlahnya, tetapi dari ukuran apakah persembahan itu sesuai dengan kemampuan kita. (bnd Luk 6:38).
· BILA PERSEMBAHAN ITU ‘MENURUT KERELAAN HATI’ (2 Kor 9:7). Kata rela di sini bukan berarti asal ada, namun mengandung kesediaan untuk berkorban dan menyangkal diri, (bnd 2 Kor 8:2-5). Hal seperti inilah yang dilakukan Kristus dalam mempersembahkan dirinya untuk keselamatan dunia ini.
Melalui pemahaman ini, persembahan Kristen harus diarahkan dalam visi dan motivasi yang berhubungan dengan Tuhan, serta seluruh hidup seharusnya dipakai untuk mempermuliakannya; persembahan diberikan dengan kesadaran bahwa segala sesuatu diperoleh dari, oleh dan kepada Dia.
GEREJA (Tubuh Kristus) dalam meberi dan memahami persembahan
1. Kenapa Gereja-gereja mengadakan pengumpulan persembahan ? atau kenapa orang percaya memberi persembahan ? “Warga Jemaat berkewajiban memikirkan segala kebutuhan di jemaat dengan mempersembahkan diri sesuai dengan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya, maupun melalui penyampaian berbagai persembahan dari hati yang tulus dan penuh sukacita”. Melalui pemahaman ini ada dua yang menjadi focus perhatian kita dalam memahami persembahan:
· Mempersembahankan diri sesuai dengan talenta yang diberikan Tuhan; Talenta yang dimaksud disini ialah kecakapan-kecakapan khusus yang dimiliki setiap orang. (bnd Roma 12: 6-8; I Kor 12: 8-10). Semuanya itu diberikan sebagai persembahan yang kudus kepada Tuhan. “… supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, yang berkenaan kepada Allah”, (Roma 12:2).
· Menyampaikan berbagai persembahan dari hati yang tulus; Persembahan yang dimaksud disini, sama artinya dengan penyampaian korban dalam Perjanjian Lama, yang diwujudkan dalam bentuk binatang, panen atau buah dari pekerjaan.
Dari kedua pemahaman ini, bahwa pemberian persembahan menjadi tanda penundukan diri setiap orang beriman kepada Tuhan, dengan demikian hidupnya akan penuh ketaatan melalui persembahan. Oleh karenanya memberi persembahan merupakan tindakan ibadah dan yang dipersembahkan adalah gambaran sikap hati untuk memulikan Tuhan.
Persembahan
1. Jenis-jenis persembahan sudah diatur sedemikian rupa, dan semuanya itu diperuntukkan untuk pembangunan rohani maupun pembangunan gereja secara phisik. Sebagaimana lazimnya, ada 5 (lima) jenis-jenis persembahan:
· Persembahan pada acara kebaktian Minggu
–          Minggu Dewasa
–          Sekolah Minggu
· Persembahan Perjamuan Kudus
· Persembahan Kebaktian Kategorial
· Persembahan Tahunan
· Persembahan acara-acara khusus
–          Ikat Janji
–          Pemberkatan Nikah
–          Ucapan syukur (Ulang Tahun, Memasuki rumah, awal tahun, dll)
 Oleh karena itu berikanlah persembahanmu kepada Tuhan dengan hati yang tulus iklas jangan dengan bersungut-sungut.

Memahami Makna Persembahan

Ada begitu banyak warga jemaat yang menanyakan tentang: Persembahan yang benar itu yang bagaimana? Mengapa di GKJW tidak ditekankan persembahan persepuluhan? Pada satu sisi pertanyaan-pertanyaan ini menyenangkan, karena tersirat adanya semangat untuk mempersembahkan secara bertanggungjawab. Namun di sisi lain, juga sedikit merisaukan, mengapa? Karena sudah begitu lama kita hidup sebagai orang percaya, tetapi mengapa sesuatu yang seharusnya sudah menjadi bagian atau bahkan identitas setiap orang percaya, ternyata masih menjadi pertanyaan. Apakah hal ini disebabkan karena Alkitab kurang jelas memberikan gambaran tentang persembahan? Ataukah karena tidak ada ajaran secara resmi dan baku dari Greja Kristen Jawi Wetan tentang persembahan? Ataukah gereja tidak cukup sering memberi pemahaman tentang persembahan? Atau bingung karena ada bermacam-macam persembahan: persembahan perpuluhan, persembahan bulanan, persembahan kemandirian, dll? Bagaimana pun pertanyaan di atas harus dijawab. Untuk menjawab pertanyaan di atas, berikut ini akan disampaikan terlebih dahulu beberapa kesaksian atau ungkapan, dan hasil percakapan yang berhubungan dengan persembahan dari beberapa orang yang sempat saya catat.
00001. Seorang ibu menerima wesel dari anaknya yang telah berkeluarga. Keadaan keluarga anaknya secara ekonomi termasuk sederhana. Di kertas wesel di kolom berita tertulis sbb. Sekian rupiah tolong dimasukkan ke kantong kolekte gereja (keluarga ini memiliki kenangan manis saat sekolah minggu); sekian rupiah tolong diberikan kepada penarik gerobak sampah; sekian ribu rupiah tolong diberikan kepada pembantu rumah. Sang ibu sangat terharu menerima wesel itu, karena anaknya -sekalipun hidupnya sederhana- namun masih mau mengingat orang lain. (GKJW Jemaat Surabaya, tahun 1985)
00002. Pada petang hari seorang janda yang hidupnya sederhana menemui Pak Pendeta. Dia bercerita “Pak, saya baru saja menjual rumah kecil saya seharga 25 juta rp. Anak saya sudah berkeluarga semua. Sebagian uang itu saya berikan kepada anak saya, dan ini 5 juta rp. saya serahkan untuk gereja” (GKJW Jemaat Malang, 1999)
00003. Untuk membedakan apakah seseorang adalah warga jemaat yang sungguh-sungguh mempraktekkan cara hidup bersyukur atau tidak, itu sederhana saja. Lihatlah bagaimana ia menyusun prioritas pengeluaran atas gaji atau penghasilannya. Orang percaya yang baik akan menempatkan persembahan sebagai urutan pertama (bukan soal; jumlahnya), tetapi prinsip sikap bahwa pengeluaran pertama yang segera harus disisihkan adalah persembahan (persembahan bulanan, Minggu, dll), baru pengeluaran lainnya. Prinsip ini adalah tanda pengakuan bahwa tanpa berkat Tuhan kita tidak bisa apa-apa. (GKJW Jemaat Malang, 2002).
00004. Seorang warga jemaat menemui kasir di kantor gereja untuk menyerahkan persembahan. Dia sodorkan seratus ribu rupiah, kepada kasir, namun sesaat kemudian ia menarik kembali uang seratus ribu itu, dan diganti dengan uang lima puluh ribu, sambil mengatakan “ah, kebanyakan.” Padahal Ybs. secara ekonomi termasuk kategori berkecukupan. (GKJW Jemaat Malang, 2002)
00005. Jemaat ingin membeli tanah untuk membangun gereja baru. Panitia hanya memiliki uang 5 juta. Lalu ada seseorang yang menawarkan se bidang tanah seharga 204 juta rupiah. Pemilik tanah memberi waktu kepada panitia kurang dari sebulan. Panitia bingung, mungkinkah tanah itu terbeli? Namun hanya selang beberapa hari setelah penawaran itu, seorang warga jemaat menemui pendeta. “Pak, jangan bilang siapa-siapa. Biarlah uang 204 juta rupiah itu saya yang melunasinya. Saya sudah membicarakan dengan istri dan anak saya, dan mereka semua setuju!” (GKJW Jemaat Malang 2002)
00006. Seorang Bapak mengatakan kepada Pendeta “Saya sangat bersyukur dan terharu ketika anak saya menyerahkan gaji pertamanya ke gereja..” (GKJW Jemaat Malang, 2000)
00007. Seorang gadis akan memasuki usia ke 17. Orang tuanya bertanya “Kamu mau hadiah apa?” Si gadis menjawab “Minta dibelikan organ”. “Lho, kita, kan, sudah punya organ!” sahut orang tua si gadis. “Organ itu bukan untuk kita, tetapi akan kita serahkan ke satu jemaat kecil. Sebab sewaktu saya berkunjung ke sana, jemaat itu tidak memiliki organ” kata si gadis. (GKJW Jemaat Jombang, 1989)
00008. Mbah Kahar -seorang kakek warga GKJW Jemaat Sukolilo- setiap bulan mendapatkan bantuan uang dari gerja untuk meringankan beban hidupnya sehari-hari. Pada bulan april yang lalu (2004) ia dipanggil Tuhan. Hal yang membuat semua warga jemaat terharu adalah ia membuat “wasiat” yang isinya adalah pesan agar sebuah amplop yang isinya Rp 10.000; (sepuluh ribu rupiah) agar diserahkan ke gereja untuk persembahan. Ditengah kemiskinan, ia memiliki jiwa mempersembahkan yang luar biasa. Ia mempersembahkan jauh lebih besar daripada sepersepuluh (persepuluhan) dari yang ia miliki. (Informasi dari Pdt. Suko Tiyarno, MTh. GKJW Jemaat Sukolilo, 2004).
Dari contoh-contoh di atas menjadi amat jelas bagi kita, betapa beraneka ragamnya cara kita menghayati dan mewujudkan makna persembahan. Kita bisa menggumuli di antara kejadian-kejadian di atas, mana yang kiranya lebih berkenan di hadapan Tuhan, dan mana yang tidak. Sekarang di bawah ini akan disampaikan kesaksian Alkitab tentang persembahan. Persembahan di Perjanjian Lama
00001. Kita mulai dari kitab Kejadian 4. Di sini kita berjumpa dengan persembahan oleh Kain dan Habil. Tidak disebutkan persyaratan persembahan. Mereka hanya mempersembahkan sebagian dari harta yang mereka miliki. Kita tidak tahu mengapa persembahan Kain ditolak, sementara persembahan Habil diterima. Kita berhadapan dengan “hak prerogatif/ istimewa” Allah dalam menilai persembahan. Artinya, siapa pun bisa saja mengklaim telah mempraktekkan pemberian persembahan secara benar, tetapi pada hakekatnya penilai sejati hanya Tuhan. Kain bisa saja merasa telah memberikan yang terbaik untuk Tuhan, tetapi di depan Tuhan apa yang dianggap terbaik bagi manusia bisa berarti belum apa-apa di hadapan Tuhan.
00002. Persembahan agaknya tidak hanya ditujukan kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama manusia (dalam hal ini atasn, raja). Perhatikan dua kutipan dari Kejadian 43:11-15 dan Yehezkiel 45: 16.
00003. Perjanjian Lama juga menyampaikan informasi tentang adanya persembahan khusus dari setiap orang yang tergerak hatinya untuk membantu terpenuhinya kebutuhan bagi rumah Tuhan, jadi bukan merupakan kewajiban bagi setiap orang. Fakta ini menyiratkan bahwa di jemaat selalu saja ada sebagian warga jemaat yang memiliki kepekaan yang amat tinggi untuk menyisihkan sebagian dari hartanya untuk keperluan gereja. Perhatikan isi kitab Keluaran 35:21 di bawah ini. “Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, setiap orang yang terdorong jiwanya, membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan dan untuk segala ibadah di dalamnya dan untuk pakaian kudus itu.”
00004. Persembahan pendamaian yaitu persembahan yang diserahkan oleh umat Tuhan pada jaman dahulu untuk “menebus” pelanggaran yang mereka lakukan dalam hidup. Dengan menyerahkan persembahan pendamaian, maka hidup mereka kembali disucikan. Perhatikan, misalnya Keluaran 30: 20-dst
00005. Ada pula persembahan yang hanya boleh digunakan oleh orang tertentu (keluarga Imam), orang lain tidak boleh. Perhatikan Imamat 22: 10-12 “10 Setiap orang awam janganlah memakan persembahan kudus; demikian juga pendatang yang tinggal pada imam ataupun orang upahan.11 Tetapi apabila seseorang telah dibeli oleh imam dengan uangnya menjadi budak beliannya, maka orang itu boleh turut memakannya, demikian juga mereka yang lahir di rumahnya.12 Apabila anak perempuan imam bersuamikan orang awam, janganlah ia makan persembahankhusus dari persembahan-persembahan kudus.”
00006. Menyerahkan beberapa persembahan sekaligus, yaitu persembahan persepuluhan,persembahan khusus, dan persembahan korban bakaran. Perhatikan Keluaran 12: 11 “…maka ke tempat yang dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya diam di sana, haruslah kamu bawa semuanya yang kuperintahkan kepadamu, yakni korban bakaran dan korban sembelihanmu, persembahanpersepuluhanmu dan persembahan khususmu dan segala korban nazarmu yang terpilih, yang kamu nazarkan kepada TUHAN.
00007. Menyerahkan persembahan persepuluhan (Maleakhi 3: 10) “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Tentang persembahan persepuluhan ini dalam prakteknya ternyata tidak sederhana, karena bukan sekedar sepersepuluh dari penghasilan. Kita perhatikan misalnya pada kitab Imamat 27: 30 : “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN. 31 Tetapi jikalau seseorang mau menebus juga sebagian dari persembahan persepuluhannya itu, maka ia harus menambah seperlima. 32 Mengenai segala persembahan persepuluhan dari lembu sapi atau kambing domba, maka dari segala yang lewat dari bawah tongkat gembala waktu dihitung, setiap yang kesepuluh harus menjadi persembahan kudus bagi Tuhan”Dalam tradisi umat Israel Perjanjian Lama persembahan persepuluhan ini diberikan kepada kaum Lewi. Mengapa? Karena mereka tidak memiliki mata pencaharian lain selain bekerja di bait Allah, di samping itu mereka tidak mendapatkan harta warisan. Perhatikan kitab Bilangan 18:21 “Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan.”Sebaliknya, kaum Lewi juga mempunyai kewajiban menyerahkan sepersepuluh dari persembahan persepuluhan yang mereka terima.

Catatan: Sebenarnya di Perjanjian Lama masih terdapat banyak lagi aturan tentang persembahan atau korban, tetapi untuk kali ini, contoh-contoh di atas dipandang cukup untuk memberi gambaran betapa perihal persembahan di Perjanjian Lama tidak sederhana. Persembahan di Perjanjian Baru Persembahan sebagai simbol rasa hormat dan kerinduan untuk memuliakan Tuhan. Perhatikan Injil Matius 2:11 “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” Di ayat ini tidak disebutkan satuan dari barang yang dipersembahkan. Artinya, kita tidak tahu jumlah yang mereka persembahkan: Apakah sepersepuluh dari yang mereka miliki atau…? Kita hanya bisa menduga bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik yang mereka miliki untuk Tuhannya. Tuhan Yesus agaknya tidak mengutamakan persembahan dalam arti uang atau benda, tetapi yang jauh lebih penting adalah kesediaan seseorang untuk bertobat. Perhatikan Injil Matius 9:13 “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” Bukan jumlah atau banyak-sedikitnya persembahan yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus, melainkan bobot pengorbanan yang mendasari persembahan yang diberikan. Pemahaman ini bisa kita baca di Injil Markus 12: 41: “Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. 42 Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. 43 Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyakdari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. 44 Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” Secara jumlah pasti amat sedikit yang diberikan oleh janda itu, tetapi secara prosentase dibandingkan dengan harta yang dimiliki, nilainya bisa lebih dari 100% (“..ia memberi dari kekurangannya…”). Sebaliknya persembahan dari orang kaya, secara jumlah pasti lebih besar, tetapi secara prosentase dari harta milik mereka, pastilah tidak lebih dari 1/10 (“…mereka memberi dari kelimpahannya….”). Janda miskin memberi persembahan dengan bobot pengorbanan yang amat besar, sementara orang kaya memberi persembahan dengan ringan saja -tanpa beban dan pengorbanan– karena memang hanya diambilkan sebagian kecil (sangat kecil?) dari harta miliknya. Rasul Paulus sebagai salah satu tokoh Alkitab menghayati persembahan bukan hanya uang atau benda, tetapi seluruh hidup. Perhatikan Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Istilah “tubuh = seluruh hidup” artinya menghayati dan mempraktekkan hidup untuk memusatkan perhatian kepada orang lain, bukan lagi untuk dirinya sendiri. Bandingkan dengan Injil Yohanes 21: 18 “…tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Bandingkan juga dengan cerita tentang anak muda yang kaya. Ia sudah menjalankan semua ajaran di Perjanjian Lama (tentunya termasuk persembahan persepuluhan dan jenis-jenis persembahan lainnya), tetapi di depan Yesus anak muda itu dianggap belum melakukan sesuatu yang berarti (Matius 19:21″ Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.“) Dan, ternyata, pemuda tadi masih lebih terikat pada hartanya daripada terikat pada Kristus. Perhatikan 2 Timotius 4:6 “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.” Pada usia lanjut Rasul Paulus menenggok ke belakang, bagaimana ia telah mencurahkan segala yang ia miliki -jasmani dan rohani- untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Kata “darah” di dalam kalimat di atas adalah juga melambangkan berbagai penderitaan dan kesusahan yang pernah dialaminya sebagai pemberita injil, dan itu dihayati sebagai bagian dari persembahan yang diberikan Paulus kepada Tuhan. Perhatikan Ibrani 10:8 “Di atas Ia berkata: “Korban dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau kehendaki dan Engkau tidak berkenan kepadanya” meskipun dipersembahkan menurut hukum Taurat.” Pada ayat ini kita mendapat gambaran tentang pemahaman yang baru tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sementara di Perjanjian Lama hubungan itu antara lain ditandai dengan persembahan sebagai simbol kesetiaan dan kepatuhan umat terhadap Tuhannya, sedangkan di dalam Perjanjian Baru hubungan antara manusia dengan Tuhan ditandai dengan pemberian anugerah keselamatan dari Yesus Kristus. Di Perjanjian Baru kesetiaan dan kepatuhan orang percaya kepada Tuhan-nya tidak lagi ditandai oleh besar kecilnya persembahan, tetapi oleh cara hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerajaan Allah, yaitu: kasih, keadilan, kebenaran, suka cita, damai sejahtera. Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini.
· Perhatikan Matius 23:23 “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”
· Perhatikan Lukas 11:42 “Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”
· Perhatikan 1 Petrus 2:5 “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.” Ayat ini ingin menegaskan tentang makna iman Kristen yang sudah mengalami pembaharuan karena pengorbanan Kristus. Hal yang terpenting bukan lagi memberi persembahan yang berupa benda, karena persembahan berupa benda tidak lagi menentukan keselamatan seseorang. Persembahan rohani jauh lebih berharga, yaitu hati bersih yang menerangi setiap tutur kata dan perbuatan kita setiap saat.
Lalu Bagaimana? Baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memberikan informasi yang amat beragam tentang persembahan. Tentulah tidak bijak kalau kita hanya mau menekankan atau mengambil satu jenis persembahan yang terdapat di Perjanjian Lama, dan mengesampingkan macam-macam persembahan lainnya. Oleh karena itu menjadi semakin jelas bagi kita bahwa saat ini, untuk memahami persembahan, tidak bisa lagi diambil secara hurufiah baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sebab kalau kita mengambil begitu saja makna persembahan/ persembahan korban dari Alkitab, pastilah akan kita temui berbagai kesulitan. Sebab aturan tentang persembahan di Perjanjian Lama amat rumit. Contoh kerumitannya, misalnya, bagaimana kita memahami aturan di Perjanjian Lama “memberi persembahan terbaik buat Tuhan?” Ternyata yang dimaksud adalah, kalau persembahan berupa korban binatang, maka kata “..terbaik..” itu artinya: jantan lebih diutamakan (Imamat 1:3); berumur 3 tahun (I Samuel 1: 24); fisiknya sempurna (Imamat 3:1), warna merah (Bilangan 19: 2). Satu contoh lagi, dapatkah kita menerapkan begitu saja isi Injil Matius 10:10 ini “Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya.” Apakah aturan semacam ini akan kita ambil dan terapkan begitu saja untuk konteks saat ini, tentu tidak bukan? Masih ada banyak lagi bagian dari Alkitab yang tidak bisa diterapkan secara langsung untuk kehidupan saat ini, harus dirumuskan terlebih dahulu. Demikian pula halnya dengan persembahan kita tidak bisa menyatakan bahwa persembahan yang satu lebih utama daripada jenis persembahan lainnya. Kalau kita mau menekankan secara hurufiah satu jenis persembahan (misalnya persepuluhan), maka kita tidak bisa membuang begitu saja aturan persembahan lainnya yang tertulis di Alkitab. Sebab di sini muncul persoalan: Siapa yang bisa memastikan bahwa persembahan yang kita prioritaskan itu sungguh-sungguh lebih berkenan di hadapan Tuhan? Oleh karena itu kita perlu belajar untuk rendah hati dan mau menyadari keterbatasan pemahaman kita atas isi Alkitab. Konsep persembahan di Perjanjian Lama antara lain adalah sebagai sarana pembinaan umat dan sebagai tanda kesetiaan dan kepatuhan umat terhadap Tuhan. Bagi umat Israel di jaman Perjanjian Lama, hukum itu memang mutlak. Kesetiaan dan kepatuhan umat Israel Perjanjian Lama terhadap aturan persembahan itu mengikat sekali. Artinya, ketidaksetiaan dan ketidakpatuhan mereka terhadap aturan itu akan membawa mereka kepada kebinasaan (Perhatikan kitab Amos 5: 7 dst.). Sedangkan konsep persembahan di Perjanjian Baru berbeda. Persembahan tidak menentukan keselamatan, tetapi sebagai salah satu buah ucapan syukur. Barangkali ilustrasi berikut ini bisa sedikit membantu. Hubungan antara Allah dengan umat Israel di Perjanjian Lama ibarat orang tua (Tuhan) dengan anak kecil (umat Israel). Orang tua bisa membuat aturan yang tegas untuk anaknya yang masih kecil: Pulang sekolah cuci tangan, ganti baju, makan siang lalu istirahat; pukul 16.00 mandi; pukul 16.30- 17-30 nonton TV atau bermain; dst. Tidak patuh terhadap aturan itu dihukum! Aturan semacam itu amat diperlukan untuk pembinaan, latihan disiplin dan persiapan masa depan. Perjanjian Baru tidak lagi seperti itu, Tuhan telah menempatkan manusia pada posisi orang dewasa, seseorang yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri (Yohanes 3: 16). Tentulah tidak wajar kalau kepada anak yang sudah mahasiswa, orang tua tetap memberlakukan aturan: Pukul 16.00 harus mandi, pukul 17.00 nonton TV, pukul 19.00 belajar, dst. Bukankah orang tua cukup mengatakan “Kamu sudah besar/dewasa: Belajarlah baik-baik!” Seorang anak yang sudah dewasa sudah bisa menangkap makna perintah sederhana itu. Sedangkan dalam prakteknya anak yang dewasa itu bisa saja menata sendiri irama hidupnya dengan mengikuti aturan yang berlaku saat ia masih kecil. Bedanya adalah, ketika masih kanak-kanak ia setia dan patuh kepada aturan karena takut hukuman, sedangkan ketika dewasa ia melaksanakan peraturan itu dengan kesadarannya sendiri, dengan rasa syukur, bukan karena takut hukuman. Demikian pula halnya dengan pemahaman tentang persembahan. Kesimpulan Setelah kita amati perihal persembahan baik di Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru, maka kita menyimpulkan tentang persembahan sbb.:
· Persembahan yang kita lakukan saat ini bukan lagi sebagai “korban” baik untuk penebusan dosa atau sebagai “alat” untuk mendapatkan berkat dari Tuhan. Tuhan Yesus dengan karya penebusanNya telah memperbaharui secara mendasar makna persembahan. Jangankan sepersepuluh, mempersembahkan sepertiga atau setengah dari yang kita miliki pun tidak akan cukup untuk mensyukuri kebaikan Tuhan. Oleh karena itu Tuhan Yesus tidak pernah menyinggung soal jumlah dalam hal persembahan.
· Persembahan sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita. Hal yang paling utama dalam persembahan adalah hati yang bersyukur. Persembahan juga sebagai wujud nyata pengakuan kita bahwa tanpa berkat Tuhan kita tidak bisa apa-apa.
· Persembahan sebagai wujud nyata kesediaan kita untuk turut menopang pekerjaan Tuhan di dunia ini.
· Persembahan sebagai wujud nyata kesediaan kita untuk tidak membiarkan uang dan harta benda menguasai hidup kita, dengan cara mau mengurangi uang atau harta benda yang ada pada diri kita untuk kebutuhan pelayanan.

Catatan: Dengan pemahaman di atas bukan berarti kita bisa seenaknya memberikan persembahan. Kalau kita sudah dewasa pastilah akan secara dewasa pula memahami hal-hal di atas. Artinya, besar kecilnya persembahan (tentulah sesuai dengan keadaan masing-masing) bisa menjadi salah satu tanda kedewasaan iman seseorang. Langkah Praktis Secara teknis persembahan bisa kita wujudkan berupa persembahan rutin dan persembahan khusus. Persembahan rutin: Persembahan yang secara ajeg kita siapkan, misalnya:
· Persembahan bulanan, atau kalau mau memakai istilah persepuluhan (Maleakhi 3) atau seperlima (Imamat 6) juga tidak masalah. Catatan: Persembahan persepuluhan atau seperlima disebut di atas semata-mata hanya sebagai salah satu pilihan cara kita mendisiplin diri dalam bersyukur kepada Tuhan. Sebab, kita tidak lagi menerapkan persepuluhan seperti di Perjanjian Lama, sebab kalau diterapkan persis seperti di Perjanjian Lama akan berbenturan dengan aturan gereja (GKJW). Karena di Perjanjian Lama persembahan persepuluhan diberikan kepada kaum Lewi (untuk jaman sekarang -kira-kira- mirip pendeta). Padahal di GKJW persembahan apa pun dipakai untuk berbagai macam kebutuhan gereja.
· Persembahan untuk ibadat-ibadat (Minggu, Hari Raya Persembahan, Ibadat Rumah tangga, dlsb.)
Persembahan khusus: Persembahan yang kita serahkan ke gereja ketika mengalami saat-saat istimewa dalam kehidupan kita. Tentang persembahan khusus ini, saya menyampaikan jenis-jenis persembahan syukur yang pernah dilaksanakan oleh warga GKJW di berbagai jemaat, yakni, a.l.: Sembuh dari sakit; ulang tahun; naik pangkat/ karier; naik kelas/ lulus ujian; menempati rumah baru; ulang tahun perkawinan; memenangkan tender; membuka usaha baru; dikaruniai putra/i; diterima kerja; memasuki masa pensiun; berhasil menjual rumah/ tanah. Ketika kita memberikan persembahan apa pun dan berapa pun, haruslah dijauhkan dari “harapan tersembunyi” agar Tuhan memberikan kembali berlipatganda dari yang telah kita persembahkan. Kalau disertai “harapan tersembunyi” seperti itu berarti persembahan kita tidak lagi tulus. Bukankah hal itu justru pertanda bahwa semangat mempersembahkan kita adalah semangat materialistis, semangat keserakahan, bukan semangat ucapan syukur? Tentulah hal itu justru bertentangan dengan kehendak Tuhan, bukan? Bagi orang percaya yang dewasa, suka cita hidup dan berkat Tuhan tidak ditentukan oleh harta dan uang. Bandingkan dengan penghayatan Ayub (Ayub 2: 10). Oleh karena itu semangat mempersembahkan adalah semangat untuk semakin mengasihi Tuhan lebih dari hari-hari yang telah lewat. Adalah tugas kita semua untuk terus belajar agar semakin dimampukan untuk semakin dewasa iman. Sebab pertumbuhan gereja yang benar tidak ditentukan oleh uang, tetapi oleh iman warga jemaat yang semakin dewasa. Tentulah juga dipahami bahwa disamping uang, banyak di antara kita yang juga memberikan persembahan yang luar biasa nilainya, a.l.: Tenaga, waktu, keahlian, dlsb.
“Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. -Lukas 6: 43

Persembahan di dalam Perjanjian Baru

Korban yang Dipersembahkan Allah
Yang utama, menurut saya, yang harus kita renungkan dan pertimbangkan adalah apa yang dilakukan Allah bagi kita. Kita sudah melihat semua korban persembahan yang harus dipersembahkan orang Israel di bawah hukum Musa. Memang sangat merepotkan. Tetapi kita juga belajar bahwa di dalam Perjanjian Baru, kita tidak wajib lagi memberikan persembahan-persembahan itu. Ibrani 10:1-9 mengajarkan kepada kita bahwa darah lembu dan domba jantan tidak bisa menghapus dosa, melainkan mengingatkan orang Israel mengenai adanya dosa. Darah binatang tidak sempurna. Oleh karena itu Allah menghapus korban persembahan binatang untuk menegakkan yang kedua, yaitu korban AnakNya sendiri, Yesus Kristus.
Baiklah kita mempertimbangkan dan merenungkan hal ini baik-baik, saudarasaudara. Itulah Allah yang mempersiapkan korban penghapus dosa bagi kita. Di bawah Perjanjian Lama, orang Israel sendiri yang harus mempersiapkan korban penghapus dosa. Tetapi di bawah Perjanjian Baru, itulah Allah sendiri yang sudah menyediakan korban penghapus dosa bagi kita sehingga tidak ada apa-apa yang harus kita persembahkan untuk menghapus dosa kita. Luar biasa baiknya Allah terhadap kita, bukan? Kenyataan itu seharusnya membuat kita mengucap syukur kepada Tuhan.
Seperti kita melihat dalam pelajaran kedua, “Kenapa Allah tidak memberkati saya?” adalah pertanyaan yang salah, dan memang begitu. Berpikirlah! Kalau Allah memberikan kepada kita satu trilyun rupiah, atau membuat kita presiden Republik Indonesia, atau memberi kesempatan kepada kita untuk berjalan keliling dunia, atau memberikan kepada kita anak-anak yang banyak, atau sesuatu hal yang lain yang kita inginkan secara jasmani, apakah gunanya semuanya itu? Apakah itu bisa menyelamatkan kita? Apakah itu bisa menghapuskan dosa kita?
Allah sudah mengorbankan AnakNya sendiri, AnakNya yang tunggal, bagi kita supaya kita bisa memperoleh hidup yang kekal. Yesus berkata dalam Matius 16:26, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Apakah yang bisa diberikan Allah kepada kita yang melebihi AnakNya sendiri? Apakah yang dapat diberikan Allah kepada kita yang melebihi hidup yang kekal dan satu tempat bersama dengan Dia di sorga untuk selama-lamanya yang dimungkinkan karena korban AnakNya? Tidak ada, saudarasaudara!!
Renungkanlah ini baik-baik. Allah sudah memberkati kita dengan luar biasa! Atas dasar apakah kita mempunyai hak untuk mengeluh dan bersungut-sungut bahwa Allah tidak memberkati kita? Allah mungkin berkata, “Saya sudah mengorbankan Anak Saya supaya kau bisa menerima pengampunan dosa dan hidup yang kekal. Saya sudah menyediakan harta di sorga bagi kau. Kenapa kau mengeluh dan bersungut-sungut karena Saya tidak memberikan (_____________________ isi permintaanmu sendiri di sini) kepada kau?” Kita harus sungguh-sungguh mengucap syukur kepada Allah atas karuniaNya dalam mengorbankan AnakNya bagi kita. Kalau Allah tidak rela mengorbankan AnakNya bagi kita, tidak ada di antara kita manusia yang masuk ke dalam sorga.
Tuntutan Allah kepada Kita
Jadi, kalau Allah mengorbankan AnakNya Yesus Kristus bagi kita, dan oleh karena Yesus Kristus mengorbankan diriNya bagi kita, maka layak bagi Allah untuk menuntut dari orang yang mau mempunyai pengampunan dosa dan hidup yang kekal itu harus menyerahkan dirinya sepenuhnya kepadaNya. Kalau Yesus Kristus mengorbankan diriNya bagi kita, maka kita juga wajib mengorbankan diri kita bagi Yesus. Itu layak dan adil.
Yesus berkata demikian di dalam Lukas 9:23, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Maksud Yesus adalah bahwa orang yang mau menjadi muridNya harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya. Menyangkal diri berarti bahwa seseorang tidak lagi melakukan apa yang diinginkannya, melainkan apa yang diinginkan Allah. Orang yang memikul salib adalah orang yang rela menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Yesus. Sama seperti Yesus menyerahkan diriNya sepenuhNya di atas kayu salib bagi kita umat manusia, kita juga harus rela menderita bahkan mati bagi Yesus. Kita harus rela menyerahkan segala sesuatu kepadaNya.
Dalam Roma 12:1, 2, Paulus berkata bahwa kita harus mempersembahkan kehidupan kita sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Ini menyinggung kembali kepada korban persembahan yang dipersembahkan orang Israel di bawah hukum Taurat. Kita tidak lagi mempersembahkan korban binatang, tetapi kita mempersembahkan tubuh kita, kehidupan kita sepenuhnya kepada Allah, sebagai persembahan yang hidup. Maksudnya, bukan lagi kita yang hidup untuk diri kita sendiri, tetapi kita harus hidup bagi Allah pada segala saat di mana saja. Kehidupan kita dikorbankan dan dipersembahkan kepada Allah dan kerajaanNya.
Yesus juga berkata di dalam Lukas 14:33, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu.” Kalau seseorang tidak mau melepaskan dirinya dari segala miliknya, dia tidak bisa menjadi murid Yesus. Kita harus rela mengorbankan segala milik kita bagi Yesus dan kerajaanNya kalau kita mau menjadi muridNya. Kalau kita tidak mau mengorbankan segala harta milik kita kepada Yesus, maka kita tidak bisa menjadi muridNya. Titik. Lagi, ingat bahwa segala milik kita asalnya dari Tuhan dan sebenarnya adalah Tuhan punya. Allah hanya memberikannya kepada kita untuk sementara waktu sesuai dengan kehendakNya.
Jadi kita hanya mengembalikan kepada Allah apa yang adalah milikNya, apa yang telah dipercayakanNya kepada kita. Kita harus merubah pikiran kita dari “ini milik saya” kepada “ini adalah milik Allah yang dipercayakan kepada saya untuk sementara waktu saja,” atau “inilah milik Allah yang dipercayakan kepada saya untuk dipergunakan untuk kemuliaan namaNya dan perkembangan kerajaanNya.” Tentu, Allah juga memberikan kepada kita segala sesuatu untuk kita nikmati (1 Tim. 6:17b). Tetapi kita harus selalu ingat bahwa itulah karunia dari Allah.

Terlebih Berkat Memberi Dari Pada Menerima (Persembahan)

 

PENDAHULUAN

Seiring dengan kenaikan harga BBM beberapa waktu yang lalu, tarif angkutan pedesaan, angkutan kota dan tarif kendaraan angkutan lainnya juga ikut naik. Hal seperti ini sudah terjadi berkali-kali. Masyarakat yang tidak memiliki kendaraan tidak bisa berbuat apa-apa selain membayar sesuai degan tarif yang berlaku. Walaupun kenaikan-kenaikan itu terasa semakin berat, pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan lain menuntut mereka untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan alat-alat transportasi yang ada.
Biaya kebutuhan lain pun ikut naik. Barangkali ada juga yang naik tensi darahnya. Namun ada satu yang biasanya tidak naik. Persembahan! Bahkan ketika biaya hidup semakin tinggi, persembahan turun. Padahal, persembahan berhubungan erat dengan pencapaian tujuan kita, yaitu surga. Itu adalah “ongkos” yang harus kita bayar. Persembahan adalah satu dari lima elemen penting dalam kebaktian. Dan Allah sangat bijaksana. Biaya “transportasi” yang satu ini tidak pernah Ia naikkan. Standar persembahan tetap sama seperti standar yang berlaku 2000 tahun yang lalu. Justru kitalah yang merasa terbebani oleh beban ringan yang tarifnya tidak pernah naik ini.
Apa yang salah? Sikap! Kita belum memiliki sikap serius dan kesadaran yang memadai tentang persembahan. Elemen ini adalah perintah dan karena itu merupakan bagian penting dalam kebaktian. Inilah sumber keuangan Jemaat. Jemaat adalah organisasi yang sistimnya telah ditentukan oleh Allah. Setiap organisasi membutuhkan uang. Oleh sebab itu, Allah menetapkan cara kudus untuk menggali dana ini. Kita dituntut untuk memelihara cara itu dan memiliki pengertian serta sikap yang loyal terhadap penyembahan.

A. KEGIATAN DAN CARA ASING UNTUK MENGUMPULKAN UANG

1. Perpuluhan. Persembahan perpuluhan atau persepuluhan adalah pemberian sepuluh persen dari jumlah penghasilan kepada Tuhan. Ada dua hal yang perlu kita renungkan mengenai persembahan ini.
A. Perintah ini diberikan kepada orang Israel (Imamat 27:30; Bilangan 18:21). Artinya, non Yahudi tidak pernah diikat oleh hukum persepuluhan. Kita tidak terikat oleh perintah ini. Dalam Maleakhi 3:6-12, Allah mengecam orang Israel atas kelalaian terhadap kewajiban ini. Ada prinsip yang patut kita garis bawahi dalam teks tersebut, yaitu: Tuhan mengetahui apakah orang Israel memberikan yang sepuluh persen itu atau tidak. Dia pun pasti tahu apakah kita memberikan persembahan sesuai dengan perintah dalam Perjanjian Baru atau tidak.
B. Hukum itu telah dipakukan di kayu salib (Kolose 2:14; Ibrani 7:12). Maksudnya, orang Israel - yang kepadanya persepuluhan diperintahkan - tidak lagi berada di bawah hukum Taurat, termasuk persepuluhan.
2. Pengumpulan uang yang rutin dilakukan pada setiap pertemuan pertengahan minggu. Sebagian orang mengumpulkan uang pada acara kelas Alkitab, persekutuan jemaat, persekutuan keluarga dan sebagainya untuk dimasukkan ke dalam kas jemaat. Mereka menganggap kebiasaan ini perintah Allah. Rutherford menuliskan hal-hal lain yang biasa dilakukan (__:32):
3. Cucian mobil
4. Lelang
5. Investasi (penanaman modal)
6. Bazar, yaitu pasar/penjualan yang diadakan sewaktu-waktu untuk tujuan tertentu.
7. Bingo (baca: bingo__ Semacam permainan yang menggunakan angka). Dalam menjelaskan permainan ini, Salim mengatakan bahwa ketika nomor-nomor dibacakan secara tidak teratur, kotak-kotak bernomor pada kartu lain ditutupi (1996:202).
Cara-cara ini asing bukan karena jarang dilakukan. Kalau dilihat dari persentase orang yang melakukan dan frekuensi penerapannya, kita tidak ragu untuk menyebutnya metode-metode lumrah. Tapi dinilai dari sudut pandang Perjanjian Baru, cara-cara tersebut asing.

POLA PEMBERIAN DALAM PERJANJIAN BARU

Dalam Perjanjian Lama, Allah menuntut pemberian yang terbaik (Imamat 1:3,10; Bilangan 18:12). Allah menghendaki domba yang tidak bercela dan minyak serta hasil-hasil ladang yang terbaik.
Perjanjian Baru pun menuntut pemberian yang terbaik dan sesuai dengan pendapatan. Sangat menarik untuk dicatat bahwa Allah tidak menetapkan standar mutlak mengenai persembahan dalam Perjanjian Baru seperti dalam Perjanjian Lama. Di bawah hukum Perjanjian Baru, tidak ada peraturan yang menyuruh kita memberi sepuluh persen dari pendapatan kita. Namun bukan berarti jumlah yang harus kita beri dan cara memberikan persembahan itu sesuka hati kita.
Cara untuk memberi terdapat dalam 1 Korintus 16:1-2. Ayat ini bukan milik orang Korintus semata, tetapi juga mengikat semua orang yang menyebut dirinya pengikut Kristus (1 Korintus 1:2). Selain itu, instruksi yang sama juga diberikan kepada Jemaat-jemaat yang ada di Galatia (1 Korintus 16:1; 4:17). Oleh sebab itu, cara kita mengumpulkan uang harus sesuai dengan cara-cara yang diperintahkan, bukan sewenang-wenang.
Informasi mengenai pemberian ini sangat lengkap. Berita dianggap lengkap bila informasinya mengandung 5W+1H (Pratana, 2002:95). Bukan berarti perintah ini layak dimuat di koran, tetapi untuk menekankan bahwa pesannya cukup jelas dan tidak membingungkan. Inilah unsur 5W+1H yang terkandung dalam 1 Korintus 16:1-2.
When (kapan)? — Mempertanyakan waktu pemberian atau pengumpulan uang. Teks menjawab bahwa pengumpulan uang itu diadakan pada hari pertama dalam tiap-tiap minggu, yaitu hari Minggu.
Who (siapa)? — Mempertanyakan orang-orang yang terlibat dalam memberi. 1 Korintus 16:1-2 menjelaskan bahwa setiap orang wajib memberi dengan frase “kamu masing-masing.”
What (apa)? — Mempertanyakan wujud yang perlu diberikan. Ayat 1 dari pasal 16 tersebut berbicara tentang pemberian uang untuk kebutuhan orang-orang suci. Dalam ayat 2, Paulus memakai kata “sesuatu” yang menjurus kepada pembicaraan dalam ayat 1, yaitu “uang.”
Where (di mana)? — Mempertanyakan tempat melakukannya. Mungkin kebanyakan di antara kita lalai dalam hal ini. Sebagian orang baru memilih-milih uang dari dalam dompetnya ketika kantong persembahan muncul di hadapan mereka. Tidak ada persiapan. Perhatikanlah bahwa teks menyuruh kita untuk menyisihkan sesuatu di rumah. Hal itu mengindikasikan bahwa kita harus merencanakan dari rumah dan mempersiapkannya supaya kita tidak kewalahan ketika kantong persembahan disodorkan.
Why (mengapa)? — Mempertanyakan alasan untuk memberikan. Selain menyokong keuangan jemaat,- seperti yang sudah di bahas dalam pendahuluan – pengumpulan uang juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang suci (ayat 7), termasuk Jemaat lokal. Namun bukan kebutuhan pribadi, tetapi lebih bersifat kolektif dan berhubungan dengan kegiatan Jemaat. Dalam ayat 2 Paulus mengatakan, “…supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan kalau aku datang.” Artinya, ketika jemaat butuh, dana telah tersedia sehingga tidak perlu bingung untuk mencari-cari.
How much (seberapa banyak)? — Mempertanyakan jumlah yang harus diberikan. Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa Allah tidak menuntut persepuluhan dalam Perjanjian Baru, tetapi sesuai dengan apa yang diperoleh. Artinya, orang Kristen harus menilai dan mempertimbangkan dari rumah apakah persembahannya itu layak atau tidak dan apakah sesuai dengan pendapatannya atau tidak. Patokan apa yang kita pakai untuk menilai dan mengukur?
Allah sudah mengajar dan melatih orang Israel untuk memberi dengan limpahnya. Roma 15:4 mengatakan bahwa segala sesuatu telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita. Allah tidak akan menghukum kita bila kita memberi sepuluh persen atau dua puluh persen dari pendapatan kita dengan catatan, bukan atas perintah hukum Taurat tetapi pemberian dan ucapan syukur yang melimpah.

C. PRINSIP-PRINSIP MEMBERI

1. Menyerahkan diri sepenuhnya (2 Korintus 8:5; Roma 12:1; 1 Korintus 6:19-20).
2. Menabur banyak (2 Korintus 9:6,10,11; Lukas 6:38).
3. Iklas (2 Korintus 8:8).
4. Direncanakan
5. Bersukacita (2 Korintus 9:7).
6. Memprioritaskan kerajaan Allah (Matius 6:33)
7. Peliharalah kekonsistenan seperti halnya dalam menabung (bandingkan Matius 6:19-21).

KESIMPULAN

Persembahan adalah bagian penting dalam kebaktian. Oleh sebab itu orang Kristen tidak boleh menganggap remeh elemen tersebut. Kelalaian dalam persembahan, termasuk jumlah pemberian, dapat mempengaruhi keselamatan kita. Kolose 2:7 mengatakan, “… hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” Ada prinsip agung yang harus kita perhatikan dalam Matius 6:25, "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?”

Persembahan Terbaik


Lukas 21 : 1 - 4














Pada zaman Yesus, orang banyak yang datang beribadah tidak datang dengan tangan kosong sebagaimana mereka ketahui seperti tertulis dalam Ulangan 16 : 16b - 17, " jangan ia menghadap hadirat Tuhan dengan tangan hampa, tetapi masing masing dengan sekadar persembahan, sesuai dengan berkat yang di berikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu".
Diantara mereka adalah orang orang kaya dan seorang janda miskin. Mereka sama sama memberikan persembahan berupa uang . Sebenarnya tidak ada yang aneh sampai Yesus memberikan penilaian. Perbedaannya adalah orang orang kaya memberikan kelimpahannya, sedang janda miskin memberi dari kekurangannya bahkan seluruh nafkah. Pada ayat 2 ditulis bahwa janda miskin itu memberi persembahan 2 peser.
"Peser" dalam bahasa Yunani adalah "lepton", mata uang terkecil diantara orang Yahudi. Orang Romawi tidak mengenal dan memakai "lepton" karena mata uang terkecil mereka adalah "quadran" (LAI menggunakan istilah "duit"). Satu "quadran" sama dengan dua "lepton". Berapakah besarnya 1 lepton atau peser jika di kurs ke dalam Rupiah ? mari kita coba hitung berdasarkan Matius 20, upah kerja satu hari adalah 1 dinar. 1 dinar sama dengan 128 lepton. Jika kita mengasumsikan upah kerja satu hari Rp. 30,000,- maka 1 lepton sama dengan Rp. 30,000,- bagi 128 yang berarti sama dengan Rp. 234,- dibulatkan, 1 lepton/peser = Rp. 250,-. Berarti si janda miskin memberi persembahan 2 lepton sama dengan Rp. 500,-. Wah, kecil sekali nilainya. Apakah itu cukup untuk kebutuhan satu hari? Kasihan juga perempuan itu. Sudah janda, miskin pula. Dengan tidak memberi persembahan saja si janda miskin sudah susah hidupnya.
Yesus seolah membuat pernyataan mana lebih mudah memberi persembahan saat kita dalam kelimpahan atau kekurangan ? kalau saya menjawab lebih mudah saat dalam kelimpahan. Kondisi itu membuat kita terhindar dari sikap kuatir dan ketakutan akan bagaimana pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari kita. karena masih kelimpahan masih ada jaminan rasa aman. Sebab kalau, kita memberi dalam kekurangan tentu saja sudah kekurangan ditambah harus melepaskan yang kita punya terakhir, lalu bagaimana pemenuhan kebutuhan kita selanjutnya ? Kosong, habis sudah tidak punya apa apa lagi. Kita akan menjadi kuatir dan takut.
Yesus memuji kehebatan janda miskin itu. Apa ? Kehebatannya adalah ketika kekuatiran tidak lagi mengikat hidup janda miskin dalam memberikan persembahannya.  Terlihat ia bebas memberi. Sementara banyak orang hidup dalam kekuatiran sehingga Yesus pernah berkata, " janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai" (Matius 6:25).
Nampak bahwa fokus Yesus hanya sikap janda miskin itu, dan bukan orang orang kaya. Dala kaca mata dunia pemberian orang kaya itu lebih banyak jumlahnya, dan itu hebat. Janda miskin itu memberi sangat sedikit dan itu kasihan sekali. Manusia melihat pada apa yang nampak saja. Memang itu wajar saja. Tetapi disini Yesus mengajarkan kepada murid murid-Nya untuk melihat secara berbeda, yaitu dibalik apa yang nampak. Justru apa yang tidak nampak, di balik pemberian janda miskin, bagi Yesus, ia memberi lebih banyak dari pada semua orang. Kenapa ? Padahal hanya dua peser saja. Adalah karena janda miskin itu telah memenangkan hidupnya dari rasa kekuatiran. Ini bukan berarti bahwa janda miskin sudah tidak butuh makan dan minum. Ketidak kuatirannya itu menunjukan kebergantungan hidupnya hanya kepada Allah. Seperti yang kita bisa renungan dalam Filipi 4:6, " Janganlah jendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan sukur". Amin


ZAKHEUS MEMBERI DENGAN TULUS, BUKAN MEMBELI KESELAMATAN


Zakheus sang pemungut cukai dengan tulus hati mau membayar harga untuk meninggalkan masa lalunya yang merasa bersalah. Ia mau meninggalkan hal-hal yang tidak berkenan di dalam hidupNya. Bukti ketulusan hati dalam pertobatan dirinya adalah ia memberikan setengah dari harta yang telah dirampasnya kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang diperas dari seseorang akan dikembalikan empat kali lipat.

Mengapa seorang pemungut cukai seperti Zakheus sampai bisa melakukan hal seperti itu? Ada 3 kunci yang membuatnya melakukan tindakan radikal hingga kisahnya yang ditulis di Alkitab telah banyak menginspirasi kita.

Pertama, mendengar. Zakheus mendengar bahwa Tuhan Yesus akan datang ke kota Yerikho,kota yang ia tinggali. Zakheus tidak peduli apa anggapan orang tentang dirinya, ia tetap bertekad untuk bertemu dengan Tuhan Yesus."Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17).

Kedua, mengalami Kristus. Zakheus telah mengalami kehadiran Kristus dalam hidupnya. Zakheus merasakan damai sejahtera dan sukacita melimpah yang belum pernah ia alami selama ini, sehingga melepaskan ia dari rasa bersalah. "Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu."Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita." (Lukas 19:5-6)

Ketiga, menerima berkat. Setelah Zakheus tulus hati dalam pertobatannya, ia menerima berkat yang melimpah. Keluarganya diselamatkan dan ia kembali dipulihkan. Zakheus dalam segala kelimpahannya sebagai seorang pemungut cukai, menerima berkat rohani yang melimpah karena dengan tulus hati ia menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Kata Yesus kepadanya: "Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." (Lukas 19:9-10)

Hal-hal inilah yang perlu kita pelajari dari kehidupan seorang Zakheus, supaya kita bisa memiliki hati yang memberi dengan tulus benar-benar dari dalam hati kita saja. Mendengar, mengalami Kristus, dan akhirnya kehidupan diberkati. Namun bukan berarti kita memberi dengan motivasi agar kita mendapat berkat-berkat. Zakheus tidak berfokus pada berkat dan tidak membeli keselamatan. Ia memberi sebagai buah dari pertobatan.

Amsal 10:22 “Berkat Tuhan lah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.”

Perkenanan Tuhan tidak bisa dibeli. Memberi harus berasal dari hati yang tulus, tanpa motivasi tertentu.

Zakheus juga menjadikan pertobatannya sebagai ucapan terimakasih. Berterimakasih adalah konsep, dan bagian terbaik dari sebuah konsep adalah merealisasikannya. Rasa terimakasih itu bisa lebih bermakna jika dilakukan dengan perbuatan, dan Zakheus melakukannya dengan perbuatannya yaitu memberikan apa yang memang bukan milik dia sepenuhnya dengan ketulusan hati.

Maukah Anda juga seperti Zakheus yang memberikan makna dalam memberi? Selidiki juga motivasi kita, apakah memang benar-benar dari ketulusan hati yang paling dalam atau masih ada motivasi lain yang mendorong kita untuk memberi.


Zakheus di antara Yesus dan Ahli Taurat
"Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa."

Semua orang ingin terus lebih baik lagi dari hari ke hari. Terus belajar dan mendalami Firman Tuhan, menjauhi kejahatan, menghindari berbuat dosa dan menjaga kekudusan, terus berubah menjadi semakin baik, itu semua tentu saja sangat baik untuk dilakukan. Jika itu sudah atau sedang anda lakukan hari ini maka anda sedang terus semakin mendekati dan mencerminkan pribadi Kristus. Tetapi berhati-hatilah, karena di balik proses itu apabila kita tidak hati-hati maka kita bisa dengan gampang dirasuk dosa kesombongan. Kita bisa terjerumus ke dalam sebuah perasaan yang menganggap diri kita paling suci, paling bersih, paling benar dan kemudian merasa punya hak untuk menghakimi orang lain. Kita bisa menjadi orang yang merasa diri paling sempurna dan dengan cepatnya menjatuhkan "vonis" kepada orang lain. Jika dibiarkan, maka kita pun akan menjadi komentator-komentator cerewet yang penuh kesinisan dan kenegatifan. Si A berdosa ini, si B dosanya itu, gereja itu sesat, gereja ini tidak benar dan sebagainya. Begitu mudahnya kita memvonis orang, bahkan dengan berani menyatakan siapa yang ke surga atau neraka. Semakin banyak yang kita kritik maka rasanya semakin hebat pula diri kita. Bahkan di kalangan hamba-hamba Tuhan gejala seperti inipun bisa saja terjadi. Ini bukanlah hasil yang diharapkan dari sebuah pertobatan dan usaha menguduskan diri. Alih-alih menjadi garam dan terang dunia, kita malah bisa terperangkap dalam sikap yang cenderung menjauhi mereka yang sebetulnya sedang butuh pertolongan agar tidak binasa. Dan disisi lain itu sama saja seperti kita sedang membinasakan diri sendiri.  

Terjebak dalam sikap merasa diri paling berhak, layak dan benar ini sudah dipertontonkan sejak lama oleh para orang Farisi. Mereka ini adalah tokoh-tokoh pemuka agama yang berhak memutuskan segala sesuatu, haram dan halal pada masa itu. Mereka merasa superior karena mengetahui dan hafal terhadap hukum Taurat dan menganggap diri mereka sebagai representatif Tuhan di muka bumi ini, sehingga merasa punya hak untuk menghakimi orang lain sesuai pendapat atau keinginan mereka. Orang-orang Yahudi pun sama saja, mengikuti sikap yang salah dari para pemimpin agama mereka ini. Sementara di sisi lain, Yesus datang ke muka bumi ini justru untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang, atau sebagai tabib yang menyembuhkan orang sakit, seperti apa yang dikatakan Yesus dalam Lukas 5:31, "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit." Dan Yesus tidak pandang bulu dalam menyelamatkan orang. Ia bertemu dan bersinggungan dengan begitu banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda dan masalah berbeda-beda, tetapi semua sama layaknya untuk menerima keselamatan, karena Tuhan mengasihi semua manusia tanpa terkecuali. Dia tetap membuka kesempatan untuk bertobat bagi siapapun tanpa menimbang terlebih dahulu berat ringannya dosa atau pantas tidaknya seseorang untuk diselamatkan. Antara orang Farisi dan Yesus terdapat perbedaan yang sungguh nyata mengenai sikap dalam menghadapi orang berdosa. 

Salah satu contoh nyata yang menggambarkan perbandingan kontras mengenai sikap atau cara pandang antara Farisi dan Yesus ini bisa kita lihat dalam kisah perjumpaanNya dengan Zakheus sang pemungut cukai. Sosok Zakheus cukup jelas digambarkan di dalam Alkitab: "Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya. Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek." (Lukas 19:2-3). Zakheus yang berbadan pendek ini adalah seorang pemungut cukai yang kaya. Pada masa itu orang Yahudi terutama para ahli Taurat menggolongkan para pemungut cukai ini sebagai orang berdosa. Dicap sampah masyarakat, pendosa, bahkan digolongkan dalam satu kelas bersama orang lalim, penzinah dan perampok (Lukas 18:11). Para pemungut cukai ini biasanya dicemooh dan dipandang hina, bahkan uang mereka tidak diterima sebagai persembahan. Zakheus ada dalam kelompok ini. Tapi sepertinya Zakheus punya kerinduan yang sangat besar untuk dapat bertemu Yesus yang ia idolakan. Sayang badannya pendek, sehingga sulit baginya untuk bisa melewati orang-orang lain yang berpostur lebih tinggi darinya. Tapi ia tidak menyerah, ia pun berusaha sedemikian rupa dengan memanjat pohon ara. (Lukas 19:4). Usahanya berhasil. "Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Yesus melihatnya dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu." (ay 5). Bisa dibayangkan betapa terkejutnya Zakheus. Tidak saja melihat dan berbicara kepadanya, tapi Yesus bahkan berkenan untuk masuk dan menumpang dirumahnya. Tentu saja hal ini disambut Zakheus dengan sukacita. Tapi lihatlah apa yang dikatakan kerumunan orang Yahudi dan orang-orang Farisi. "Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa." (ay 7). Mereka beranggapan bahwa Zakheus itu sangat hina sehingga Yesus seharusnya tidaklah pantas sama sekali untuk mendatangi rumah orang sehina dia. Kontroversial? Jelas. Tapi perhatikanlah bahwa cara pandang mereka ini sesungguhnya menutup pintu dari orang lain yang berkesempatan untuk diselamatkan. Mereka hanya dengan mudah menghakimi dan memberi cap tanpa mau berbuat apa-apa. Apa yang terjadi kemengharukangguh luar biasa. Tuhan Yesus menganugerahkan keselamatan kepada Zakheus sebagai buah pertobatannya. Bukan saja kepada diri Zakheus sendiri, namun seluruh anggota keluarganya pun turut diselamatkan. Yesus pun menutup jawaban terhadap protes kerumunan orang-orang yang merasa lebih benar ini dengan "Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." (ay 10).

Dari kisah ini, siapa yang ingin kita teladani? Yesus atau para ahli Taurat dan orang-orang Yahudi yang merasa dirinya sudah lebih baik dari orang lain? Adakah hak kita memvonis atau menjatuhkan penghakiman terhadap orang lain dan merasa kita lebih hebat dari mereka? Kalau Yesus saja mengasihi tanpa pandang bulu dan memberi kesempatan yang sama bagi siapapun untuk bertobat tanpa menimbang berat ringannya dosa yang pernah dibuat, siapalah kita yang merasa jauh lebih berhak untuk menilai orang lain dan menentukan kemana mereka nanti bakal ditempatkan. Tanpa sadar manusia sering membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain agar diri mereka terlihat hebat. Itu bukanlah cerminan pribadi Kristus. Membuang muka, mencibir, menghina, menjaga jarak juga merupakan bentuk-bentuk penghakiman yang seharusnya bukan menjadi hak kita. Padahal mungkin Tuhan memberi kesempatan kepada mereka untuk berbalik kembali ke jalan yang benar lewat kita. Dengan sikap yang salah, kita pun menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi berkat bagi mereka yang butuh pertolongan.Kita gagal untuk memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah dan dengan demikian gagal untuk melakukan tugas yang telah diamanatkan oleh Yesus sendiri.

Ingatlah bahwa perkara menghakimi adalah mutlak milik Tuhan. "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu."(Matius 7:1-2). Yesus datang justru untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang, dan kepada kita pun telah diberikan amanat agung disertai pesan untuk menjadi terang dan garam di dunia ini. Semua itu tidak akan pernah bisa kita laksanakan apabila kita masih memiliki hati yang angkuh yang merasa berhak menghakimi, menilai, mencap, atau memvonis orang lain sesuka kita. Oleh karena itu, jauhilah perilaku seperti para ahli Taurat dan orang-orang Yahudi yang merasa diri mereka begitu benar sehingga layak untuk menghakimi dan menjauhi orang lain. Seperti Yesus yang tetap mengasihi dan mau mengulurkan tanganNya, kasihilah mereka, karena mereka pun layak beroleh kesempatan untuk selamat!

Jangan menghakimi agar tidak dihakimi


PERSEMBAHAN KITA: KUALITAS ATAU KUANTITAS ?
 2 Korintus 9:6-11
Entah berapa banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa soal harta benda, uang atau pun materi lainnya adalah hanya soal duniawi, bukan soal rohani. Tidak bersangkut-paut dengan perkara rohani. Karena hal itu dianggap tidak pantas untuk dipersoalkan dalam persekutuan Kristen, apalagi jikalau sampai dikhotbahkan di mimbar-mimbar gereja! Itu dianggap tidak etis. Tidak pantas, "pamali" atau tabu! Jika hal tadi sampai dilakukan, bisa jadi kritik datang berhamburan. Argumentasi dengan alasan ini dan itu pasti juga datang bak panah mencari sasaran! Ironisnya, untuk membenarkan alasan tidak jarang kutipan ayat-ayat Alkitab juga tak ketinggalan diikutsertakan!
Tapi saudara, alangkah terkejutnya kita bila mau jujur, justru Alkitab sendiri banyak sekali mempersoalkan masalah uang dan harta benda! Dan sikap kita dalam memperlakukannya juga turut menentukan benar tidaknya hubungan kita dengan Tuhan. Benar tidaknya penghayatan iman nyata kita dalam kehidupan. Bila kita membuka Alkitab, dari kitab pertama dalam Alkitab (misalnya Kejadian 4:1-14), sudah secara jelas memperlihatkan bahwa sikap Kain den Habel dalam pelaksanaan persembahan menunjukkan benar tidaknya hubungan mereka dengan Tuhan.Dalam kitab Maleakhi (misalnya Maleakhi 6-14; 3:6-12), menyatakan betapa murkanya Allah terhadap umat Israel atas ketidakbenaran mereka dalam soal persembahan!
Pada bagian lain (misalnya Lukas 19:16-26), Yesus sendiri mengkaitkan bahwa soal memberi juga merupakan syarat panting untuk masuk sorga. Disamping mengikuti dan percaya kepada-Nya! Alkitab juga mencatat bahwa Zakheus si pendosa itu mengungkapkan pertobatannya dinyatakan dengan cara memberi. Hal itu jelas dari apa yang diungkapkannya: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Lukas 19:8).
Jangan kira bahwa soal memberi hanya berlaku bagi orang-orang berpunya. Sebab apabila kita meneliti lebih jauh dalam Alkitab, orang miskin juga mengungkapkan imannya dengan cara memberi. Seorang janda miskin misalnya. Melalui sikap dan ketulusan si janda miskin ini ia mendapat pembenaran dari Yesus (Lukas 21:1-4). Dari beberapa catatan Alkitab di atas mem perlihatkan kepada kita bahwa kehidupan Kristen itu tidak lepas dari soal memberi dan terkait dengan soal uang dan harta benda! Dengan kata lain, bahwa memberi, entah memberi dalam anti secara umum (pemurah) atau pun juga memberi berupa sikap dalam arti secara khusus (persembahan), adalah ciri kehidupan Kristen yang benar. Rasul Paulus sendiri menganggap bahwa soal memberi dalam kehidupan persekutuan adalah bukti ketaatan iman, suatu pelayanan kasih nyata yang dapat membawa hasil dua berganda, yaitu mencukupkan keperluan orang kudus dan melipatgandakan ucapan syukur kepada Allah (ayat 12).
Lalu bagaimanakah cara memberi secara Kristen yang benar itu? Hampir setiap orang Kristen pasti sudah mengetahui bahwa memberi secara Kristen yang benar itu adalah dengan kerelaan hati, bukan dengah sedih hati atau terpaksa! Dan memang itulah cara memberi secara Kristen. Karena itu tidak heran apabila nas ini juga sering dikutip menjadi dasar dan pengantar persembahan di kebaktian-kebaktian gereja kita.
Lalu bagaimana prakteknya memberi (persembahan) dengan kerelaan hati, bukan dengan sedih hati atau terpaksa? Nah, coba saudara simak cerita menarik berikut ini! Pernah dua orang Kristen berdiskusi tentang memberi persembahan secara Kristen selepas ibadah di gereja. Kebetulan ke duanya anggota majelis dan bertugas menghitung uang persembahan jemaat setelah ibadah. Sementara menghitung persembahan yang seorang rupanya agak kerepotan. Pasalnya banyak uang recehan. Disamping itu terdapat juga beberapa uang yang sudah agak lusuh, kumal, tak jelas bentuknya. Sambil merapikan uang tersebut ia berkomentar: "dibawa ke pasar sayur saja mungkin tak laku!" Lalu ia menambahkan: "padahal banyak juga warga jemaat kita yang berpenghasilan lumayan". Mendengar ungkapan tadi rupanya yang seorang menanggapi. Menurutnya bahwa memberi persembahan itu tidak perlu banyak. Yang penting harus dengan rela, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sambil ia mengutip nas Alkitab (2 Korintus 9:6-7). Ditambahkannya, bahwa Allah sebenarnya tidak melihat jumlah pemberian kita tetapi melihat ketulusan hati kita. Benarkah begitu? Sebab, bukankah setiap pemberian yang bersumber dari kerelaan hati pasti bermuara dalam bukti yang terbaik dan terbanyak?
Alkitab sendiri membentangkan justru karena kerelaan hatilah Habel dapat memberikan persembahan¬nya yang berkualitas kepada A11ah. Justru karena kerelaan hati pulalah Zakheus dapat mengungkapkan pertobatannya dengan memberikan separoh dari miliknya. Dan tentu karena kerelaan dan ketulusan jugalah seorang janda miskin dapat memberikan persembahan terbaiknya, bahkan seluruh nafkahnya. Pemberian(persembahan) Habel, Zakheus dan si janda miskin berkenan kepada Allahh justru karena nyata-nyata mereka memberikan yang terbaik dan terbanyak.
Dalam nas ini, Rasul Paulus pun tidak mengatakan bahwa yang menabur sedikit akan menuai banyak, tetapi orang akan menuai banyak justru apabila ia menabur banyak. Memberi dengan terbaik dan terbanyak tentulah dari apa yang kita peroleh, bukan dari apa yang orang lain miliki. Hal itu hanya mungkin terjadi bila orang memiliki kerelaan hati dalam arti yang sesungguhnya. Sebab hanya dengan sikap yang demikianlah orang dapat berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35)
Memberi yang terbaik dan terbanyak memang tidaklah mudah. Dan itu menyangkut persoalan hati kita. Dapat dimaklumi bila ada orang menganggap bahwa memberi itu rugi. Apalagi jika dilepaskan dengan percumal. Sebab, bukankah pada umumnya yang dilakukan orang adalah mencari untuk mendapatkan dan bukan untuk melepaskan dengan percuma? Di sinilah titik persoalannya. Makanya tidak heran apabila sering terjadi, orang hanya memberi dari sisa-sisa yang ia miliki, bukan yang terbaik dan terbanyak di kantong-kantong persembahan ibadahnya.
Bagi orang-orang yang tidak memiliki ketulusan hati, istilah memberi apalagi dengan istilah terba-ik dan terbanyak memang tidak terlalu disukai. Bagi mereka, sekecil apa pun yang namanya “memberi” pastilah dianggap terlalu berat dan sangat merugikan. Itulah yang terjadi bila keserakahan bertahta di hati. Hal semacam itu memang telah diisyaratkan oleh Yesus sendiri: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Lukas l2:24).
Saudara, bagaimana cara dan sikap kita dalam hal memberi atau pun persembahan selama ini? Hanya orang-orang Kristen yang memiliki ketulusan hati dapat memberi dan menyampaikan persembahannya dengan baik dan benar. Sikap kita dalam soal memberi atau pun kerelaan kita dalam hal persembahan adalah cermin diri dan hati kita, cerminan benar tidaknya ketulusan, ketaatan, penghayatan iman dan kasih, AMIN.

TUHAN YESUS Mengasihi, Memberkati & Menyertai PELAKU FIRMANSemua...
Lukas 21 : 1 – 4
Yesus mengetahui jumlah persembahan yang kita berikan, bahkan Ia tahu maksud dan cara kita memberi.
Dalam contoh ini orang-orang kaya memberi dari kelimpahannya (kuantitas); tetapi si janda miskin memberi dari kekurangannya bahkan seluruh nafkahnya yaitu dua peser (kualitas).
Peser adalah mata uang Yunani (lepton) yang nilainya paling rendah. Menurut kamus Yunani-Indonesia nilainya 1/128 dinar. Dinar adalah upah satu hari untuk pekerja harian.
Yesus tidak mengatakan bahwa pemberian orang2 kaya tidaklah berkenan. Tetapi Yesus sedang mengajar bagaimana cara memberi yang terbaik seperti yang dilakukan si janda miskin.
Banyak orang, mungkin juga kita beranggapan bahwa pada situasi tertentu kuantitas lebih diperlukan daripada kualitas? Dalam Lukas 19:1-10 Zakheus pemungut cukai bersukacita dan berkata kepada Yesus bahwa separuh hartanya akan diberikan kepada orang miskin dan akan mengembalikan empat kali lipat kepada orang yang pernah diperasnya.
Komentar Yesus akan janji Zakheus tidak dianggap sebagai ‘memberi dari kelebihannya’ (kuantitas) tetapi sebagai tanda pertobatannya (kualitas). Menurut ukuran manusia, agaknya pemberian Zakheus identik dengan pemberian orang-orang kaya dalam Lukas 21:1-4.
Tetapi Yesus melihat maksud pemberian Zakheus yang didasarkan karena hatinya yang telah diperbaharui.
Pemberian bukan dimulai dari keinginan tetapi dari hati yang diperbaharui. Hasilnya bisa seperti janda miskin atau Zakheus. Pemberian bisa dalam bentuk yang lain: waktu, tenaga, doa, kepedulian, keterlibatan dalam pelayanan.
Tuhan memberkati kita sekalian.

PERSEMBAHAN: BELAJAR MEMBERI DARI KEKURANGAN
Markus 12:41-44
Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Dan memang, di setiap ibadah-ibadah yang kita ikuti, “persembahan” merupakan salah satu bagian dari unsur tata ibadah yang ada. Bila kita mempelajari dari Alkitab sendiri, rupanya persembahan juga memang telah dilakukan sejak manusia pertama ada. Seperti yang dilakukan Kain dan Habil yang tercatat dalam kitab Kejadian 4:3-5. Dalam kehidupan bangsa Israel sendiri , persembahan merupakan sesuatu yang tidak asing. Karenanya tidak heran bila di rumah-rumah ibadah Israel disiapkanlah peti persembahan.
Berbicara lebih jauh tentang persembahan saudara, tentu ada banyak versi pemikiran. Juga dalam praktek-praktek nyata yang diperlihatkan. Ada yang mengatakan bahwa persembahan itu, yang penting ketulusan hatinya, jumlahnya tidaklah yang menentukan. Karenanya tidak heran, bila sejak Sekolah Hari Minggu, ketika kantong persembahan diedarkan, diiringi dengan nyanyian: “Persembahan kami sedikit sekali... Kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati......”
Tidak kurang, bagaimana praktek ketika uang persembahan dipersiapkan sebelum disampaikan ke kantong-kantong persembahan? Oh, dari rumah sudah dicari mana uang recehan. Atau bila dianggap nilai nominalnya agak besar maka ditukar terlebih dahulu di kios-kios terdekat. Beli korek api atau rokok terlebih dahulu umpama, sehingga tukaran uang recehan itu dapat dibagi-bagi nantinya sesuai dengan jumlah kantong yang disediakan.
Lalu ketika persembahan dimasukan ke kantong-kantong persembahan? Ada yang beranggapan, bahwa ketika menyampaikan persembahan, bila tangan kananmu memberi maka jangan sampai diketahui tangan yang kiri. Ada ayatnya kata mereka untuk membenarkan diri, dengan penafsiran yang dibuat sendiri. Makanya ketika menyampaikan persembahan tidak jarang disampaikan secara “karupet” (istilah bahasa Ngaju: uang yang digenggam erat hingga sampai kumal), ketika dimasukan ke kantong persembahan. Tidak kurang, untuk memberikan motivasi kepada umat dalam soal memberi, diberikan semacam iming-iming, “siapa banyak memberi, maka Allah akan melipatgandakannya, ada yang lima kali ganda, sepuluh kali ganda, bahkan seratus kali ganda”. Bahkan juga hingga dibuat lagunya.
Lalu ketika seolah-olah Allah belum melipatgandakannya? Nah...nah...nah... Maka terjadilah kecewa. Pada kali persembahan berikutnya, nilai nominalnya dikurangi juga. Bila hati sedang tulus, berkatnya melimpah persembahan tulus dan mulus! Bila sedang berat hati atau kecewa, oh.... persembahan kami sedikit sekali, kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati.....” Kan sukarela katanya, tak ada yang memaksa ?! karenanya tidak heran, orang rela kehilangan ratusan ribu rupiah untuk bersenang-senang, ada yang mabuk-mabukan segala macam, atau rela keluarkan jutaan rupiah untuk urusan dunia di meja judi umpama, karena rasa-rasanya hasilnya bisa terasa segera. Kalau persembahan? Oh, entah kapan Tuhan mengembalikannya. Apalagi yang berlipat-lipat ganda katanya!?
Pada suatu kali, seorang bapak seusai ibadah minggu di gereja merasa kecewa. Karena itu ia mengusulkan supaya nas pengantar persembahan yang ada itu dirobah. Karena setiap kali mengikuti kebaktian, begitu katanya, hatinya selalu gundah gulana, ketika nas persembahan dibaca, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (II Kor. 9:6). Kan katanya, bagaimana saya bisa mendapat berkat yang banyak dari Allah, sementara persembahan saya sedikit ketimbang orang lain, soalnya saya memang miskin, tak sengaja memberi yang sedikit. Wah...wah..wah... berani-beraninya bapak ini mau merobah isi ayat Alkitab, karena motivasi yang keliru soal persembahan. Sangkanya dengan memberi banyak otomatis Alla memberinya lebih banyak lagi, segala penyakit akan sembuh, bebas dari segala masalah. Ya, seperti uang sogokan kepada Allah kurang lebihnya. Itu yang dimengertinya.
“Persembahan” .....! Karena sudah terlalu biasa, maka maknanya pun semakin tidak jelas. Jadilah salah kaprah sesuai dengan pemahaman masing-masing, selera masing-masing. Dan dalam rapat-rapat Majelis kekerejaan kita, yang dibicarakan tidak lebih sekedar masalah teknis, berapa jumlah kantong persembahan yang akan diedarkan. Pada suatu kali, seorang Hamba Tuhan yang telah purna bhakti alias pensiun pernah bersaksi, bahwa ia merasa bangga karena selama melaksanakan tugas tidak pernah menyinggung-nyinggung jemaat masalah persembahan. Makanya disenangi oleh umat.
Hamba Tuhan yang satu ini memang bukan seorang hamba uang, dan memang perlu menjadi teladan bagi para hamba-hamba Tuhan jonior. Ia memang disukai oleh umat, karena memang tidak pernah menyinggung soal tanggungjawab, beban berat, soal persembahan yang benar, selaku pengikut Kristus. Hanya sayang, karena bisa jadi dalam penilaian Tuhan justru berbeda, menjadi hamba yang tidak setia karena membiarkan umat mempraktekkan cara persembahan yang tidak berkenan kepada Tuhan (bdk. Maleakhi pasal 2 dan 3).
Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Bila kita membuka Alkitab, dari kitab pertama dalam Alkitab (misalnya Kej.4:1-14), sudah secara jelas memperlihatkan bahwa sikap Kain den Habel dalam pelaksanaan persembahan menunjukkan benar tidaknya hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam kitab Maleakhi (misalnya Mal.6-14; 3:6-12), menyatakan betapa murkanya Allah terhadap umat Israel atas ketidakbenaran mereka dalam soal persembahan! Pada bagian lain (misalnya Luk.19:16-26), Yesus sendiri mengkaitkan bahwa soal persembahan juga merupakan syarat panting untuk masuk sorga. Disamping mengikuti dan percaya kepada-Nya! Alkitab juga mencatat bahwa Zakheus si pendosa itu mengungkapkan pertobatannya dinyatakan dengan cara memberi. Hal itu jelas dari apa yang diungkapkannya: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Luk.19:8).
Entah berapa banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa soal harta benda, uang atau pun materi lainnya adalah hanya soal duniawi, bukan soal rohani. Tidak bersangkut-paut dengan perkara rohani. Karena hal itu dianggap tidak pantas untuk dipersoalkan dalam persekutuan Kristen, apalagi jikalau sampai dikhotbahkan di mimbar-mimbar gereja! Itu dianggap tidak etis. Tidak pantas, "pamali" atau tabu! Jika hal tadi sampai dilakukan, bisa jadi kritik datang berhamburan. Argumentasi dengan alasan ini dan itu pasti juga datang bak panah mencari sasaran! Ironisnya, untuk membenarkan alasan tidak jarang kutipan ayat-ayat Alkitab juga tak ketinggalan diikutsertakan!
Tapi saudara, alangkah terkejutnya kita bila mau jujur, justru Alkitab sendiri banyak sekali mempersoalkan masalah persembahan! Dan sikap kita dalam memperlakukannya juga turut menentukan benar tidaknya hubungan kita dengan Tuhan. Benar tidaknya penghayatan iman nyata kita dalam kehidupan. Jangan kira bahwa soal memberi hanya berlaku bagi orang-orang berpunya. Apabila kita meneliti lebih jauh dalam Alkitab, orang miskin juga mengungkapkan imannya dengan cara memberi. Demikian pun seperti yang dilakukan oleh seorang janda miskin seperti dalam nas ini. Melalui sikap dan ketulusan si janda miskin ini ia mendapat pembenaran dari Yesus (Bdk. juga Luk. 21:1-4).
Lalu bagaimanakah cara memberi secara Kristen yang benar itu? Hampir setiap orang Kristen pasti sudah mengetahui bahwa memberi secara Kristen yang benar itu adalah dengan kerelaan hati, bukan dengah sedih hati atau terpaksa! Dan memang itulah cara memberi secara Kristen. Lalu bagaimana prakteknya memberi (persembahan) dengan kerelaan hati, bukan dengan sedih hati atau terpaksa? Nah, coba saudara simak cerita menarik berikut ini! Pernah dua orang Kristen berdiskusi tentang memberi persembahan secara Kristen selepas ibadah di gereja. Kebetulan ke duanya anggota majelis dan bertugas menghitung uang persembahan jemaat setelah ibadah.
Sementara menghitung persembahan yang seorang rupanya agak kerepotan. Pasalnya banyak uang recehan. Disamping itu terdapat juga beberapa uang yang sudah agak lusuh, kumal, tak jelas bentuknya. Sambil merapikan uang tersebut ia berkomentar: "dibawa ke pasar sayur saja mungkin tak laku!" Lalu ia menambahkan: "padahal banyak juga warga jemaat kita yang berpenghasilan lumayan". Mendengar ungkapan tadi rupanya yang seorang menanggapi. Menurutnya bahwa memberi persembahan itu tidak perlu banyak. Yang penting harus dengan rela, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sambil ia mengutip nas Alkitab (II Korintus 9:6-7). Ditambahkannya, bahwa Allah sebenarnya tidak melihat jumlah pemberian kita tetapi melihat ketulusan hati kita. Benarkah begitu? Sebab, bukankah setiap pemberian yang bersumber dari kerelaan hati pasti bermuara dalam bukti yang terbaik dan terbanyak?
Tapi dalam nas ini, nyata-nyata Yesus juga memperhatikan jumlah pemberian dalam persembahan, baik para orang kaya, juga seorang janda miskin. Demikian juga, Rasul Paulus pun tidak mengatakan bahwa yang menabur sedikit akan menuai banyak, tetapi orang akan menuai banyak justru apabila ia menabur banyak. Memberi dengan terbaik dan terbanyak tentulah dari apa yang kita peroleh, bukan dari apa yang orang lain miliki. Hal itu hanya mungkin terjadi bila orang memiliki kerelaan hati dalam arti yang sesungguhnya. Sebab hanya dengan sikap yang demikianlah orang dapat berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis.20:35).
Alkitab sendiri membentangkan justru karena kerelaan hatilah Habel dapat memberikan persembahannya yang berkualitas kepada Allah. Justru karena kerelaan hati pulalah Zakheus dapat mengungkapkan pertobatannya dengan memberikan separoh dari miliknya. Dan tentu karena kerelaan dan ketulusan jugalah seorang janda miskin dapat memberikan persembahan terbaiknya, bahkan seluruh nafkahnya. Pemberian(persembahan) Habel, Zakheus dan si janda miskin berkenan kepada Allahh justru karena nyata-nyata mereka memberikan yang terbaik dan terbanyak.
Memberi yang terbaik dan terbanyak memang tidaklah mudah. Dan itu menyangkut persoalan hati kita. Dapat dimaklumi bila ada orang menganggap bahwa memberi itu rugi. Apalagi jika dilepaskan dengan percumal. Sebab, bukankah pada umumnya yang dilakukan orang adalah mencari untuk mendapatkan dan bukan untuk melepaskan dengan percuma? Di sinilah titik persoalannya. Makanya tidak heran apabila sering terjadi, orang hanya memberi dari sisa-sisa yang ia miliki, bukan yang terbaik dan terbanyak di kantong-kantong persembahan ibadahnya.
Bagi orang-orang yang tidak memiliki ketulusan hati, istilah memberi apalagi dengan istilah terbaik dan terbanyak memang tidak terlalu disukai. Bagi mereka, sekecil apa pun yang namanya “memberi” pastilah dianggap terlalu berat dan sangat merugikan. Itulah yang terjadi bila keserakahan bertahta di hati. Hal semacam itu memang telah diisyaratkan oleh Yesus sendiri: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Luk.l2:24).
Saudara, bagaimana cara dan sikap kita dalam hal memberi atau pun persembahan selama ini? Hanya orang-orang Kristen yang memiliki rasa kesungguhan hormat kepada Allah, dan memiliki ketulusan hati yang sungguh-sungguh saja yang dapat memberi dan menyampaikan persembahannya dengan baik dan benar. Sikap kita dalam soal memberi atau pun kerelaan kita dalam hal persembahan adalah cermin diri dan hati kita, cerminan benar tidaknya ketulusan, ketaatan, penghayatan iman dan kasih kita kepada Tuhan. AMIN. *



Persembahan Perpuluhan













Beberapa waktu yang lalu saya telah menulis secara ringkas tentang persembahan. Dengan tulisan itu diharapkan setidaknya kita memiliki dasar untuk menjawab pergumulan tentang persembahan. Namun agaknya tulisan itu belum cukup, sehingga ada beberapa saudara yang mendesak saya untuk menulis secara khusus tentang persembahan persepuluhan. Untuk menghormati dan menghargai permintaan itu, maka saya berusaha menyampaikan pemahaman saya tentang persembahan persepuluhan dibawah ini.
Saya akan mengawali tulisan ini dengan menyampaikan pemahaman tentang persembahan persepuluhan yang saya ambil dari beberapa buku dan beberapa situs di internet. Dari situ diharapkan kita memiliki pengetahuan bahwa pemahaman tentang persembahan persepuluhan ternyata amat beragam.
1. J. Karuniadi dalam bukunya yang berjudul “Persembahan Persepuluhan” menyampaikan pemahamannya tentang persembahan persepuluhan antara lain sebagai berikut:
· Gereja yang tidak mengajarkan jemaatnya memberikan persembahan persepuluhan sama saja dengan menutup telinga, mata, dan mulut terhadap firman Tuhan yang mengajarkan dasar-dasar hidup beriman, dan gereja ini dengan demikian tidak membukakan pintu iman bagi anggotanya untuk masuk ke dalam pertumbuhan rohani dan pengenalan akan Allah dengan benar… Pendeta yang tidak mengajarkan jemaatnya mengenal Allahnya melalui memberikan persembahan persepuluhan, akibatnya dia sendiri pun ditolak menjadi imam-Nya oleh Tuhan.
· Jika berkat-berkat kita tersendat-sendat datangnya, dan hidup kita terasa gersang, cobalah kita mawas diri. Mungkin hidup kita masih seperti orang fasik yang menghina Allah. Salah satu indikasinya adalah mungkin kita belum memberikan persembahan persepuluhan kepada Tuhan dengan setia. Jika kita telah memberikan persembahan persepuluhan, tetapi hidup kerohanian kita masih gersang juga, hendaklah kita bertanya apakah kita telah memberikan persembahan persepuluhan itu dengan benar dan dengan hati tulus.
· Allah tidak miskin. Langit adalah tahta-Nya dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya (Yesaya 66 : 1). Dia sanggup membiayai pekerjaan-Nya di bumi tanpa memungut 10 % dari penghasilan kita. Akan tetapi, Allah ingin sekali memberkati kita. Dia ingin melihat anak-anak-Nya hidup berkecukupan, sedangkan PERMULAAN DARI SEGALA BERKAT-NYA DATANG MELALUI PEMBERIAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN. TIDAK MUNGKIN KITA MENGALAMI BERKAT-NYA DALAM BENTUK APA PUN, JIKA KITA TIDAK MEMBERIKAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN. ………… jika perintah Tuhan tentang persembahan persepuluhan ini tidak kita patuhi, kita pun tidak akan pernah dapat menaati perintah-perintah-Nya.
2. Pdt. Yacobus Handjojo Wijaya dalam bukunya “Perpuluhan” menyampaikan hal-hal berikut:
· Saya pernah menemui seorang ibu yang mengalami sakit selama beberapa hari dan sempat di opname di rumah sakit. Tapi anehnya dokter yang menanganinya tidak dapat mengatakan penyakitnya. Teman saya yang seorang hamba Tuhan mulai berbicara pada ibu ini tentang persembahan perpuluhan dan ternyata ibu ini tak pernah sekalipun membayar persepuluhan, apa jadinya? Setelah tahu persoalan yang dialaminya, maka ibu ini ke gereja dan mulai membayar perpuluhan. Dan ajaib sekali, Tuhan menyembuhkan penyakitnya, Amin.
· Ada juga seorang pengusaha muda yang baru belajar usahanya sendiri karena selama ini bekerja pada orang tuanya. Ada rasa takut dan khawatir kalau usahanya tidak akan berhasil, ya maklum ini pengalaman pertama baginya. Saya sebagai hamba Tuhan membimbingnya untuk mengerti kebenaran firman Tuhan. Saya sampaikan juga kebenaran firman Tuhan tentang persepuluhan, dan pengalamannya sungguh lucu, tiap kali ia membayar persepuluhan maka usahanya lancar-lancar saja. Tetapi kadangkala ia merasa sayang dengan uangnya sehingga tak membayar persepuluhan dan usahanya mengalami kemacetan.
· Ada juga yang terlibat dengan bermacam-macam masalah tak kunjung habisnya, seperti benang kusut/basah tak bisa diuraikan, tetapi ajaibnya setelah orang itu rajin membayar persepuluhan, semua dapat diatasi satu-persatu.
3. Larry Burkett dalam bukunya “Persembahan dan Persepuluhan” menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
· Walaupuh persepuluhan disebutkan di dalam Taurat, tidak ada indikasi adanya hukuman akibat tidak memberi persepuluhan. Memang ada konsekuensinya (kehilangan berkat-berkat). Tetapi tidak ada penghukuman dari Allah karena tidak memberi persembahan persepuluhan. Upah dari memberi persepuluhan dijelaskan di dalam Maleakhi 3 : 10-11, di mana Allah berjanji untuk mencurahkan berkat dan menghalau belalang pelahap. Memberi persepuluhan seharusnya selalu memberi suatu memberi tindakan sukarela yang dilakukan oleh umat Allah.
· Persepuluhan ditetapkan sebagi suatu demonstrasi fisik dan duniawi mengenai komitmen manusia pada Allah. Allah mengerti keserakahan kita, sifat dasar kita yang mementingkan diri sendiri, dan menyediakan sebuah tanda yang dapat mengidentifikasi mengenai kesungguhan kita. Dengan menyerahkan sebagian sumber-sumber fisik yang kita miliki, kita bersaksi kepada pencipta kita, sama seperti yang dilakukan oleh seorang petani ketika menyerahkan sebagian hasil panennya kembali ke bumi darimana panen itu diperoleh.
· Mereka yang memberi kurang dari sepersepuluh dari pendapatan mereka membatasi apa yang dapat Allah lakukan bagi mereka menurut firman-Nya “Bolehkah manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata ‘Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau? Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus!” (Maleakhi 3). Walaupun sebagian kita percaya bahwa prinsip-prinsip itu hanya berlaku pada Perjanjian Lama, Paulus menegaskan bagi kita: “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (II Korintus 9:6). Kurang memberi merupakan indikator materi secara eksternal bahwa perlu diadakan perubahan dalam hal rohani.
4. Berikut ini disampaikan pemahaman tentang persembahan persepuluhan yang saya ambilkan dari internet (Catatan : di internet banyak sekali karangan tentang persembahan persepuluhan, tidak hanya puluhan tetapi ratusan karangan). Saya tidak sanggup membaca semua karangan, saya hanya menyampaikan beberapa saja. Saya mulai dari karangan dr. Charles Stanley (www.maleakhi.com) “Mengapa Persepuluhan itu penting?” yang menyampaikan a.l. sebagai berikut:
· Prinsip perpuluhan sangat relevan dengan kehidupan sekarang. Namun banyak yang membuat berbagai macam alasan untuk tidak mengembalikan bagian 10% tersebut kepada Tuhan. Mereka mengeluhkan tentang krisis ekonomi dan PHK, beban pajak, pokoknya segala kemungkinan terburuk yang bisa mereka pikirkan. Mereka membiarkan keadaan menghalangi mereka memeberi, dan kemudian bertanya-tanya mengapa kehidupan mereka tidak bertambah baik? Bukankah keadaan sekarang sama saja dengan keadaan orang-orang yang tidak setia yang yang hidup di jaman Maleakhi? “Sejak zman nenek moyangmu, kamu telah menyimpang dari ketetapan-Ku dan tidka memeliharanya. Kembalilah kepada-Ku, maka Aku akan kembali kepadamu, firman Tuhan semesta alam. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?’ Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus!” (Maleakhi 3 :7-9)
· Ketika kita memberikan persepuluhan kepada Tuhan, kita tidak hanya memberkati pekerjaan rumah Tuhan namun juga membuktikan kesetiaan-Nya dan menunjukkan penghormatan kita kepada Tuhan sebagai Sumber dari segala yang kita miliki dan satu-satunya Tuhan yang layak kita sembah. Kita membawa ke hadapan-Nya korban persembhan dan harta benda kita. Persepuluhan adalah sebuah contoh lain dari keadilan Tuhan kepada semua orang percaya; Tuhan menganggap semua orang percaya sejajar. Ia meminta jumlah yang sama (10%) dan bagian yang sama (bagian sulung, Amsal 3 : 9 – 10) dari semua orang percaya.
5. Herlianto dalam tulisannya (di www.yabina.org) “Persepuluhan” menyampaikan pendapat sebagai berikut:
· Ritus kurban & persembahan telah dihapuskan oleh Yesus yang menjadi pengantara Perjanjian Baru, namun kurban dan persembahan yang bersifat batin dalam bentuk keadilan, kesetiaan dan belas kasihan, Kita tidak lagi bermegah akan hal-hal yang bersifat lahiriah (I Korintus 5 : 11 – 21), persembahan Perjanjian Baru bukan lagi persembahan secara Torat dan kewajiban persepuluhan, tetapi buah-buah kasih yang keluar dari hati yang telah menerima kasih karunia Allah (Matius 13:23; Efesus 2:8-10).
· Persembahan umat Kristen bukan lagi dalam bentuk persepuluhan tetapi merupakan buah-buah kasih yang keluar dari hati yang dibenarkan Allah. Mereka yang telah beriman dan bertobat akan hidup dalam mengasihi sesamanya dengan harta mereka (Kis. 2:44-45;34-35; Mat. 35:31-46; Luk. 18:22) dan menyisihkan dengan teratur persembahan sesuai dengan yang diperoleh (I Kor. 16:1-2; Gal. 6:6).
· Ada yang mengemukakan ayat ‘Berilah maka kamu akan diberi’ (Luk 6:38) dengan motivasi persepuluhan PL (Mal. 3:10), tetapi penafsiran demikian jelas keliru, sebab sekalipun memang Tuhan akan memberi, itu sudah tidak lagi menjadi motivasi untuk memberi (seperti PL) melainkan sebagai karunia Allah dan itu tidak harus merupakan berkat jasmani karena penderitaan juga dapat menjadi karunia Allah (I Petrus 2:19). Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa : “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.” (Luk. 6:30). Persembahan Perjanjian Baru bukan agar mendapat (seperti PL) tetapi buah-buah yang keluar dari hati yang telah diperbaharui dan diberikan bukan dengan paksaan atau kewajiban tetapi dengan kerelaan dan sukacita (II Kor. 9:7) dengan tujuan untuk menghindarkan kesenjangan dalam bentuk pelayanan kasih (Kis. 4:34-35; II Kor. 8 : 1-15). Pemberian Kristen adalah perwujudan kasih Alah dalam diri kita (Mat. 22:37-40; I Yoh. 3:17).
· Lalu berapa persembahan Kristen yang tepat? Perjanjian Baru tidak menentukan hal ini, bisa setengah dari harta yang dimiliki (Zakheus, Luk.9:8) bahkan ada yang memberikan seluruh nafkahnya (Mar. 12:41-44). Yang jelas buah-buah kasih tidak menentukan persentasi tertentu (Kis. 2:45;4:36-37), bahkan berbeda dengan sistem PL dimana persepuluhan itu lebih banyak dimanfaatkan oleh para imam tetapi mengabaikan para janda, yatim piatu, orang upahan, dan orang asing seperti yang diceritakan dalam kitab Maleakhi, PB banyak bercerita mengenai pemberian yang sifatnya untuk orang miskin (Luk. 18:18-27).
· Berbeda dengan ibadat PL yang bersifat lahir yang berpusat di Bait Allah dan dilaksanakan oleh perantara para Imam, jadi sifatnya sentripetal (memusat), ibadat PB sifatnya sentrifugal (menjauhi pusat), artinya sebagai buah-buah kasih yang dibagikan kepada sesama manusia. Ini dengan jelas digambarkan oleh rasul Yohanes dalam suratnya, yaitu didasarkan: (1) kesediaan berkorban seperti Kristus yang telah berkorban untuk kita; (2) kepekaan lingkungan, yaitu peka terhadap kebutuhan rohani dan jasmani sesamanya; dan (3) kepedulian sosial dengan membagikan harta kita kepada sesama kita (I Yohanes 3 : 16 – 18).
· Akhirnya, kalau begitu apakah umat Kristen boleh memberikan persembahan persepuluhan? Tentu tidak ada larangan bagi mereka yang ingin mendisiplinkan diri untuk menyisihkan suatu bagian secara teratur, tetapi kalau bisa memberi lebih dari itu mengapa harus dibatasi 10%? Dan kalau tidak bisa sebesar itu mengapa dipaksakan harus 10%? Namun, bila umat Kristen yang hidup dalam iman dan anugerah Allah masih melakukan persembahan persepuluhan menurut tatacara Yahudi PL, jelas dengan demikian ia melecehkan arti penebusan darah Yesus di kayu salib, seakan-akan penebusan Yesus belum tuntas melainkan harus ditambahi dengan usaha baik manusia.
Baca Juga:  Ekospiritualitas

6. Karangan berjudul “Sepuluh Persen Saja?” menyampaikan pemahamannya sbb.:
· Melalui praktek-praktek sebagian gereja di masa kini, yang begitu giatnya merangsang, mendorong dan mengumpulkan persembahan persepuluhan, lalu digunakan untuk membangun gedung-gedung megah, maka tanpa sadar, banyak Gembala Sidang telah melantik dirinya menjadi Pemungut-cukai Gerejawi! Dan siapa saja yang berperilaku demikian, sesungguhnya sedang menghadang laknat yang TUHAN firmankan melalui Nabi Yehezkiel (perhatikan Ye. 34:24-4, 8-10). Intinya: bertobatlah, hai Pemungut-cukai Gerejawi, kembalikan persembahan milik TUHAN itu menjadi kemuliaan Tuhan Yesus!
· Saudara yang terkasih, anda akan lebih menyadari betapa Yesus merindukan belas kasihan, bukan persembahan, jika anda menyadari kuasa di dalam belas-kasihan. Dan kuasa belas-kasihan jelas jauh lebih dahsyat dari pada kuasa yang timbul dari persembahan, maupun penyembahan!
· Pasti anda tidak terpaku pada 10%. Persembahan sepuluh persen (saja) melecehkan TUHAN. Kepada Negara sajapun anda menyerahkan 15%. Pajak Pendapatan! Adalah indah jika anda berani menghabiskan lebih dari 15% pendapatan untuk pelayanan belas kasihan. Dalam situasi tertentu, mungkin anda berani habiskan 50% untuk berbelas kasihan. Toh semua itu tidak hilang, melainkan menjadi simpanan anda di Sorga. Selaras dengan perintah Yesus: Simpanlah hartamu di Sorga (Mat. 6:19-21)?
Dari beberapa cuplikan dari berbagai karangan di atas, setidaknya kita menemukan 3 pemahaman tentang persembahan persepuluhan, yakni:
00001. Persembahan persepuluhan harus, mutlak, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, dan wajib hukumnya. Melanggar ketentuan ini akan mengakibatkan hidup tidak terberkati. Biasanya landasan Alkitab yang dipakai adalah Maleakhi 3.
00002. Persembahan persepuluhan itu patokan minimal. Bila bisa mempersembahkan lebih dari sepersepuluh, mengapa tidak! Misalnya 15% dari penghasilan. Itupun belum termasuk persembahan lainnya, misalnya: ibadat Minggu, ucapan syukur, dll.
00003. Persembahan persepuluhan tidak mengikat kita lagi karena Yesus Kristus telah menebus dosa-dosa kita. Bahkan kalau kita masih memiliki pemahaman bahwa dengan memberikan persembahan persepuluhan maka hidup kiita akan terberkati, maka sebenarnya kita telah meremehkan karya penebusan oleh Yesus Kristus.
Masing – masing pendapat biasanya menyatakan diri sebagai yang paling benar, karena masing-masing memiliki dasar Alkitabnya. Menghadapi kenyataan ini, kita harus bagaimana?
Saya secara pribadi tidak memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa dari antara tiga pendapat di atas salah satunya adalah yang paling benar, walaupun masing-masing berpedoman pada Alkitab. Mengapa? Karena persembahan itu ditujukan untuk Tuhan. Hanya Tuhan yang berhak menilai atau menghakimi. Oleh karena itu saya tidak bisa -tidak mungkin- mewakili Tuhan untuk mengatakan bahwa pendapat nomor satu benar dan yang kedua dan ketiga salah, atau sebaliknya! Bandingkan dengan Kitab Kejadian 4 yang berisi cerita tentang persembahan oleh Kain dan Habil. Di pasal itu tidak ada penjelasan tentang mengapa persembahan Kain ditolak, sedangkan persembahan Habil diterima. Kalau demikian halnya, apakah itu berarti tidak ada pedoman untuk mengetahui apakah persembahan kita diterima atau ditolak oleh Tuhan?
Sebelum saya menanggapi pertanyaan di atas dan menjawab bagaimana sikap kita terhadap persembahan persepuluhan, kita perlu memperhatikan bagaimana Alkitab sendiri bersaksi tentang persembahan persepuluhan. Di bawah ini akan disampaikan beberapa kesaksian Perjanjian Lama tentang persembahan persepuluhan.
00001. Imamat 27:32, mengenai segala persembahan persepuluhan dari lembu sapi atau kambing domba, maka dari segala yang lewat dari bawah tongkat gembala waktu dihitung, setiap yang kesepuluh harus menjadi persembahan kudus bagi Tuhan.
00002. Bilangan 18:21, mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan diantara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka. Pekerjaan pada Kemah pertemuan.
00003. Bilangan 18:24 sebab persembahan persepuluhan yang dipersembahkan orang Israel kepada Tuhan sebagai persembahan khusus Kuberikan kepada orang Lewi sebagai milik pusakanya; itulah sebabnya Aku telah berfirman tentang mereka: “Mereka tidak akan mendapat milik pusaka di tengah-tengah orang Israel.”
00004. Bilangan 18:26 “Lagi haruslah engkau berbicara kepada orang Lewi dan berkata kepada mereka: Apabila kamu menerima dari pihak orang Israel persembahan persepuluhan yang Kuberikan kepadamu dari pihak mereka sebagai milik pusakamu, maka haruslah kamu mempersembahkan sebagian dari padanya sebagai persembahan khusus kepada Tuhan, yakni persembahan persepuluhanmu dari persembahan persepuluhan itu…
00005. Ulangan 14:28, Pada akhir tiga tahun engkau harus mengeluarkan segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu dalam tahun itu dan menaruhnya di dalam kotamu;
00006. II Tawarikh 31:5, Segera setelah perintah ini tersiar, orang Israel membawa dalam jumlah yang besar hasil pertama dari pada gandum, anggur, minyak, madu dan segala macam hasil bumi. Mereka membawa juga persembahan persepuluhan dari segala sesuatu dalam jumlah yang besar.
00007. Nehemia 10:38, Seorang imam, anak Harun, akan menyertai orang-orang Lewi itu, bila mereka memungut persembahan persepuluhan. Dan orang-orang Lewi itu akan membawa persembahan persepuluhan dari pada persembahan persepuluhan itu ke rumah Allah kami, ke bilik-bilik rumah perbendaharaan.
00008. Maleakhi 3:10, Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai kelimpahan.
Dari ayat-ayat di atas, setidaknya kita menemukan beberapa macam praktek persembahan persepuluhan, yaitu:
00001. Persembahan persepuluhan untuk Tuhan (Imamat 27:32, mohon pasal 27 dibaca secara keseluruhan). Untuk saat ini mereka yang memahami persembahan persepuluhan ditujukan untuk Tuhan, maka mereka akan menyerahkan persembahan persepuluhannya ke gereja atau Lembaga Pelayanan Kristen di mana mereka menjadi anggotanya. Gereja melalui majelis Jemaatlah yang akan mengatur penggunaannya. Mereka tidak mau menyerahkan persembahan persepuluhan untuk pribadi pendeta atau tenaga gereja lainnya.
00002. Persembahan persepuluhan untuk manusia (dalam hal ini untuk kebutuhan hidup suku Lewi dan para imam, lihat Bilangan 18:24, dan banyak sekali ayat lainnya). Untuk saat ini bagi mereka yang memahami persembahan persepuluhan ditujukan untuk manusia, maka mereka akan menyerahkan persembahna persepuluhan kepada pribadi pendeta atau tenaga gereja lainnya. Mereka tidak mau menyerahkan persembahan persepuluhan ke Majelis Jemaat atau bendahara gereja, karena diimani akan melanggar perintah Tuhan.
00003. Persembahan persepuluhan setiap tahun ketiga (Ulangan 14:28). Dari ayat ini menjadi lebih jelas bahwa persembahan persepuluhan pada waktu itu ada aturannya. Misalnya: persembahan persepuluhan pada tahun pertama dan kedua dibawa ke Bait Suci untuk dinikmati bersama, sedangkan persembahan persepuluhan pada tahun ketiga tidak dibawa ke Bait Suci, tetapi masing-masing keluarga memberikannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya.
00004. Persembahan persepuluhan diterima sebagai pilihan antara berkat dan hukuman (Maleakhi 3:10). Mereka yang mendasarkan diri pada pemahaman hurufiah ayat ini cenderung selalu meyakini bahwa semakin diberkati. Gereja yang mempraktekkan persembahan persepuluhan secara disiplin, maka gereja itu akan “diberkati” (dalam arti tidak akan kekurangan dana). Bila tidak, maka akan terjadi sebaliknya.
Dari kutipan yang diambilkan hanya dari beberapa ayat di Alkitab sudah bisa kita temukan beberapa perbedaan pemahaman dan praktek tentang persembahan persepuluhan, belum lagi kalau kita mau menghubungkan persembahan persepuluhan dengan -misalnya- pelaksanaan tahun Yobel (tahun pembebasan), tentu akan lebih rumit lagi. Dengan demikian jelas bahwa persembahan persepuluhan ternyata ada bermacam-macam.
Bagaimana Sikap Kita?
1. Secara penghayatan iman (teologi) GKJW termasuk dalam lingkaran tradisi teologia Calvinis. Salah satu ciri khas teologia Calvinis adalah memahami Kitab Suci secara kontekstual (tidak ayat per ayat). Dalam gereja yang bercorak Calvinis jarang sekali ada diskusi khusus tentang persembahan persepuluhan. Karena memang dalam tradisi teologia Calvinis tidak pernah mengambil satu ayat di Kitab Suci menjadi pokok dogmatika. Kalau satu ayat lalu dijadikan pokok dogmatika akan sangat berbahaya, membingungkan, dan bahkan bisa mengacaukan kehidupan bersama. Sekedar contoh, kita ambil satu ayat dari Injil Matius 18:21-22. Kalau kita mengartikan ayat ini secara hurufiah sebagai kebenaran yang tidak bisa diartikan lain, maka setiap orang Kristen harus mengampuni mereka yang bersalah kepadanya sebanyak 490 kali, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, sebab ini adalah perintah Tuhan Yesus sendiri! Padahal di bagian lain Tuhan Yesus ketika berhadapan dengan seorang wanita yang berbuat zinah hanya mengatakan “Aku pun tidak menghukum engkau!” (Yoh 8).
Bukti bahwa gereja yang bercorak calvinis tidak memberi perhatian khusus pada persembahan persepuluhan dapat dilihat pada data berikut ini . Pada tahun 2003 di GKJW Jemaat Waru ditemukan data tentang persembahan persepuluhan sebagai berikut:
a) Ada 4 (empat) orang dengan inisial tya, ats, gama3 dan grd yang secara disiplin (hampir setiap bulan) menyerahkan persembahan persepuluhan dengan jumlah berkisar antara Rp. 50.000; – Rp. 420.000;. Berarti rata-rata penghasilan lebih-kurang 3 juta rupiah/bulan.
b) Ada satu NN (tanpa diketahui dari wilayah berapa) yang menyerahkan persembahan persepuluhan dengan jumlahnya antara Rp. 50.000; – Rp. 600.000;
c) Ada beberapa NN dan nama-nama tertentu yang menyerahkan persembahan persepuluhan tetapi tidak rutin (setahun kadang dua atau tiga kali saja, maksimal 6 kali) dengan jumlah yang bervariasi antara Rp. 1.000; – Rp. 500.000;
Catatan: Pernah ada satu kali persembahan persepuluhan sebesar Rp. 1.336.000,-.
Dari data tahun 2003 di atas dapat disimpulkan: a) Warga jemaat yang secara ajeg mempraktekkan persembahan persepuluhan jumlahnya sangat sedikit, hanya 4 (empat) orang dari 570 keluarga (dibawah 1%); b) Agaknya ada pemahaman yang keliru tentang persembahan persepuluhan. Ada yang memahami persembahan persepuluhan sebagai persembahan yang diambilkan sepersepuluh dari penghasilan ekstra, bukan penghasilan rutin. Misalnya seseorang mendapatkan bonus dari tempat kerjanya 10 juta, maka satu juta (sepersepuluh) diserahkan ke gereja, dan itu dipahami sebagai persembahan persepuluhan, padahal itu sebenarnya persembahan syukur. c) Baru warga jemaat yang penghasilannya sekitar 3 juta rupiah/bulan ke bawah yang mempraktekkan persembahan persepuluhan.
Data tahun 2004 tidak berbeda jauh dengan data tahun 2003, hanya ada beberapa tambahan (NN), dan yang berinisial: HN, DPH. Sedangkan data tahun 2005 (Januari-Maret) menunjukkan perubahan dengan semakin banyaknya warga jemaat (NN) yang menyerahkan persembahan persepuluhan dengan jumlah persembahan berkisar antara Rp. 5.000; – Rp. 400.000;. Dan semakin banyak warga jemaat dengan inisial tertentu yang menyerahkan persembahan persepuluhan: TYA, GRD, GAMA3, HN, ET, YK, LDS, WD, WM, DNG, PR, LGI, SG, VMMCS, MM, TP-1, DVN, DR, WA, JAB, AEXZ, Cah Kunjang, 3006, 3030, 3045, dsb. Jumlah yang dipersembahkan berkisar antara Rp. 15.000; – Rp. 1.150.000;.



Ibadat Penghiburan

Catatan:
· Mungkin ada yang secara disiplin mengambil sepersepuluh dari penghasilannya lalu dimasukkan ke bank, dan uang itu baru diambil kalau gereja sangat membutuhkan. Bagi saya, cara ini pun tidak bisa disebut sebagai persembahan persepuluhan, baru sebatas memiliki semangat menyisihkan persembahan persepuluhan, belum mempraktekkan! Sebab salah satu makna penting persembahan adalah menyerahkan sebagian dari apa yang dimiliki untuk tidak lagi berada di bawah kekuasaannya.
· Saya menduga juga ada yang telah menyerahkan persembahan sejumlah sepersepuluh secara rutin lewat persembahan bulanan.
· Mungkin pula ada yang menyisihkan sepersepuluh dari penghasilannya untuk diberikan kepada orang/keluarga tertentu yang memerlukan pertolongan dalam bentuk, misalnya: beasiswa, secara rutin memberi kebutuhan beras, gula, dll.
· Berbicara tentang persembahan tidak etis bila dasar pokoknya jumlah persembahan meningkat. Bagi gereja yang terpenting bukan jumlah, tetapi motivasi/sukacita dan rasa syukur serta kesadaran untuk mau ikut menanggung beban/kebutuhan gereja. Mereka yang motivasinya baik tidak mungkin sembarangan dalam memberikan persembahan.
2. Kitab Maleakhi 3 (ayat 10 khususnya) yang sering dijadikan dasar oleh aliran tertentu sebagai cara mempersembahkan yang paling benar, justru sebenarnya tidak tepat! Mengapa? Setidaknya ada beberapa alasan:
· Di dalam kitab Perjanjian Lama jumlah persembahan sepersepuluh adalah jumlah persembahan yang terkecil. Berkaitan dengan jumlah persembahan di Perjanjian Lama, saya menemukan angka-angka sebagai berikut: sepersepuluh (terkecil), seperenam (Yehezkiel 45); seperempat (I Samuel 9); sepertiga (Nehemia 10); setengah (Keluaran 30). Kalau tidak menyebut angka, maka tentang persembahan akan disebut tentang “yang terbaik”, atau “yang tidak bercacat” (Kejadian 43; Keluaran 23). Pertanyaan: apakah kita akan menjadikan yang minimum (terkecil) sebagai yang paling benar?
Catatan: saya senang kalau ada di antara Saudara yang bisa menemukan jumlah persembahan di bawah sepersepuluh di Perjanjian Lama, dan saya akan mengoreksi tulisan saya ini.
· Kitab Maleakhi latar belakangnya adalah kehidupan umat Tuhan (pasca pembuangan) yang pada waktu itu sedang buruk keadaan sosial, ekonomi, dan keagamaannya. Keadaan itu menyebabkan mereka melupakan tanggung jawab untuk turut serta memelihara dan memperhatikan Bait Allah. Bahkan persembahan yang mestinya “terbaik dan tak bercacat”, mereka mempersembahkan “yang cemar” (baca pasal 1). Itu tanda bahwa hati mereka tidak menghormati dan tidak memuliakan Tuhan. Sikap ini menyebabkan mereka tidak mendapatkan berkat dari Tuhan sehingga Maleakhi mengingatkan agar mereka bertobat! Sebagai tanda pertobatan mereka diminta untuk memberikan persembahan, sekalipun dalam jumlah yang paling kecil (sepersepuluh).
Inti kitab Maleakhi 3 adalah soal pertobatan bukan soal persembahan (baca karangan Sutrisno “Makna Persembahan Persepuluhan dalam Kitab Maleakhi 3:6-12”, skripsi di fakultas Teologia UKDW, th 1992, halaman 48-53; dan Robert C. Dentan ‘The Book of Malachi’ USA 1982, halaman 1117-1141). Justru yang perlu ditekankan pada kitab Maleakhi ini adalah ajaran yang indah, yaitu: sekalipun sedang menghadapi keadaan hidup yang paling buruk jangan melupakan kasih dan berkat Tuhan! (bandingkan cerita di Perjanjian Baru tentang persembahan dari seorang janda miskin)
· Perintah untuk menyerahkan persembahan sepersepuluh, seperenam, atau berapa pun di Perjanjian Lama itu statusnya sama dengan perintah untuk -misalnya- mempersembahkan korban bakaran dari lembu yang tidak bercacat, dsb. (mohon dibaca lebih lanjut kitab Imamat dan kitab Bilangan). Apakah saat ini kita masih mau memberlakukan aturan-aturan ini: persembahan sepersepuluh, seperenam, korban sembelihan, korban bakaran, tidak boleh bekerja pada hari Sabat, sunat, makanan halal atau haram, beristri lebih dari satu? Tentu tidak! Perintah itu ditujukan untuk umat Tuhan yang masih dibawah kuasa hukum Taurat. (ingat tulisan saya tahun lalu “Memahami Makna Persembahan” yang menyatakan bahwa salah satu ciri khas teologia Perjanjian Lama adalah adanya hukuman dan berkat: “setia diberkati, tidak setia dihukum”). Saat ini kita sudah berada dibawah kuasa hukum Kristus. Hukum dan aturan di Perjanjian Lama sudah digenapi oleh Yesus kristus, sehingga siapa yang percaya kepada Yesus kristus tidak lagi berada dibawah hukum Taurat. Perhatikan Roma 7:4 “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah.”
· Diduga kitab Maleakhi 3:10 menjadi amat terkenal karena pada ayat tersebut dijanjikan berkat tercurah (“… tingkap-tingkap langit akan terbuka dan berkat akan tercurah…”), jadi bukan semata-mata ingin memberikan persembahan yang terbaik, mengapa tidak meniru, misalnya Zakheus (tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat. Kata Yesus kepadanya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini…”-Luk. 19:8) atau janda miskin (memberikan semua yang dimiliki-Markus 12).
· Ada dasar tentang persembahan yang jauh lebih tepat, karena tidak hanya menyangkut uang dan harta benda, tetapi hati dan bahkan kehidupan itu sendiri. Misalnya: Matius 19: 16-22; Markus 12:42; Lukas 19:8; Roma 12:1; Yakobus 1:27.
· Secara praktis persembahan persepuluhan bisa memunculkan banyak sekali pertanyaan. Satu contoh kecil saja. Pak Dadap dan Pak Waru penghasilannya masing-masing sejuta rupiah/bulan. Pak Dadap masih lajang dan tidak menanggung beaya hidup siapa pun, sedangkan Pak Waru sudah berkeluarga dengan 3 anak yang masih sekolah. Apakah persembahan Pak Dadap dan Pak Waru baru bisa dikatakan benar kalau masing-masing menyerahkan seratus ribu (sepersepuluh dari sejuta)? Atau, Pak Dadap mendapat hadiah sebuah mobil Kijang Inova, dan itu dihayati sebagai berkat Tuhan! Bagaimana mengenakan persepuluhannya? Apakah dihitung dengan cara menaksir nilai jual mobil itu, lalu sepersepuluhnya dipersembahkan? Bagaimana kalau Pak Dadap tak punya uang sebesar sepersepuluh dari nilai harga jual mobil itu?
2. Kalau begitu, apakah saat ini menyerahkan persembahan persepuluhan itu salah? Menyerahkan Persembahan sepersepuluh dari penghasilan itu boleh bahkan amat baik kita lakukan, asal dengan motivasi yang baik, yaitu: a) untuk mengucap syukur secara teratur atas kasih dan berkat keselamatan dari Tuhan yesus Kristus; b) untuk melatih diri agar kerohanian kita semakin baik dan tidak menempatkan harta-uang sebagai yang utama dalam hidup (mengikis sifat egoisme – materialisme). c) tidak menjadikan angka sepersepuluh sebagai hukum mutlak! 
3. Namun demikian menyerahkan persembahan sepersepuluh dari penghasilan bisa saja salah kalau motivasinya tidak benar, misalnya: a) menganggap itu sebagai persembahan yang paling benar; b) ditujukan untuk mendapatkan berkat berlimpah; c) takut kalau tidak memperoleh berkat! Kalau ini yang terjadi, maka sebenarnya persembahan itu arahnya kepada diri sendiri, bukan kepada Tuhan.

Catatan-catatan praktis
00001. Persembahan itu bukan “sesajen”. Persembahan Kristen itu murni sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat dan kasih keselamatan dari Tuhan, jadi motivasinya semata-mata ingin mengungkapkan rasa syukur. Beda dengan sesajen yang senantiasa diiringi dengan permintaan-permintaan tertentu. Sedangkan dalam doa kita bisa menyampaikan segala macam permohonan kita, sejauh permohonan itu tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan.
00002. Untuk saat ini yang disebut dengan istilah persembahan persepuluhan hakekatnya sama dengan persembahan bulanan. Jadi warga jemaat yang telah menyerahkan persembahan persepuluhan, mestinya tidak perlu lagi mengisi persembahan bulanan.
00003. Saya pribadi menyatakan penghargaan yang amat tinggi kepada warga jemaat yang dengan motivasi yang benar telah mampu mempraktekkan persembahan sebesar sepersepuluh dari penghasilannya setiap bulan atau setiap mendapatkan penghasilan. Penghargaan itu disampaikan bukan karena gereja memiliki semakin banyak uang, melainkan karena semangat hidup saudara yang tidak mau jatuh dalam kerakusan dan mendewakan uang. Semoga kemurahan hati yang telah tumbuh itu menjadi sarana bagi Saudara untuk semakin melihat bahwa keindahan dan kebahagiaan hidup itu memang tidak ditentukan oleh uang. H Nadesul menulis sebagai berikut, “Riset membuktikan uang telah gagal mengatrol kebahagiaan. Studi sejak tahun 1950-an mengungkapkan, kebahagiaan tidak bertambah dengan uang yang bertambah. Tak ada batas tertinggi berapa kecukupan itu. Sayang banyak orang lupa, tidak semua bisa dibeli dengan uang…Semakin banyak orang di dunia kena penyakit tak bermakna (neurosis noogenic)” – Kompas, 13 April 2005 halaman 5 dengan judul ‘Tikus Juga Doyan Uang’. Perhatikan pula kitab Pengkhotbah 5: 9-10.
00004. Penghargaan yang tulus juga saya tujukan kepada warga jemaat yang dengan penuh kesungguhan dan ketulusan hati berupaya dan mempraktekkan memberikan persembahan dengan sebaik-baiknya. Bagi saya, jumlah tidak menjadi soal, entah 1%, 2% atau berapa pun dari penghasilan, yang paling penting adalah semuanya kita serahkan dengan hati dan sikap hidup yang memuji dan memuliakan Tuhan. Gereja bukan tempat untuk mengumpulkan uang, tetapi sebagai sarana untuk menghayati dan memberlakukan kehendak Kristus dengan sebaik-baiknya.
00005. Bagi warga jemaat yang telah secara ajeg menyerahkan persembahan persepuluhan disarankan untuk mempertahankan semangat itu, dengan catatan: yagn ada didalam hatinya bukan keinginan untuk mendapatkan pengembalian berkat materi berlipat, tetapi benar-benar sebagai ungkapan rasa syukur!
00006. Ada banyak warga jemaat -yang saya tahu- telah memberikan persembahan yang nilainya tidak bisa diukur dengan uang, misalnya: waktu, tenaga, pikiran, kesetiaan.
00007. Pranata GKJW menyatakan bahwa setiap warga dewasa (sudah sidhi) mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk turut memikul kebutuhan gereja, dan hal ini antara lain diwujudkan dengan memberikan persembahan bulanan. Bagi warga jemaat tertentu mungkin tidak mudah menentukan kelayakan dalam mengisi persembahan bulanan. Supaya kita tidak mengisi persembahan bulanan ala kadarnya atau asal mengisi, barangkali pengalaman gereja di Belanda bisa dijadikan bahan pertimbangan . Gereja-gereja di Belanda mempunyai ketentuan umum untuk warga jemaat dewasa (sudah sidhi), yakni menyerahkan setidaknya 2% dari penghasilannya ke gereja. Tentu angka 2% tidak tinggi, tetapi itu bisa dipakai sebagai tahap awal untuk belajar memberikan persembahan secara sadar, teratur, dan bertanggungjawab. Biarlah dengan berjalannya waktu yang disertai pertumbuhan rohani kita, maka angka 2% bisa terus ditingkatkan sedikit demi sedikit. Semoga!

JANDA MISKIN: Memberi Yang Terbaik
Markus 12:41-44
"Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."  Markus 12:44

Ketika melihat seorang janda miskin memasukkan persembahan di kantong kolekte, mungkin ada orang yang berkata dalam hati,  "Ah... persembahannya paling tak lebih dari seribu perak.  Tidak ada artinya sama sekali!"  Tak jarang orang akan mencibir, menyepelekan dan menganggap bahwa persembahan janda miskin itu tidak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk operasional gereja.  Berbeda jika orang kaya dengan penampilan yang perlente memasukkan persembahannya di kantong kolekte yang sama pasti kita akan bergumam dalam hati,  "Wow... persembahannya pasti ratusan ribu, bahkan mungkin jutaaan rupiah!"...  dan kita pun berpikiran bahwa persembahan orang kaya itulah yang pasti berkenan dan menyenangkan hati Tuhan.  Penilaian itu lumrah jika kita menilainya dengan ukuran logika manusia!

     Alkitab menyatakan bahwa janda miskin itu memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan.  Peser adalah mata uang tembaga Yahudi yang paling kecil, sama dengan setengah duit.  Ditinjau dari sisi nilai uang, persembahan janda miskin tersebut memang sangat kecil, namun jika ditinjau dari sisi kemampuan, pemberian janda miskin itu sangat besar sekali, karena  "...janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."   (ayat nas).

     Melalui kisah ini Tuhan hendak menekankan bahwa selain melihat sikap hati atau motivasi seseorang dalam memberi persembahan, Ia juga mengingatkan agar dalam hal memberi persembahan kepada Tuhan hendaknya kita memberi yang terbaik dari yang kita miliki, bukan asal-asalan atau sisa-sisa harta kita.  Janda miskin itu memberi dari seluruh nafkahnya, semua yang ia miliki dipersembahkan kepada Tuhan.  Inilah yang disebut dengan korban!  Sementara orang kaya itu memberi dari kelebihannya, bisa saja itu merupakan sisa-sisa kekayaannya yang berlimpah-limpah dan hal itu tidak membutuhkan pengorbanan apa puun.  Apa yang diperbuat oleh janda miskin itu menunjukkan betapa ia sangat mengasihi Tuhan sehingga rela memberi semua yang dimilikinya untuk Tuhan.

Berilah yang terbaik untuk Tuhan karena semua yang kita miliki berasal daripada-Nya!


Persembahan Seorang Janda: Kemurahan Hati yang Melampaui Perpuluhan

Saya hampir lupa kapan terakhir kali sharing hasil Pendalaman Alkitab tentang Tokoh Perempuan dalam Perjanjian Baru yang masih tersisa 7 bab lagi ini. Saya tidak tahu apakah saya harus minta maaf karena penundaan ini (seperti yang biasa dilakukan oleh beauty vlogger favorit saya kepada followers atau subscribers-nya) atau berhenti sok-sok terkenal dan langsung saja memulai sharing-nya.
Kalau begitu, saya meminta maaf sama diri sendiri saja karena sudah menunda-nunda pekerjaan baik ini.

Baca Markus 12:38-44.
Cerita tentang Persembahan Janda Miskin adalah salah satu kisah yang sangat terkenal dalam kehidupan kekristenan umat manusia. Saya mendengarnya untuk pertama kali ketika saya masih sangat cilik dan belum gendut, tepatnya ketika saya berusia sekitar 7 tahun. Waktu itu saya merasa kagum ketika Tuhan Yesus memuji sikap si janda miskin dalam memberikan persembahannya–yang sempat membuat saya juga merasa bangga hanya dengan memberi 2 keping uang logam 100 rupiah (ceritanya saya sotoy itu sama dengan 2 peser di kisah Alkitab ini, huft) sewaktu sekolah minggu pada saat itu. Namanya juga anak kecil.
Malam ini saya mau share prinsip apa yang sebenarnya terdapat pada sikap janda miskin tersebut. Sebelum itu, bagi kalian semua yang lagi main ke blog ini, silakan ambil posisi paling enak, ambil cemilannya, ambil Alkitabnya, kemudian ambil buluh sebatang… potong sama panjang, raut dan ikat dengan benang, eh kok kita jadi main layang-layang ya…?
#maaf

Coba ingat dan renungkan kembali suatu waktu ketika seseorang yang kelihatannya lebih membutuhkan daripada kita (secara emosi, kerohanian, fisik, atau bahkan keuangan), tetapi sangat bermurah hati kepada kita! 

Pendalaman Alkitab ini dimulai dengan nasihat Yesus untuk berhati-hati terhadap para ahli Taurat. Ahli Taurat yang bagaimana? Mereka adalah para ahli Taurat yang:
· suka berjalan-jalan memakai jubah panjang (ih kebayang deh, ini pasti jalannya sambil ngeletakin kedua tangan di belakang badan, lalu langkahnya pelan-pelan biar berwibawa gitu, terus tatapannya angkuh berasa abis juara olimpiade);
· suka menerima penghormatan di pasar (lah yang begini pasti yang nunggu-nunggu disapa gitu deh, ngga mau nyapa duluan, pura-pura main hape);
· suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan(bangku yang berada di depan tabut yang berisi gulungan, dan ((karena bangkunya menghadap ke orang-orang)) merupakan lokasi yang sangat diinginkan kalau memang mau dilihat orang);
· menelan rumah janda-janda (maksudnya menggasak/mengganyang rumah janda-janda. Bagian ini mau ngejelasin bahwa selain sikap angkuh dan pamer di atas, ternyata moralitas mereka juga rusak);
· mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang (salah satu penafsir berkata bahwa mereka pura-pura doa panjang-panjang supaya dikira sangat mengasihi Allah, padahal mereka kayak gitu supaya jemaat menyukai mereka).
Di bagian ini Tuhan Yesus mau mengingatkan bahwa para ahli Taurat tersebut tidak sedang memberikan teladan yang baik. Bukannya bertindak layaknya pelayan, mereka malah bertingkah seolah tuan. Motivasi mereka adalah kemuliaan diri mereka sendiri.
Membaca bagian ini membuat saya teringat akan bagian firman Tuhan yang lain dalam surat Paulus kepada jemaat di Filipi tentang nasihat untuk bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus:
“dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”
Filipi 2:3
Dengan melihat apa yang Yesus cela, kita dapat melihat nilai-nilai yang Yesus pegang. Dia berkata, mereka yang mencari status dan perhatian orang lain, melahap rumah janda-janda, dan berdoa hanya untuk pamer kerohanian, akan menerima hukuman yang lebih berat. Mereka menyukai kekuasaan, sementara Yesus menyalahkan sifat cinta kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan. Dia juga menyalahkan perbuatan pamer kesalehan mereka padahal dalam kenyataannya mereka menganiaya janda-janda. Kasihan banget ngga sih, para janda ini? Nggak heran kalau di dalam Alkitab, Tuhan sangat concern dengan nasib janda-janda; ternyata ada pihak-pihak yang memang memperlakukan mereka dengan tidak baik seperti para ahli Taurat ini.
Firman ini masih sangat relevan bagi dunia saat ini. Tidak terhitung sudah berapa kali kita sebenarnya sedang ‘berjalan-jalan memakai jubah panjang’ ala kita. Jubah panjang yang bisa berupa ambisi tidak sehat, perasaan benci tanpa alasan atas suatu hal, atau segala bentuk eksklusivisme yang kita bangun. Tidak terhitung sudah berapa kali kita mencari puji-pujian dari sesama kita dan merasa sangat ingin dihargai serta dipandang di masyarakat. Sadar atau tidak, jangan-jangan kita adalah ahli Taurat masa kini dengan beberapa penyesuaian terhadap budaya zaman saja. Ahli-ahli Taurat yang suka main Instagram dan Path, if you get what I mean. Untuk itu kita perlu memohon kepada Allah agar selalu sadar dan memercayai Dia untuk mengevaluasi motivasi kita yang salah. Rasa bertanggung jawab dan berdoa dengan orang lain dalam komunitas Kristen juga akan sangat menolong. Keterbukaan dan merasa hidup ini rapuh sama pentingnya dengan keinginan agar hidup kita termotivasi oleh nilai-nilai kekal Kerajaan Surga.
Terkait pesta demokrasi Jakarta yang sebentar lagi akan diadakan, saya rasa kita juga perlu mendoakan hal yang sama bagi calon gubernur yang akan memimpin ibukota negara ini ke depan. Kita perlu membangun awareness bahwa pilihan adalah bentuk keputusan yang diambil dalam kesadaran penuh–and that’s required pengenalan yang baik akan siapa yang kita pilih. Kita tentu tidak mau dipimpin oleh orang-orang yang cinta kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan, karena bukan masyarakat Jakarta yang akan dilayani, melainkan diri mereka sendiri. Kita juga perlu berdoa agar Tuhan menyatakan otoritas dan cinta-Nya untuk Jakarta dengan memberikan Jakarta pemimpin yang melayani rakyat dengan cara yang benar.
Selanjutnya kita membaca cerita tentang Yesus yang duduk di depan peti persembahan dan memerhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu; banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Di sinilah Yesus juga melihat janda miskin yang memasukkan 2 peser. Perempuan ini bukan hanya seorang janda, namun ia juga miskin. Mungkin itu terlihat jelas dari pakaiannya yang berbeda dengan orang-orang lain pada waktu itu–apalagi dari orang-orang kaya yang memberi banyak itu.
Berbeda dengan kita yang kalau kepo ngga tau mau diapakan hasil keponya, Yesus langsung memanggil murid-murid-Nya dan memberikan suatu pengajaran kepada mereka.
Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
Markus 12:43-44
Kisah ahli-ahli Taurat di atas dan janda yang miskin ini memiliki kesamaan. Dalam kisah yang pertama, kita melihat bagaimana para pemimpin yang seharusnya memberi perhatian bagi kebutuhan orang banyak dan memberikan diri untuk memenuhinya, malahan mengambil dari orang miskin untuk kekayaan pribadi dan lebih terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan, dan jabatan daripada melayani. Dalam kisah janda ini, kita melihat bahwa perkara memberi berkaitan dengan kepemilikan harta pribadi. Kedua cerita ini berkaitan dengan memberi dan motivasi dalam memberi. Keduanya juga berkaitan dengan hidup berdasarkan nilai-nilai Kerajaan Allah, atau sebaliknya, menolak nilai-nilai tersebut. 
Salah satu artikel di desiringgod.com mengatakan:
One way to paraphrase this story would be to say, “The rich took no risk with their money for the cause of God, but the widow did.”
Now why did Jesus point this out? And why did Luke think the story important enough to record it for us? I think the reason is simple: Jesus wants his people to take risks with their money for the cause of God.
When we give our offerings, does it feel risky? 
Mungkin akan ada saat di mana memberi tidak membuat kita merasa ‘kesusahan’, tapi ada juga saat di mana ketika memberi rasanya sulit karena kita pun tidak punya banyak. Saya yakin saat ini Tuhan Yesus sedang mengajarkan sikap hati yang berani memberi dari keterbatasan kita–selama itu adalah apa yang kita miliki, tentunya.
Aplikasinya tidak hanya berkaitan dengan uang, uang, dan uang. Waktu juga bisa, misalnya.
Tahun 2016 adalah tahun di mana Tuhan menganugerahkan saya beberapa pelayanan yang membuat hampir semua weekends saya diisi dengan kegiatan pelayanan tersebut. Saya sangat bersyukur karena memang itulah yang saya doakan pada tahun 2015 ketika saya berada di penghujung tahun. Jujur saja, saya mengalami kelelahan dan ada beberapa hal yang belum bisa saya lakukan karena komitmen pelayanan tersebut. Itu sempat membuat saya berpikir apakah tahun ini saya masih akan mengambil kesempatan pelayanan demi pelayanan yang Tuhan sudah siapkan bagi saya atau tidak. Saya mempertimbangkan beberapa hal yang mostly berkaitan dengan karir dan cita-cita saya…
…sampai kemudian firman ini menampar saya–seolah sedang berkata bahwa saya sudah terlalu GR bahwa Tuhan masih akan mempercayakan pelayanan-Nya bagi saya, itu yang pertama–sehingga saya sok-sok-an langsung curi start untuk berpikir akankah saya mengambil kesempatan itu/tidak. Kedua, firman ini mengajarkan saya untuk memberi waktu saya bagi Tuhan, sekalipun rasanya itu beresiko bahwa saya akan kelelahan lagi dan sulit membagi waktu untuk mengejar cita-cita saya, dan bahkan keluarga saya. Tetapi harusnya saya melihatnya dari perspektif lain. Melayani adalah panggilan hidup setiap orang Kristen–dan melayani dalam pelayanan kristiani adalah panggilan dan janji saya kepada Tuhan jika Dia memberi saya kesempatan untuk berkuliah di UI. Saya tidak berniat untuk meninggalkan apa yang sudah menjadi bagian dari jiwa saya ini. Lalu apa? Hal yang saya harus pelajari adalah bagaimana menjadi perempuan yang berhikmat dalam hidup–khususnya dalam hal time and energy management. 

Saya percaya Tuhan tidak meminta apa yang tidak kita punya–kalau Dia meminta, dan itu yang kita imani, kita mesti percaya juga bahwa pasti ada sesuatu yang kita miliki untuk kita berikan. Maka dari itu, hal memberi dengan motivasi yang benar ini tidak pernah terlepas dari hal mengetahui kehendak Allah. Janda miskin tersebut tahu bahwa Allah mengkehendaki persembahan yang demikian–yang berangkat dari hati yang tulus dan keberserahan penuh kepada Allah (doi pasti yakin Allah akan mencukupkan dia, karena kalau ngga, pasti dia ngga akan mau ngasih dari kekurangannya), maka dia memberi. Dia tahu bahwa Allah yang memeliharanya adalah Pribadi yang murah hati, maka dia pun meneladani-Nya dengan juga bermurah hati. Sedangkan si ahli-ahli Taurat, memiliki banyak–setidaknya lebih banyak dari janda miskin ini, namun masih saja melahap bagMemberi dalam Kekurangan

Markus 12:44 Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."

Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Melihat itu Yesus memanggil murid-muridnya dan berkata bahwa persembahan janda tersebut lebih banyak dari persembahan orang-orang kaya itu. Pernyataan Tuhan itu sungguh kontroversi dengan kenyataan yang ada. Bagaimana mungkin Yesus berkata persembahan janda miskin itu jauh lebih besar dari pada persembahan orang kaya padahal secara fakta nilai uang yang di berikan oleh orang kaya jauh lebih besar dari pada yang di berikan janda miskin. 

Begitulah cara berpikir Tuhan. Tuhan tidak berpikir seperti cara dunia ini. Tuhan tidak menilai seperti dunia ini menilai. Dunia menilai dari apa yang kelihatan sementara Tuhan menilai berdasarkan ketulusan dan kerelaan. Mengapa Tuhan Yesus menyatakan persembahan janda miskin jauh lebih besar di bandingkan persembahan orang kaya? Itu karena janda miskin memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yakni seluruh nafkahnya, sementara si orang kaya memberi dari kelebihannya. Memang secara nilai orang kaya memberi lebih besar dari janda miskin tetapi apa yang di berinya itu mungkin hanya sepersejuta dari hartanya.

Point utama dari dari kisah ini adalah Yesus lebih mengingat dan tertarik pada persembahan janda miskin. Hal ini dapat menjadi satu pelajaran yang indah bagi kita yaitu jika ingin memberi pada pekerjaan Tuhan jangan menunggu sampai mempunyai banyak uang dulu. Tuhan tidak menilai angka yang kita berikan, Tuhan menilai ketulusan hati kita.

Ada orang yang berkata, bagaimana mungkin saya bisa memberi sementara saya saja masih kekurangan? Benar, kalau dipikir secara logika orang tersebut tidak bisa di salahkan karena fakta hitung-hitungan memang demikian. Itulah kalau akal yang berbicara. Tetapi bagaimana dengan janda miskin itu? Tuhan Yesus berkata bahwa ia memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberikan seluruh yang ada padanya. Lalu apakah janda itu bodoh sehingga tidak berpikir panjang? Tidak, saya yakin bahwa ibu janda itu bukanlah seorang yang bodoh. Dia pasti sempat berpikir bagaimana keadaannya selanjutnya bahwa ia tidak akan memiliki uang lagi untuk makan. Tetapi ia tidak mau di kuasai oleh pikirannya, ia tidak mau di kuasai oleh kekuatiran, jika nenek moyangnya saja yang belum memberikan apa-apa kepada Tuhan tetapi di pelihara oleh Tuhan di padang gurun dengan menurunkan roti manna dari surga, apalagi dia yang sudah mempersembahkan seluruh yang ada padanya, Tuhan pasti akan lebih lagi memelihara dia. Itulah iman.

Lukas 12:29-31 Jadi, janganlah kamu mempersoalkan apa yang akan kamu makan atau apa yang akan kamu minum dan janganlah cemas hatimu. Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu.

Suatu ketika Elia Tuhan perintahkan untuk pergi ke Sarfat ke rumah seorang janda miskin. Sampai disana Elia meminta kepada janda tersebut supaya di buatkan roti bundar untuk dimakan. Lalu janda miskin itu berkata bahwa tepung dan minyak yang ada padanya hanya tinggal itu saja, cukup untuk sekali makan saja. Setelah itu tidak ada lagi maka ia dan anaknya akan mati kelaparan. Itu dapat kita lihat pada ayat dibawah:

I Raja-Raja 17:12 Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."

Tetapi Elia tetap meminta janda itu untuk membuat roti baginya seraya berkata bahwa Tuhan akan memelihara mereka. Ibu janda itu percaya kepada janji-janji Tuhan yang disampaikan oleh nabi Elia. Ia mengalahkan logikanya dengan iman. Ia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan bahwa Tuhan sanggup memelihara dan memenuhi kebutuhannya. Benar saja, ketika ia taat pada firman Tuhan maka tepung dan minyak itu tidak habis sampai masa kelaparan berlalu. 

I Raja-Raja 17:15-16 Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya. Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.

Kisah ini mengingatkan saya pada suatu kejadian yang terjadi kira-kira hampir 3 tahun yang lalu. Ada seorang ibu janda datang kerumah meminta uang kepada kami untuk ongkos perjalanan ke suatu kota karena di kota itu anaknya sudah mendapat pekerjaan. Ibu ini adalah seorang janda yang sangat susah dan biasanya paling tidak sebulan sekali saya beserta istri datang ke rumahnya mengantar sedikit bahan makanan seperti beras dan kebutuhan pokok lainnya, tetapi kali ini dia yang datang. Jujur, pada saat itu kami tidak memiliki uang. Justru pada saat itu kami juga sedang berada dalam kesulitan karena baru membayar kontrakan rumah. Istri saya sudah memberi penjelasan kepada ibu itu bahwa saat ini kami benar-benar tidak punya uang bahkan untuk membeli susu anak saja tidak cukup lagi sambil menunjukkan dompetnya yang hanya berisi beberapa lembar uang ribuan untuk menunjukkan bahwa kami benar-benar tidak punya uang. Itu hal yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya dan sebenarnya tidak etis untuk dilakukan. Namun dengan menangis si ibu itu tetap memohon kepada kami dengan alasan hanya kamilah yang di harapkannya karena orang lain tidak ada yang mau menolongnya bahkan ia memberikan kain gorden rumahnya yang sudah kusam. 

Melihat itu saya dan istri terenyuh, Istri bertanya kepada saya ada berapa uang di dompet saya. Saya pergi kekamar, saya lihat di dalam dompet saya hanya ada uang beberapa puluh ribu, tidak sampai seratus ribu. Dengan menangis saya berdoa kepada Tuhan apa yang harus saya lakukan. Apakah saya harus menyerahkan uang itu padahal tinggal itulah uang kami. Dengan lembut ada suara di hati saya yang berkata, “berikan saja, jangan kuatir akan apa yang kamu makan dan minum. Tuhanmu akan memenuhi segala keperluanmu”. Akhirnya uang itu kami berikan, yang tersisa di dompet saya hanya tinggal sepuluh ribu rupiah itupun untuk beli bensin motor yang biasa saya pakai untuk bekerja. Kami hanya mengimani bahwa kami tidak akan kelaparan dan meminta-minta. Dan benar Tuhan menepati janjinya, besoknya kami memperoleh uang yang jumlahnya jauh lebih besar dari yang kami berikan.

Oleh sebab itu jika ingin memberi janganlah menunggu sampai memiliki banyak uang dulu, jika saat ini saudara di gerakkan untuk memberi, berilah dengan tulus. Ingat, Tuhan sangat memperhatikan orang yang memberi dari kekurangannya dari pada orang yang memberi dari kelebihannya. Tuhan tidak melihat besar yang kita beri, tetapi Tuhan melihat seberapa besar hati kita memberi. Percayalah bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita menjadi orang yang meminta-minta. 

Mazmur 37:25 Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti;
Pernah dengar kisah persembahan seorang janda miskin? Ya, kisah ini ada di dalam  Markus 12:41-44, seperti ini lengkapnya :
Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."
Nah, kali ini JC Channel membahasnya bersama Museum Alkitab Indonesia tentang koin janda miskin ini. Apakah nama uang dua peser itu?
"Koin itu digunakan pada masa Alexander Janus," demikian jelas Bambang Kristanto Sitompul,S.Si, Kabid Museum Lembaga Alkitab Indonesia.
Jadi koin itu sekarang dikenal sebagai koin Alexander Janus, kaisar ini berkuasa pada 103 -76 SM. Sekalipun saat kisah janda miskin ini terjadi pemerintahan Alexander sudah lewat, namun uangnya tetap bisa dipergunakan. Bahannya dibuat dari perunggu. 
 
"Memang itu adalah mata uang yang nilainya sangat kecil, kalau sekarang ya uang recehanlah," demikian tambah Bambang. 
Lalu mengapa uang yang bernilai kecil itu menarik perhatian Yesus pada saat itu?
Jika bicara tentang persembahan, hal itu adalah pemberian sebagai tanda ucapan syukur yang kita ambil dari berkat yang sudah Tuhan beri. Biasanya orang memberikan persembahan diambil dari kelehibannya. 
"Yang menjadi berbeda, ketika seorang janda miskin memberi dari kekurangannya."
Jadi persembahan itu tidak dilihat dari nilainya, tapi dari pengorbanan yang dilakukan saat memberikan persembahan itu. 
Berapakan nilai koin dua peser itu?
Menurut keterangan Bambang, 1 keping koin Alexander Janus nilainya hanya 1/8 sen. Jika menggunakan kurs dolar, maka 1 keping koin janda miskin itu nilainya 1/8 dari Rp.13.500,- atau sekitar Rp.1.625,-. Jadi jika janda miskin itu memberi dua koin, maka total pemberiannya hanya Rp.3.250,- saja. 
Pelajaran dari kisah koin janda miskin
 
Persembahan janda miskin ini menjadi perhatian Yesus karena Dia mengetahui betapa besar pengorbanan wanita itu. 
"Karena kalau waktu itu dia hanya punya dua (koin) itu saja, setelah itu dia ngga bisa makan," demikian kesimpulan yang diberikan oleh Bung Marcel.
"Jadi itulah yang Tuhan inginkan, agar kita ngga memikirkan diri kita, tapi apa yang kita persembahkan kepada Tuhan itulah yang berkenan di mata Tuhan."
Ada beberapa pelajaran penting yang perlu kita perhatikan :
Pertama, Tuhan melihat apa yang tidak dilihat manusia. Ada banyak orang memberikan persembahan saat itu, bahkan mungkin murid-murid Yesus melihat ada orang-orang yang memberikan persembahan dalam jumlah besar. Tapi Yesus tertarik kepada persembahan yang sedikit dari seorang janda.
Kedua, penilaian Tuhan berbeda dari manusia. Jika manusia menilai dari jumlah materinya, namun Tuhan menilai dari seberapa besar pengorbanan yang diberikan janda itu saat memberikan persembahan. 
Ketiga, Tuhan melihat iman. Wanita itu sekalipun miskin, dia tidak menjadi orang yang ingin menerima berkat saja, tapi memiliki hati untuk memberi. Selain itu, dengan memberikan segala yang ia miliki, wanita itu memiliki iman bahwa Tuhan sanggup memeliharanya. Dia percaya bahwa Tuhan adalah Allah yang menyediakan. 
Bagaimana dengan kamu sahabat, apakah kamu juga punya iman seperti janda miskin itu? 
Wow, sangat menarik bukan fakta tentang koin janda miskin itu?

Khotbah Rohani Persembahan Janda Miskin

00001. 1. MARKUS 12:41-44; LUKAS 21: 1-4
00002. 2. Yesus berada di halaman kaabah di mana terdapat peti persembahan.
00003. 3. Ia memperhatikan orang orang yang datang memasukkan pemberian mereka.
00004. 4. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar.
00005. 5. Suara koin-koin yang jatuh ke tempat persembahan akan menunjukkan berapa besar pemberian mereka kepada Bait Suci.
00006. 6. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar.
00007. 7. Beberapa dari mereka mencoba menarik perhatian orang lain agar mereka melihatnya sebagai orang yang murah hati.
00008. 8. Ketika YESUS sedang memerhatikan, seorang janda miskin datang untuk memberikan persembahannya.
00009. 9. Ia memiliki 2 uang koin yang sangat rendah nilainya, yang dikenal dengan “Lepton” (Bh. Yunani) adalah koin yang nilainya terkecil dalam mata uang Ibrani. (Upah pekerja sehari adalah setara dengan 64 lepton). Jika Upah pekerja sehari adalah Rp. 100.000,-, maka 1 lepton = Rp. 1.500,-, jadi 2 lepton adalah kira-kira senilai Rp. 3.000,-
00010. 10. Ia memasukkannya ke dalam peti persembahan dan melangkah pergi.
00011. 11. Maka dipanggil-Nya murid- murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.”
00012. 12. ‘Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.’
00013. 13.  ALLAH MEMERHATIKAN SETIAP PEMBERIAN KITA Markus 12:41 Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu
00014. 14.  IA BERSUKACITA ATAS PEMBERIAN KITA “Tidak lama kemudian wajah-Nya kelihatan gembira ketika dilihat-Nya seorang perempuan janda yang miskin mendekati dengan ragu ragu, seolah olah takut diperhatikan.
00015. 15.  SUKACITA AKAN MEMENUHI HATI KETIKA MEMBERI DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH. Juruselamat memanggil murid murid Nya kepada Nya, dan menyuruh mereka memperhatikan kemiskinan perempuan janda itu. Kemudian perkataan Nya yang mengecam terdengar olehnya: "Dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu, bahwa janda yang miskin ini sudah memasukkan lebih daripada sekaliannya." Air mata kegirangan berlinang linang memenuhi matanya ketika ia merasa bahwa perbuatannya dipahami dan dihargai.
00016. 16. Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.“ Kisah Para Rasul 20:35
00017. 17. Banyak orang akan menasihati dia untuk menahan uangnya yang sangat kecil jumlahnya itu supaya digunakannya sendiri; bila diberikan ke dalam tangan para imam yang mendapat makanan cukup, persembahan itu akan tidak kelihatan di antara banyak pemberian yang limpah yang dibawa ke perbendaharaan. Tetapi Yesus mengerti motifnya.
00018. 18. Ia percaya bahwa upacara kaabah telah ditetapkan oleh Allah, dan ia ingin sekali melakukan sedapat dapatnya untuk menyokongnya. Ia melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan perbuatannya menjadi suatu peringatan dalam ingatannya sepanjang masa, serta kegembiraannya di masa kekekalan.
00019. 19.  Memberi adalah Suatu Bukti Kasih Hatinya menyertai pemberiannya, harganya dinilai, bukannya dengan nilai mata uang, melainkan dengan kasih kepada Allah serta minat dalam pekerjaan Nya yang telah mendorong perbuatan itu.
00020. 20. Ia mengambil makanan yang hendak dimakannya sendiri agar dapat memberikan duit dua keping itu untuk pekerjaan Tuhan yang dikasihinya. Dan ia melakukannya dalam iman, sambil percaya bahwa Bapa yang di surga tidak akan melupakan keperluannya yang besar itu. 21. Memberi adalah Suatu Bukti Kasih Yohanes 3:16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
00021. 22. Markus 14:3 Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu, dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus. 4. Memberi adalah Suatu Bukti Kasih
00022. 23.  PEMBERIAN SEJATI ADALAH TANPA MOTIF MENCARI KEHORMATAN DIRI Ketika orang orang kaya dan sombong itu lewat untuk memasukkan persembahan mereka, perempuan ini mundur seakan akan tidak berani maju lebih jauh. Dan meski pun demikian ia ingin melakukan sesuatu, walau pun tampaknya kecil saja, untuk pekerjaan Tuhan yang dicintainya itu. Ia memandang pemberian yang di tangannya.
00023. 24. Sangat kecil jumlahnya kalau dibandingkan dengan pemberian orang orang di sekelilingnya, meski pun demikian itulah semuanya yang ada padanya. Sambil menunggu kesempatannya, ia lekas lekas memasukkan duit dua keping yang ada padanya, dan berbalik lekas lekas hendak pergi. Tetapi dalam berbuat demikian matanya bertemu dengan mata Yesus, yang tertatap benar benar kepadanya.
00024. 25. Matius 6:1 "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.
00025. 26. Matius 6:2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
00026. 27. Matius 6:3 Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. 6:4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
00027. 28. Jadilah seperti seekor Penyu yang sembunyi-sembunyi ketika bertelur puluhan butir, jangan seperti ayam yang berkotek setelah menelurkan hanya 1 butir telur.
00028. 29.  BIARLAH ORANG LAIN MENGETAHUI KEBAIKANMU Filipi 4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!
00029. 30.  BIARLAH ORANG LAIN MENGETAHUI KEBAIKANMU Filipi 4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!
00030. 31.  BIARLAH ORANG LAIN MENGETAHUI KEBAIKANMU Matius 5:14,16 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi… Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."
00031. 32.  ALLAH MENGHARGAI SETIAP PEMBERIAN SEJATI Kewajiban kecil yang dikerjakan dengan gembira, pemberian kecil yang diberikan bukannya dengan sikap pertunjukan, dan yang pada pemandangan manusia mungkin kelihatan tidak berharga, sering berdiri paling tinggi pada pemandangan-Nya. Hati iman dan kasih lebih disayangi Allah daripada pemberian yang paling mahal.
00032. 33.  ALLAH MENGHARGAI SETIAP PEMBERIAN SEJATI Jika diberikan dari hati yang dipenuhi dengan kasih bagi Allah, uang yang tampaknya tidak berarti ini menjadi pemberian yang disucikan, persembahan yang tidak ternilai harganya, yang disambut Allah dengan senyum dan diberkati Nya.
00033. 34.  SIAPA YANG MENABUR BERKAT, AKAN MENUAI BERKAT Ketika Yesus mengatakan tentang janda itu, Ia "sudah memasukkan lebih daripada sekaliannya," perkataan Nya benar adanya, bukan saja tentang motif, melainkan tentang akibat pemberiannya. "Duit dua keping" telah membawa ke dalam perbendaharaan Allah suatu jumlah uang yang jauh lebih besar daripada sumbangan orang Yahudi yang kaya. Pengaruh pemberian yang kecil itu sudah menjadi bagaikan suatu sungai, yang kecil saja pada mulanya, tetapi makin lebar dan makin dalam sementara sungai itu mengalir sepanjang zaman.
00034. 35.  SIAPA YANG MENABUR BERKAT, AKAN MENUAI BERKAT Dalam seribu jalan pemberian itu telah menyumbang untuk meringankan tanggungan orang miskin serta penyebaran Injil. Teladannya dalam hal pengorbanan diri telah mempengaruhi dan mempengaruhi kembali beribu ribu hati di tiap negeri dan di tiap zaman. Hal itu telah menarik perhatian orang kaya dan orang miskin, dan persembahan mereka telah mempertinggi nilai pemberiannya. Berkat Allah ke atas duit janda itu telah menjadikannya sumber dari hasil yang besar. Demikian juga halnya dengan setiap pemberian yang diberikan dan setiap perbuatan yang dilakukan dengan kerinduan yang sungguh sungguh untuk kemuliaan Allah. Hal ini dihubungkan dengan maksud yang Maha Kuasa. Akibatnya untuk kebaikan tidak dapat diukur oleh seorang jua pun.
00035. 36. 2 Korintus 9:6 Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.
00036. 37. Hosea 8 8:7 Sebab mereka menabur angin, maka mereka akan menuai puting beliung;
00037. 38. Lukas 6:35 Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. 9. Berikanlah dengan ikhlas, jangan mengharapkan imbalan
00038. 39. Berikanlah dengan ikhlas, jangan mengharapkan imbalan 2 Korintus 9:7 Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.
00039. 40. Amsal 11:25 Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.
00040. 
KEBAIKAN ALLAH
(Roma 11:36)
Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
Di telinga kita nama Samuel Morse mungkin tidak asing, sebab karya-karyanya tidak dapat terlupakan sampai sekarang. Suatu saat ketika Samuel Morse ditanya, apakah pernah berhadapan dengan situasi di mana ia sama sekali tidak tahu apa yang harus diperbuat? Dia menjawab, "Ya, saya pernah berhadapan dengan situasi seperti itu, dan bukan hanya sekali. Dan jika saya tak dapat melihat jalan atau jawaban secara jelas, saya akan berlutut dan berdoa memohon terang, pengertian dan jalan dari Tuhan."
Morse menerima banyak penghargaan oleh karena penemuan-penemuannya di bidang telegraf. Namun ia selalu dengan rendah hati berkata, "Saya telah membuat applikasi berharga di dunia telegraf, namun itu bukan karena saya lebih baik, lebih hebat dari orang lain, tapi karena Tuhan dalam rencana-Nya untuk umat manusia, harus merevelasikan hal tersebut lewat seseorang. Tuhan telah memilih untuk menyatakannya kepada dunia lewat diriku." Morse mengerti semua keberhasilannya hanyalah karena kebaikan Allah.
Mungkin kita tidak seperti Samuel Morse yang Allah berikan kemampuan di bidang telegraf dan karya-karya lainnya, namun kita juga diberikan hal-hal lainnya dari kebaikan Allah. Keberadaan kita saat inipun karena kebaikan Allah yang terus menerus bekerja dalam hidup ini. Sangat disayangkan banyak orang tidak mengerti hal ini, sehingga menganggap segala sesuatu yang didapatnya karena kekuatan dan kesanggupannya. Mungkin Allah belum mengizinkan kegagalan menghampiri, sehingga ada orang yang begitu sombong dan mengabaikan kebaikan Allah atas hidupnya.
Kebaikan Allah tidak dapat diukur dengan apa saja yang kita miliki dan tidak dapat dibanding-bandingkan dengan orang lain. Namun kebaikan Allah selalu cukup bagi kita. Sadarilah keberadaan kita saat ini adalah karena kebaikan Allah yang telah dikerjakan-Nya dengan penuh kasih. Bagi mereka yang selalu menyadari kebaikan Allah, pasti akan selalu berkata: "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya." Mari kita gunakan segala kebaikan Allah dalam hidup ini untuk kemuliaan nama-Nya. (aa)
Doa: "Sungguh Engkau adalah Allah yang baik. Hidupku, nafasku, keluargaku, pekerjaanku, kecukupanku, kesehatanku,semua boleh ada karena kebaikan-Mu semata ya Tuhan. Amin."

Dari Dia, Oleh Dia dan Kepada Dia

Roma 11:36
Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
Segala sesuatu ditujukan untuk kemuliaan Allah, itulah yang dinyatakan dalam Roma 11:36 di atas. Hanya dari Tuhan, oleh Tuhan dan kepada Tuhanlah kemuliaan. Hasil akhir dari hidup kita adalah untuk memuliakan Dia.
Paulus menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Itu artinya bahwa Tuhanlah sumber dan juga alasan segala sesuatu ada dalam kehidupan ini. Lalu ahirnya, segala sesuatu bagi Dia. Dia adalah tujuan akhirnya, karena segala sesuatu kembali kepadanya dan untuk memuliakan Dia selamanya.
Hal ini sangat penting untuk kita mengerti, karena jika tidak maka hidup kita akan keluar dari kehendak Allah. Saat kita salah memahami, maka tujuan hidup kita bukanlah Tuhan, sebaliknya tujuan kita adalah memuliakan diri sendiri, mencapai kesuksesan pribadi, menggenapi obsesi diri, yang pada akhirnya membuat kita tidak mengalami kepuasan, sebaliknya hanya merasakan kekosongan yang mendalam.
Satu-satunya pribadi yang bisa mengisi kekosongan dalam hidup kita hanyalah pribadi Tuhan yang kita panggil dalam nama Yesus Kristus. Dialah tujuan hidup kita, untuk Dialah kita ada dan hidup.
Jika kita menetapkan tujuan hidup hanya untuk mencapai visi dan ambisi pribadi kita, maka target itu terlalu rendah. Manusia tidak dirancang dan diciptakan untuk hal itu, kita dirancang untuk hidup menggenapi tujuan Ilahi, untuk memuliakan Dia. Itulah yang seharusnya menjadi tujuan seluruh mahluk, untuk menyatakan kemuliaan Allah dan untuk memuliakan Dia. 
Apakah hidup kita dan apa yang kita lakukan sudah seperti yang Tuhan mau? Diri kita diciptakan oleh-Nya untuk menyatakan kemuliaan Tuhan dan untuk memuliakan Dia melalui segenap aspek hidup kita. 

 Persembahan Yang Hidup

Persembahan adalah istilah yang tidak asing bagi kita dan salah satu aktivitas yang sering kita lakukan sebagai orang yang beriman. Mungkin karena sudah terlalu sering kita dengar dan kita lakukan , bisa saja menjebak kita kepada sebuah rutinitas dan kehilangan makna yang sesungguhnya. Mingu ini kita diingatkan lagi tentang persembahan yang benar dan yang berkenan bagi Tuhan.

Roma 12: 1-2 akan menuntun kita kepada persembahan yang benar,
1. Motivasi dalam memberikan persembahan
Motivasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dengan tujuan tertentu. Paulus sangat menekankan pengajarannya tentang motivasi dalam memberikan peresembahan, karena motivasi membrikan persembahan dapat menggeser makna persembahan itu sendiri. Jika motivasi memberikan persembahan supaya mendapatkan pemberian yang lebih banyak lagi, maka persembahan itu bukan lagi menjadi persembahan tetapi menjadi alat “penyogokan”, jika memberi persembahan tujusannya supaya orang memuji dan mengatakan kita orang saleh, maka persembahan itu menjadi alat unruk “membeli” pujian dan perhatian orang, jika motivasi kita memberikan persembahan karena tutntutan “aturan” maka persembahan itu berubah maknanya menjadi membayar.

Paulus mengatakan motivasi yang benar memberikan persembahan adalah “demi kemurahan Allah”, artinya kita memberi persembahan karena Tuhan telah meberikan kemurahan-Nya kepada kita, bukan untuk mendapatkan berkat yang lebih banyak (bukan seperti orang memancing, diberikan umapan lebih besar untuk mendapatkan ikan yang lebih besar). Kata “demi” , artinya ada aksi dan ada reaksi, Allah memperlihatkan aksi/tindakan-Nya memberikan kemurahan dan manusia memberikan reaksi/sikap. Sikap yang benar merespons kemurahan/kebaikan/pemberian adalah rasa syukur. Persembahan yang benar dilandasi denagn rasa sukur. Persembahan adalah pertemuan atara Allah sebagai pemberi (beraksi) dengan manusia yang menerima pemberian, merupakan pertemuan sukacita yang luar biasa, sehingga orang mendevinisikan “Persembahan/ibadah” adalah “Aksi dan celebration” atau dengan kata lain pertemuan dengan yang di sembah dengan penyembah.

2. Sikap Dalam Memberikan Persembahan
Motovasi memberikan persembahan akan berdampak pada sikap dalam memberikan persembahan. Motivasi Kristiani dalam memberikan persembahan adalah mengucap syukur terhadap kemurahan Allah. Pertemuan antara yang di sembah dan penyembah. Persembahan kata dasarnya adalah “sembah” menurut kamus artinya adalah : Pernyataan hormat dan khidmat (dinyatakan dengan cara menangkupkan keduabelah tangan, yang dikatakan juga dengan menyusun jari 10, lalu diangkat keatas sampai ke bawah dagu dan juga keatas dahi atau dengan menyentuhkan ibu jari ke hidung atau ke dahi). Persembahan adalah pemberian kepada yang terhormat, mulia dan agung, pencipta segala sesuatu yang telah meberikan keselamatan kepada manusia. Jadi sikap yang tepat dalam memberikan persembahan adalah dengan sikap yang hormat dan kagum kepada Tuhan.

3. Wujud Persembahan Yang Berkenan Bagi Tuhan
Persembahan yang berkenan bagi Tuhan bukan ibadah tanpa roh(sermonial atau rutinitas) bukan materi tanpa hati, bukan tubuh tanpa jiwa (spirit), tetapi yang Tuhan mau adalah tubuh sebagai persembahan yang hidup. Tubuh yang tidak ternoda oleh kata dan perbuatan yang tercela, tetapi tubuh tempat bersemayamnya Roh Tuhan yang terus berpikir, bertindak dan berbicara dalam kebenaran dan kekudusan. Tubuh yang mempunyai keinginan tulus iklas untuk menyenangkan hati Allah dalam kasih dan pengabdian. Tubuh yang mau melakukan pelayanan, menolong dan meringankan beban-beban kehidupan. Tubuh yang berkerja dan ada di tengah-tengah dunia tetapi tidak sama dengan dunia ini, tubuh yang lahir dari pembaharuan akal budi, tubuh yang didiami oleh akal budhi yang tahu membedakan mana kehendak Allah dan apa yang baik dan yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

4. Persembahan Yang Hidup
Persembahan yang hidup, ada dua hal yang mungkin bisa membantu kita untuk mengerti apa yang di maksud dengan persembahan yang hidup, yaitu :
Ø Persembahan materi
Tuhan mau persembahan yang hidup bukan yang mati, artinya walaupun kita memberikan persembahan berupa materi (benda mati) harus dilandasi dengan gejolak hati yang penuh rasa syukur akan kemurahan Tuhan, itu juga akan menjadi persembahan yang hidup. Ketika kita memberikan persembahan berupa materi tetapi tidak dilandasi oleh “rasa” syukur kepada Tuhan, atau pun ketika kita membrikan persembahan hanya karena rutinitas, atau karena kewajiban (aturan) maka materi itu akan tetap menjadi persembahan yang mati.
Ø Persembahan Tubuh
Ada sebuah ilusterasi tentang persembahan yang hidup yaitu tentang “Sapi dan Babi”, didalam ilustrasi itu di gambarkan bahwa Sapi merupakan binatang yang sungguh mengabdikan hidupnya untuk tuannya, mulai dari tenaganya, susunya dan sampai matinya dia berguna untuk tuannya, berbeda dengan babi kegunaannya yang jelas ketika dia mati....
Artinya yang dikatakan dengan persembahan yang hidup adalah menyerahkan kehidupan (totalitas) kepada Tuhan, syair lagu Sekolah Minggu....hati-hati gunakan tanganmu..... hati-hati gunakan kakimu...matamu.....lidahmu....kupingmu (telingamu), penggunaan semua organ tubuh ini harus dilandasi dengan pembaharuan akal budi, dan tidak dapat juga di pungkiri bahwa cara kita menggunakan panca indra kita akan mempengaruhi akal budi kita....sehingga di ayat yang ke-2, Paulus sangat jelas menekankan supaya kita tidak serupa dengan dunia ini oleh pembaharuan akal budi.




ROMA 12:1-2 PERSEMBAHAN YANG BENAR

Roma 12:1-2 merupakan nasehat-nasehat khusus, di dalamnya kita seakan-akan menemukan' garis merah' kehidupan Kristen. Yaitu etika Kristen dalam kehidupan seorang Kristen yang merupakan sambutan atas kemurahan Allah terhadap dirinya:

* Roma 12:1-2
12:1 LAI TB, Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
KJV, I beseech you therefore, brethren, by the mercies of God, that ye present your bodies a living sacrifice, holy, acceptable unto God, which is your reasonable service. 
TR, παρακαλω ουν υμας αδελφοι δια των οικτιρμων του θεου παραστησαι τα σωματα υμων θυσιαν ζωσαν αγιαν ευαρεστον τω θεω την λογικην λατρειαν υμων
Translit interlinear, parakalô {aku menasehatkan} oun {karena itu} humas {kalian} adelphoi {hai saudara2} dia {dengan} tôn oiktirmôn {demi belas kasihan} tou theou {Allah} parastêsai {untuk mempersembahkan (kurban)} ta sômata {tubuh2} humôn {kalian} thusian {sebagai kurban} zôsan {yang hidup} hagian {yang kudus} euareston {yang menyenangkan} tô theô {bagi Allah} tên logikên {yang sejati/ rasional/rohani} latreian {(itu adalah) ibadah/ penyembahan} humôn {kalian}

12:2 LAI TB, Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
KJV, And be not conformed to this world: but be ye transformed by the renewing of your mind, that ye may prove what is that good, and acceptable, and perfect, will of God. 
TR, και μη συσχηματιζεσθε τω αιωνι τουτω αλλα μεταμορφουσθε τη ανακαινωσει του νοος υμων εις το δοκιμαζειν υμας τι το θελημα του θεου το αγαθον και ευαρεστον και τελειον
Translit interlinear, kai {lalu} mê {janganlah} suskhêmatizesthe {kalian dijadikan serupa} tô aiôni {dengan dunia} toutô {ini} alla {tetapi} metamorphousthe {kalian diubah} tê anakainôsei {oleh pembaharuan} tou noos {pemikiran/ akal budi} humôn {kalian} eis {sehingga} to dokimazein {kengetahui/ menyetujui} humas {kalian} ti {apa} to thelêma {kehendak} tou theou {Allah} to agathon {yang baik} kai {dan} euareston {yang disenangi (Allah)} kai {dan} teleion {sempurna}

Ayat 1:

Ajakan dan ajaran Paulus mengenai kehidupan Kristen dibukanya dengan berkata: "saudara-saudara... aku menasihatkan kamu ..." Kata-kata pembukaan yang sama kita temukan pula dalam 1 Korintus 1:10; 2 Korintus 10:1; Efesus 4:1, dll. Sapaan 'saudara-saudara' biasa dipakai Paulus bila ia mulai membicarakan perkara yang dianggapnya penting (bandingkan Roma 10:1; 11:25; 15:30). Menyusullah isi nasihat Paulus: supaya kamu mempersembahkan tubuhmu. Perkataan Yunani paristēmiberkaitan dengan suasana lingkungan istana: menyediakan, mengabdikan kepada raja. Di ayat ini paristēmi merupakan istilah peribadatan dari lingkungan bait Allah: mempersembahkan (kurban). Artinya itu ditegaskan oleh pemakaian 'persembahan' (kurban). 

Yang harus dipersembahkan kepada Allah itu ialah tubuhmu. Yang dimaksud tentu bukan bahwa orang percaya harus menyerahkan tubuhnya untuk dibunuh, sebagaimana kadang-kadang terjadi dalam lingkungan agama lain. Bukanjuga bahwa mereka wajib menyiksa diri supaya bertambah suci. Atau bahwa mereka, pada masa gereja mengalami penindasan dari pihak pemerintahan, harus mengadukan diri kepada pihak berwajib sebagai orang Kristen agar dengan demikian memperoleh kedudukan martir. Memang apakah yang dapat orang lakukan seandainya tidak punya tubuh? Untuk berbicara ia butuh mulut. Untuk mendengar orang lain bicara, telinga. Untuk melihat, mata. Untuk berpikir, otak. Dan seterusnya. 

Maka inilah yang hendak Paulus katakan di sini. Seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan, pokoknya seluruh kemampuan dan kegiatan kita, harus dipersembahkan kepada Tuhan. Hal itu membawa kita pada beberapa pertimbangan: 
Pertama, bahwa 'mempersembahkan' berarti penyerahan total. Kita tak dapat menyisihkan sebagian untuk dipegang sendiri atau diserahkan kepada pihak lain (bandingkan Kisah 5:1 dyb.). Pun, kurban itu harus bersifat sempurna (bandingkan kata-kata 'tidak bercela' yang berkali-kali dipakai dalam Kitab Imamat). 
Kedua, bahwa selain 'tubuh' itu tak ada kurban lain yang harus dipersembahkan orang Kristen. Dalam dunia abad pertama Masehi. orang membawa berbagai kurban. Orang Kristen tidak dapat lagi turut membawanya. Kalau kurban agama kafir, mereka tak dapat turut lagi karena ilah-ilah kafir bukan ilah, melainkan kesiasiaan (1 Korintus 8:4-6). Dan kalau ibadah dalam bait Allah di Yerusalem, bagi orang Kristen ibadah itu pada asasnya sudah tidak berlaku. Karena Allah sendiri telah menyediakan kurban yang mencegah murka-Nya, yaitu Kristus, dan kurban itu, yaitu kematian Kristus, sudah cukup untuk selama-lamanya. Persembahan itu sudah tidak diperlukan lagi (lihat artikel Propisiasi – Penebusan, di propisiasi-penebusan-vt1472.html#p5231 ).

Maka, bukanpemberian kita yang Tuhan kehendaki, tetapi Dia menghendaki kita sendiri. Oleh karena itu juga persembahan itu disebut persembahan hidup
Perkataan hidup Itu dipakai bukan karena kita sendiri memang hidup, bertentangan dengan hewan kurban yang mati. (Hewan yang diserahkan untuk.menjadi milik Tuhan, lalu disembelih memang masih hidup juga.) Tetapi perkataan 'hidup' dipakai di sini dengan arti yang sama seperti mlsalnya dalam Roma 6:4: 'yang hidup dalam hidup yang baru'. Hidup yang baru Itu dibangkitkan oleh Roh Kudus (Roma 8:11). Dan karena orang percaya hidup bagi Allah, mereka 'telah mati bagi dosa' (Roma 6:11). Jadi, 'persembahan yang hidup' adalah penyerahan diri kita untuk menempuh kehidupan baru, yang menjauhi dosa dan menentang kuasa dosa itu. 

Persembahan itu disebut juga kudus. Dengan demikian diungkapkan bahwa 'tubuh (= kehidupan) kita bukan lagi milik kita sendiri. Sebab 'mempersembahkan kurban' berarti kurban itu diserahkan menjadi milik Allah (atau dalam agama lain: dewa). Kalau misalnya dalam PL orang makan daging persembahan (bandingkan misalnya Imamat 10:12 dyb.), orang tidak menganggap daging itu sebagai miliknya sendiri. Sebaliknya, perjamuan itu merupakan persekutuan dengan Tuhan, sedangkan manusia seakan menjadi tamu-Nya. Maka, kalau orang percaya 'mempersembahkan tubuhnya' kepada Allah, hal itu berarti bahwa seluruh kehidupan mereka adalah milik Tuhan. Untuk seterusnya mereka harus minta kepada-Nya apa kehendak-Nya mengenai kehidupan mereka. Dengan demikian perkataan ' kudus' itu mencakup pula arti ' suci'. Maka kekudusan (kesucian) itu bukan bahan jadi, yang kita peroleh dan untuk seterusnya kita miliki. Di tempat lain, Paulus memakai pula istilah hagios (kudus). Seorang Kristen harus berupaya terus hidup semakin sesuai dengan kehendak Dia yang menjadi pemiliknya, tuannya. Dengan demikian juga persembahannya menjadi berkenan kepada Allah. Hal serupa dikatakan pula dalam Roma 14:18; 2 Korintus 5:9 dan lain-lain tempat.

Akhirnya Paulus menulis: "itu adalah ibadahmu yang sejati." Dalam bahasa Yunani: logike latreia. Kata λατρεια - latreia dalam bahasa Yunani umum berarti 'pengabdian', dan kalau dipakai dalam hubungan dengan dewa-dewa bermakna "ibadah'. 
"Ibadah" dalam arti seluas itu juga dimiliki istilah Ibrani yang dalam Perjanjian Lama (PL) berbahasa Yunani diterjemahkan dengan latreia, yaitu עֲבֹדָה - 'ABODAH (yang serumpun dengan bahasa Arab yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia 'ibadah'). Maka apa yang dikatakan Paulus di sini berakar dalam Perjanjian Lama. Di sana pun 'Ibadah dalam arti khusus (ibadah dalam bait Allah) tidak dapat dilepaskan dari 'ibadah' dalam arti umum (ketaatan dalam seluruh kehidupan). Demikian halnya dari sudut bahasa: "'ABODAH serumpun dengan עָבַד - 'ABAD, 'mengabdi'. Demikian pula dari sudut isinya: dalam hukum Taurat dan Kitab-kitab para Nabi ibadah dalam bait Allah merupakan titik pusat ibadah dalam arti umum, yaitu ketaatan pada perintah-perintah Tuhan dan pengabdian kepada-Nya. Dalam Perjanjian Baru ibadah dalam bait Allah tidak ada lagi. Yang tinggal justru ketaatan dan pengabdian itu. Itulah persembahan hidup dan kudus' yang dipersembahkan orang percaya. 

"Yang sejati" diterjemahkan dari kata Yunani λογικος – logikos, ini tidak terdapat dalam PL bahasa Yunani. Dalam PB, selain di sini.kita hanya menemukannya dalam 1 Petrus 2:2. Di sana artinya agak dekat dengan πνευματικος – pneumatikos, 'rohani'.

Catatan :
Dalam bahasa Yunani λογικος – logikos merupakan istilah filsafat. Arti harfiahnya 'sesuai akal budi. Tetapi khususnya dalam aliran Stoa, logikos berarti 'apa yang sesual dengan kodrat alam semesta', yaitu dengan sang Logos yang menjiwai dan mengatur alam semesta itu. Logos ilahi itu hadir pula dalam diri manusia. Maka jika manusia membiarkan Logos itu mengendalikan kehidupan dirinya, hidupnya logikos. yaitu sesuai dengan logos yang menguasai alam semesta. 

Dalam mistik helenistis logikos mendapat arti 'batiniah' sesuai dengan kodrat rohani manusia, sehingga menjadi lawan 'lahirlah' (yang lahiriah ialah persembahan kurban. upacara upacara dsb.). Dalam lingkungan mistik itu dipakai istilah logikê thusia, 'persembahan budiman'. Penulis Yahudi Philo menerima arti itu dan mempertentangkan sikap logikosdengan sikap yang hanya mementingkan persembahan lahiriah. Namun demikian janganlah mengaitkan bahwa Paulus sedang mengajarkan sesuatu hal yang bersifat helenistis sebagaimana Philo dalam tulisan-tulisannya. Philo, meskipun beberapa karyanya bersifat theologis, namun ada banyak pemikiran-pemikirannya tercampur dengan helenisme yang tidak dapat diterima kalangan Yahudi. Yang menjadi pusat dalam pengertiannya, baik tentang alam semesta maupun tentang pengalaman agama ialah pikiran tentang λογος – "LOGOS" (kata, firman, kalam, logika), suatu istilah yang berasal dari golongan Stoiki.

Pengertian λογος – "LOGOS" dalam Kristianitas (misalnya dalam Yohanes 1:1, dan tulisan Rasul Paulus ini) berbeda dengan pola pikir helenistis. Rasul Yohanes, penulis Injil, datang kepada orang Yunani dan mengatakan: "Selama berabad-abad kalian telah berpikir, menulis, dan bermimpi tentang 'logos', yaitu kekuatan yang telah menjadikan dunia, dan menjaga keteraturan dunia; kekuatan yang dipakai oleh manusia untuk berpikir, menalar dan mengetahui sesuatu; kekuatan yang dipakai manusia untuk berhubungan dengan Allah. Yesus Kristus adalah 'logos' tersebut, yang datang ke bumi, 'logos' itu telah menjadi daging." Dengan perkataan lain, "pikiran Allah telah menjadi seorang pribadi." Kepada orang-orang Yahudi dan Yunani itu, Rasul Yohanes memberitahukan, bahwa pikiran Allah yang menopang, mengendalikan, memberikan terang dan menciptakan itu telah datang ke bumi di dalam Yesus Kristus. Ia memberitahu mereka, bahwa manusia tidak perlu lagi menduga dan meraba-raba; yang mereka perlu lakukan hanyalah melihat kepada Yesus Kristus, dan dengan demikian mereka dapat melihat pikiran Allah.
Note, lihat artikel terkait :

Kembali kepada istilah logikos dalam ayat 1 ini. Sekarang, kita dapat bertanya: apakah logikos di sini memang mengandung arti khusus 'batiniah', 'rohani'? Istilah logikos muncul juga dalam 1 Petrus 2:2. Di situ logikos agaknya berkaitan dengan λογος – logos (firman) dalam 1 :23 dan 2:8, sehingga menyandang arti 'sesuai dengan firman'. Begitu juga di sini bila menentukan arti logikos kita harus memperhitungkan dekatnya perkataan 'tubuh'. Agak ganjil kalau Paulus memakai istilah logikos, dalam arti 'batiniah', kalau baru saja ia anjurkan kepada orang percaya agar mereka menyerahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup dan seterusnya. Anjuran itu sama sekali bertentangan dengan ajaran Stoa, yang justru mengajak orang bersikap acuh-tak-acuh terhadap segala hal jasmani dan menjadikan batin sebagai benteng pertahanannya. Karena itu juga, ayat 12:1b ini tidak boleh kita anggap sebagai penolakan segala macam upacara dalam bentuk apa pun. Pertentangan yang ditandai oleh istilah logikos bukan: 'lahir-batin', atau 'upacara ibadah-kehidupan sehari-hari' , melainkan: 'sesuai dengan kehendak Allah-tidak sesuai dengan kehendak Allah' ('hidup', 'kudus'!). Maka sebaiknya di sini kita memilih terjemahan yang sesuai dengan arti umum tersebut tadi bahwa logikos ini bermakna 'sejati' (LAI).

Ayat 2:

'Persembahan tubuh' dan' ibadah' yang disebut dalam ayat 1 memiliki segi negatif dan segi positif. Segi negatifnya ialah orang Kristen tidak boleh lagi membiarkan pola hidup mereka ditentukan oleh dunia. Menurut terjemahan harfiah: 'jangan lagi biarkan dirimu menjadi sepola dengan dunia ini'. 'Dunia' merupakan terjemahan αιων – aiôn (lihat artikel study kata di aion-abad-atau-dunia-studi-kata-dari-perjanjian-baru-yuna-vt160.html#p337 ), bandingkan 'eon' dalam Kamus Besar. Artinya 'masa yang sangat panjang', 'masa hidup dunia'; dari situ 'dunia', bandingkan misalnya 1 Korintus 1:20 dan 2:6. Tetapi dalam Alkitab kita menemukan pula pandangan yang berakar dalam apokaliptik Yahudi, yaitu bahwa ada dua 'eon'. Eon yang satu sedang berlangsung sekarang, yang lain akan datang. Yang satu dikuasai dosa, kerusakan, kematian; yang lain ditandai oleh kesempurnaan, kehidupan. Dalam Roma 12:2 ini tambahan ini menunjukkan bahwa 'eon' dipakai dengan arti tersebut terakhir. Maka kita dapat saja memakai terjemahan 'dunia', asal istilah 'dunia' mengandung arti 'dunia yang dikuasai dosa dan ketidaksempurnaan'. Di sini kita hadapi pertentangan yang sama seperti dalam Roma 5:12-21, yaitu antara zaman dosa berkuasa den.gan zaman kasih karunia berkuasa. Jadi, kata-kata janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini tidak boleh ditafsirkan seakan-akan orang percaya diajak menjauhi dunia. dalam arti kenyataan jasmani Yang dimaksud di sini bukanlah anjuran beraskese (bertapa). Sekali lagi, tafsiran semacam itu dicegah oleh dekatnya perkataan 'tubuh' dalam ayat 1.

Dilihat dari segi positif, anjuran Paulus berbunyi: 'berubahlah oleh pembaharuan budimu'. Atau, menurut terjemahan yang mungkin lebih tepat, 'biarlah rupamu diubah terus' 'Rupa' itu bukan hanya segi manusia yang lahiriah. Sebagaimana tampak dalarn Filipi 3:21, baik 'pola' maupun 'rupa' bagi Paulus menganjung pengertian: wujud, yang menunjukkan hakikat Maka perubahan yang diharapkan dari orang percaya Itu bukan hanya perkara lahiriah saja. Yang diharapkan ialah perubahan hati. yang terwujud dalam seluruh kehidupan. 

Perubahan itu berlangsung oleh pembaharuan budimu. Perkataan Yunani νους – nous, yang di sini diberi terjemahan 'budi', muncul juga dalam Roma 1:28, dalam 7:23 dan 25, dan haru saja dalam 11:34. Di situ LAI memakai terjemahan 'pikiran' atau 'akal budi'. Agaknya di sini 'budi' dipilih karena dalam hubungan ini artinya memang perubahan kelakuan manusia. bukan perubahan pikirannya saja, Yang dimaksud ialah pusat kemauan kita, yang mengambil keputusan-keputusan yang menentukan tindakan kita (bandingkan Amsal 4:23). Pusat itu perlu dibarui. Telah kita lihat bahwa pembaruan hidup dikerjakan oleh Roh Kudus (7:6; 8:4). Namun, di sini manusia sendiri juga diajak membarui diri. 

Bagian kedua ayat ini menyebut hasil pembaruan budi. Tujuannya ialah sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah. Kata kerja Yunani dokimazein berarti: memeriksa, menguji. Ternyata kehendak Allah tidak dengan sendirinya jelas, karena dua alasan:
Pertama, karena dalam kehidupan sehari-hari seorang Kristen dihadapkan dengan berbagai keadaan. Sering sulit baginya untuk begitu saja menentukan sikapnya. Apalagi pada masa kini, dengan perkembangan teknologi yang cepat di berbagai bidang, orang Kristen tidak begitu saja dapat menentukan apakah la boleh menggunakan anekaragam sarana mutakhir. Kita dapat membayangkan perkembangan di bidang medis, atau di bidang teknologi nuklir (masih terlepas dari soal persenjataan). Dalam semua hal itu diperlukan penimbangan matang sebelum kita dapat menentukan (itu pun dengan hati-hatil) manakah kehendak Allah. 
Kedua, kita diajak mengusahakan 'budi' kita dalam mencari kehendak Allah, karena Alkitab bukanlah kitab hukum. Alkitab tidak menyajikan kepada kita seperangkat peraturan yang menunjuk jalan kepada orang Kristen sekaligus mengikat mereka. Sebab Injil tidak merupakan hukum yang haru, tetapi justru memberi kita kebebasan anak-anak Allah (Roma 8:15,21).

Kita mencatat lagi bahwa anjuran ini diarahkan oleh Paulus kepada setiap anggota jemaat di Roma (bandingkan ayat 3). Jadi, kita boleh menganggapnya diarahkan kepada setiap orang Kristen. Bukan pendeta, atau penatua, atau sinode, atau uskup, yang harus menentukan 'manakah kehendak Allah' , lalu menurunkan keputusannya ke jemaat. Anggota-anggota jemaat tidak boleh malas menunggu petunjuk 'dari atas'. Setiap orang percaya dipanggil dan diperbolehkan mempertimbangkan sendiri kehendak Allah. 

Hanya, dengan demikian kita tidak boleh mengabaikan seginya yang lain, yaitu bahwa anjuran ini diarahkan oleh Paulus kepada setiap anggota jemaat di Roma. Orang-orang Kristen bukan individu-individu yang hidup sendiri-sendiri. Mereka merupakan satu tubuh (ayat 4!). Maka dalam mencari kehendak Allah pun mereka akan berkumpul, dan saling meminta nasihat. Itulah juga antara lain makna sidang majelis dan sidang sinode. Tinggal kita tafsirkan tiga kata yang dipakai Paulus umuk merinci kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Mungkin kita anggap luapan kata-kata ini agak berlebihan. Tetapi agaknya dalam jemaat Roma ada yang cenderung mengutamakan kebebasan orang percaya tersebut di alas begitu rupa, sehingga mereka tidak mau lagi terikat pada aturan aturan bagi kelakuan mereka Berhadapan dengan orang seperti itu perlu dipentingkan bahwa melakukan kehendak Allah adalah melakukan 'yang baik'. Dari Galatia 6:10 dan I Tesalonika 5: 15 kita tahu bahwa 'yang baik ' itu ialah perbuatan yang sederhana dan sangat konkret: menolong orang yang berkebutuhan, mengampuni mereka yang bersalah kepada kita. Dalam ayat 9 dyb. Paulus merinci lagi apa 'yang baik' itu. 

Dengan menambahkan yang berkenan kepada Allah, Paulus menjelaskan sekali lagi apa itu 'yang baik'. Yang baik itu bukanlah asas abstrak, tetapi menyatakan diri dalam pergaulan antara seorang percaya dengan Allah. Pergaulan itu menuntut pengabdian sepenuhnya. Itulah makna kata-kata yang sempurna. Sebagaimana dikatakan dalam Markus 12:30-31 "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu .... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri...." Perkataan 'sempurna' ini menentukan arti 'yang baik' dan juga arti 'yang berkenan'. Yang baik dan berkenan itu bukanlah sesuatu yang dapat kita jangkau, yang dapat kita anggap telah terlaksana (bandingkan Matius 5:48). Sebaliknya kesempurnaanNya merupakan tujuan yang selalu harus kita kerjar.


Kesimpulan :

Roma 12:1-2 menggunakan istilah yang dipakai dalam Perjanjian Lama (PL), dan mengingatkan kita bahwa orang-orang percaya Yahudi mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan di dalam peribadatan mereka. Tetapi kita, orang-orang Kristen, sebaliknya daripada mempersembahkan sesuatu di luar diri kita, harus mempersembahkan tubuh kita sendiri kepada Allah sebagai Kurban yang hidup, kudus dan yang berkenan (pantas). Yang dimaksudkan adalah sesuatu pelayanan rohani yang melibatkan seluruh kemampuan nalar kita yang sejati (logikos). Karena termasuk dalam pengabdian kita, maka orang-orang percaya harus berhenti menjadi serupa dengan dunia ini dan membiarkan diri kita berubah oleh pembaharuan budi kita (νους – nous). Pembaharuan dan perubahan semacam ini harus kita buktikan dengan menyelidiki kehendak Allah yaitu mana yang baik dan yang berkenan kepada Allah yang sempurna.
A. PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN

I. Pendahuluan

Pada rubrik ini kami atas nama PHMJ mengucapkan terima kasih atas masuknya informasi dan pertanyaan warga GKJW jemaat Mojoagung seputar persembahan. Dari beberapa informasi kami merasa perlu untuk memberikan tanggapan atau jawaban. Kami berterima kasih kepada warga jemaat yang dengan ketulusannya telah membuka kesempatan untuk saling mengisi pengetahuan. Dalam kesempatan ini kami sengaja akan memulai dengan pemahaman sebelum masuk pada inti beberapa pertanyaan terkait. Semoga melalui tulisan kami ini, segenap warga jemaat semakin tahu dan faham sehingga memiliki dasar-dasar yang tepat dalam berpartisipasi untuk gereja Tuhan di GKJW jemaat Mojoagung.

II. Landasan Historis Tentang Persembahan

Budaya persembahan sesungguhnya sudah ada jauh sebelum terbentuknya bangsa “pilihan” yang mengenal Tuhan. Sejak jaman kuno, manusia telah mengenal tanggungjawabnya untuk memberikan sebagian dari harta miliknya kepada Allah. Bahkan agama kafir pun melaksanakan kebiasaan ini. Catatan yang diperkirakan berasal dari tahun 3000 SM, menunjukkan bahwa orang-orang Mesir memberikan persepuluhan dari hasil jarahan perang mereka kepada dewa-dewa yang mereka sembah. Firaun dan banyak  di antara orang-orang mereka setiap tahun memberikan buah sulung dari hasil panen mereka ke kuil mereka. pada hari-hari raya, mereka memberikan persembahan dalam bentuk permata yang sangat berharga, buah-buahan, sayur-mayur, hasil buruan, garam, madu, bahkan bir dan anggur. ( bdk. Kej. 43 : 11 )
Persembahan adalah ucapan terimakasih dan penghormatan kepada yang telah menolong. Bentuk persembahan tidak dibatasi, namun sesuai yang telah didapat atau dimiliki. Persembahan dibawa dan diberikan sesuai yang dimiliki, bukan yang sedang dibutuhkan oleh penerima persembahan. Oleh karenanya berikan persembahan kepada yang wajib menerima persembahan sesuai yang anda miliki

III. Landasan Alkitab dan Refleksi Teologis

No
Landasan Alkitab
Refleksi Teologis
1
Kejadian 4 : 3-4 ( Persembahan Kain dan Habil ).
Kain dan Habil memberikan persembahan kepada Tuhan. Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, hal memberi persembahan kepada Tuhan telah menjadi kebutuhan. Persembahan dilakukan untuk membangun hubungan lebih dekat kepada Tuhan Sang pemilik hidup. Persembahan Kain berupa sebagian pertaniannya ditolak. Persembahan Habel berupa anak sulung kambingnya diterima. Tidak semua persembahan berkenan di hati Tuhan.

Persembahan menjadi bagian integral kebutuhan hidup.  Oleh sebab itu perlu dilakukan dengan dasar yang tepat. Sebab tidak semua persembahan diterima oleh Tuhan. Kain memberikan persembahan menurut jalan pikirannya sendiri. Sementara Habel mengikuti tuntutan Allah. Korban kambing menandai cucuran darah kehidupan. Habel memberi bersama pengakuan akan dosa-dosanya. Ia membawa persembahan kepada Tuhan disertai penyesalan dan kerendahan hati yang dalam. Sangat berbeda dengan Kain yang merasa sudah memberi dengan lebih cenderung sombong.
2
Kejadian 8 : 20-21 ( Persembahan Nuh )
Nuh berterima kasih kepada Tuhan dengan segala rencanaNya yang indah. Ia bersama keluarganya lepas dari dari murka Allah. Semua itu hanya oleh kehendak Allah sendiri. Ia dengan keluarganya merasa bangga menjadi keluarga yang dikhususkan dan terpilih. Selanjutnya ia membawa persembahan yang diambil dari jenis binatang yang tidak haram.  Persembahan Nuh dikenan Tuhan, dan Tuhan berfirman untuk tidak mengutuk bumi lagi.   
Persembahan Nuh berkenan di hati Tuhan, sebab ia mempersembahkan yang tidak haram. Ia sangat cermat dalam memilih untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Kecermatan meneliti sesuai kesukaan Tuhan perlu menjadi dasar yang penting dalam setiap memberi persembahan. Usahakan untuk selalu jeli, hati-hati, tidak asal-asalan saat membawa persembahan kepada Tuhan. Persembahan yang benar, yang dikhususkan bagi Tuhan, senantiasa akan menjaga kelangsungan hidup kita.
3
Bilangan 31 : 50 ( persembahan berhubungan dengan barang-barang berharga )
Ketika bangsa pilihan Tuhan berhasil dalam peperangan, sehingga mereka berhak merampas semua harta berharga milik lawan. Umat Tuhan merasa bahwa keberhasilan  yang diraih telah menyisakan dosa. Oleh karenanya mereka diwajibkan melakukan pendamaian dengan membawa hasil rampasan sebagai persembahan untuk pendamaian.
Persembahan dinilai sebagai pengganti nyawa yang berharga dan terhilang. Persembahan dihubungkan dengan hidup dan keselamatan. Persembahan diberikan ketika mengalami keberuntungan. Oleh karenanya,  adalah suatu keharusan orang Kristen memberi persembahan karena beruntung telah memperoleh kehidupan dan keselamatan dalam Kristus Yesus.
4
Ulangan 16 : 16-17 ( Persembahan berhubungan dengan hari Raya )
Hari Raya bagi umat Tuhan merupakan moment penting untuk mengingat sejarah karya Tuhan secara khusus dalam kehidupan manusia. Hari raya identik dengan sukacita. Tiap-tiap mengalami sukacita, umat harus ingat akan Tuhan. Tuhan sendiri yang menentukan tempat perayaan. Di dalam perayaan itu umat harus membawa serta persembahan.
Persembahan menjadi lambang sukacita umat Tuhan. Oleh karenanya, memberi persembahan harus disertai dengan suasana hati penuh sukacita, bukan karena terpaksa. Persembahan juga merupakan pelengkap ibadah ( bdk. Ay 16b ).  Jangan dengan tangan hampa saat menghadap Tuhan, tetapi harus berserta persembahan walaupun hanya sekedar. Sekedar bukan berarti tanpa ukuran. Disana ditentukan “ sesuai berkat yang diberikan Tuhan “. Besar kecilnya persembahan tergantung dari pengakuan akan berkat yang diterima dari Tuhan.
5
1 Samuel 10 : 27 ( Persembahan hubungannya dengan Raja )
Pengangkatan seorang Raja Israel adalah karena permintaan bangsa Israel yang merasa butuh seorang pemimpin. Raja Saul deberikan Allah untuk memimpin bangsa Israel. Ada suatu kewajiban rakyat memberi persembahan kepada Raja yang telah dipilih Tuhan.
Persembahan menjadi cerminan  iman dan keyakinan kepada Tuhan yang sudah memberi sesuai yang dibutuhkan manusia.  
6
2 Raja-Raja 12 : 1-5 ( Persembahan sebagai dukungan kelangsungan peribadatan )
Raja Yoas dipandang baik di mata Tuhan. Ia mampu mengelola keuangan yang  masuk dengan memilah-milah antara untuk kebutuhan keluarga, para imam serta perawatan rumah ibadat.
Sebaiknya kita perlu menjadi bendahara Tuhan yang baik. Cakap mengelola, dengan  tepat memilah-milah serta menggunakan. Setiap persembahan perlu diberikan secara khusus. Artinya, jangan sampai memberi persembahan, masih saja dikat-kaitkan dengan kebutuhan yang lain. Praktek yang demikian mesti segera diluruskan. Misalnya dengan menghitung berapa kita harus memberikan persembahan setelah dihitung-hitung bersama kebutuhan yang ada. Akibatnya, persembahan terkesan sebagai yang tersisa, dan bukan yang tersisihkan.
7
1 Tawarikh 16 : 29  ( Persembahan dengan Ibadah )
Cukuplah jelas ketika umat menghadap tuhan untuk sujud dan beribadah, harus membawa serta persembahan.  Pada bagian ini termasuk rangkaian sukacitaatas kemenangan Daud. Maka persembahan adalah wujud pengakuan kepada Allah yang  senantiasa turut serta dalam serangkaian perjuangan dan kegiatan manusia sepanjang hidup.
Persembahan merupakan wujud nyata iman kepada Tuhan yang selalu ikut campur tangan dalam karya penyelamatan umat. Melalui persembahan yang dibawa, secara serentak ungkapan syukur dan terima kasih serta kerendahan hati manusia di hadapan Tuhan. Kerendahan hati sendiri selalu menjadi keinginan Tuhan atas umat-Nya. Memberi persembahan kepada Tuhan bukan berarti kita sudah lebih atas segala-galanya. Sebaliknya, semakin nyata akan kemiskinan kita di hadapan Tuhan. (bdk. Mat. 5 : 3 )
8
1 Tawarikh 29 : 5 ( Persembahan untuk pembangunan rumah Tuhan )
Ada kebanggaan tersendiri bagi Daud untuk segera membangun Bait Suci. Walaupun Tuhan sudah berfirman bahwa belum waktunya, namun begitu kuat keinginan Daud untuk mewujudkan keinginannya yang mulia. Dia mengajak semua rakyat untuk berpartisipasi. Apapun yang diberikan untuk pembangunan bait suci adalah persembahan kepada Tuhan.
Persembahan bukan hanya berbentuk uang atau materi, tetapi tenaga, pikiran untuk tujuan yang mulia, yaitu menyatakan rencana Allah adalah persembahan yang berharga. Berilah kepada Tuhan sesuai yang kamu punya dan ada padamu.
9
1 Tawarikh 29 : 14 ( Persembahan dan Iman )
Setelah Daud berhasil menghimpun dana untuk pembangunan Bait Suci, berkatalah dia kepada Tuhan bahwa semua yang dibawa umat kepada Tuhan sebagai persembahan tidak lain adalah milik Tuhan sendiri. Sebab Tuhan-lah yang empunya segala sesuatu. Tidak ada segala sesuatu yang tidak berasal dari Tuhan. Maka jika umat mampu membawa persembahan kepada Tuhan bukan berarti memberi, tetapi mengembalikan.
Dalam perspektif iman, persembahan identik dengan pengembalian kepada Tuhan. Oleh karenanya, adalah suatu keharusan bagi umat untuk memberi persembahan kepada Tuhan. Barangkali jika diperkenankan, tidak mempersembahkan berarti masih menanggung hutang kepada Tuhan. Sekalipun demikian, tidak berarti Tuhan akan menagih. Umat Tuhan sendirilah yang mesti menyadari bahwa mempersembahkan bukanlah memberi tetapi mengembalikan.  Tidak ada satupun manusia punya kewenangan atas segala sesuatu, sebab semuanya adalah milik Tuhan yang untuk sementara waktu dipercayakan kepada manusia tertentu. Oleh karenanya perlu dipertanggungjawabkan kembali keberadaannya kepada Tuhan. Sehubungan dengan pertanggungjawaban, maka barangsiapa yang setia, akan ditambahkan.
10
Mazmur 5:4 ( Persembahan sebagai yang utama )
Setiap pagi, waktu buka hari untuk beraktifitas, terutama bekerja mencari nafkah, umat Tuhan lebih dahulu menata persembahannya. Persembahan menjadi awal perjalanan karya mencari nafkah. Persembahan tidak diberikan atau sekurang-kurangnya dipersiapkan ketika sudah mendapatkan rejeki, namun justru sebelum menerima rejeki. Inilah iman.
Persembahan bukanlah umpan untuk memancing Tuhan. Persembahan adalah sebuah keyakinan kepada Tuhan untuk segala yang akan dilakukan. Orang beriman selalu memberi persembahan sebagai yang utama  kepada Tuhan. Ia tidak menunggu Tuhan memberi rejeki, tetapi percaya Tuhan pasti akan memberi.
11
Mazmur 68 : 30 (Persembahan dan janji)
Bagian nyanyian Mazmur ini merupakan sebuah ungkapan sukacita akibat kemenangan dalam peperangan antar bangsa. Tuhan diyakini sebagai yang terlibat secara langsung pada sebuah pertempuran dan membuahkan hasil gemilang. Umat Tuhan sangat mengakui ini yang akhirnya membuat janji atau sebuah komitmen. Janji itu sendiri harus kuat, sehingga diperlukan saksi. Bait Suci Yerusalem dijadikan saksi hidup yang kokoh dan takkan goyah untuk selamanya.
Persembahan memiliki peranan penting dalam rangka menguatkan janji. Allah memang tidak mungkin akan ingkar janji, tetapi manusialah yang sering ingkar janji. Maka dengan persembahan yang dibawa, pertanda umat selalu berusaha untuk mengokohkan janji-janjinya dihadapan Tuhan.
12
Mazmur 96 : 8 ( Persembahan dan Ibadat )
Bagian ini merupakan sebuah nyanyian syukur bagi Tuhan. Ada seruan untuk memberitakan kabar keselamatan yang telah dilakukan oleh Tuhan bagi umat-Nya. Secara kolektif umat mesti bersyukur kepada Tuhan yang telah memihak. Ibadat persekutuan salah satunya menjadi wahana secara bersama-sama mengucap syukur. Di dalam peribadatan tersebut diserukan membawa persembahan.
Persembahan bagian melekat dari peribadatan Kristen. Persembahan menjadi bagian pewujudnyataan pemberitaan dan kabar keselamatan dari Allah. Semua jenis persembahan yang dihimpun bersama ibadat harus benar-benar dijadikan sarana pemberitaan keselamatan dari Tuhan. Aplikasinya dapat berupa pembiayaan terselenggaranya pelayanan diakonia, marturia, koinonia, teologia dan penatalayanan yang sarat dengan materiil.  
13
Yesaya 1 : 13 ( Persembahan harus kudus )
Tujuan mempersembahkan hanyalah kepada Tuhan. Tuhan adalah kudus tidak bisa didekati oleh yang tidak kudus. Maka dengan persembahan juga harus kudus. Dalam bagian ini persembahan yang kudus adalah sebuah sikap hormat kepada Tuhan.
Persembahan merupakan bentuk konkrit memuliakan Tuhan. Segala hal yang dilakukan oleh umat demi mendukung kemuliaan Tuhan adalah pantas disebut persembahan. Dengan demikian persembahan tidak terbatas pada materi tetapi kesanggupan memberikan miliknya kepada Tuhan, untuk mendukung pekerjaan-Nya hingga nama Tuhan semakin ditinggikan oleh semua bangsa.
14
Yesaya 18  ( Persembahan dan Iman kepada Tuhan )
Pada bagian ini bermaksud mengingatkan semua bangsa untuk mengakui hanya Tuhan empunya segala kuasa. Tak ada kekuatan yang melebihi kekuatan Allah. Semua bangsa akan mengalami kesia-siaan bahkan kekecewaan jika mengandalkan kekuatannya sendiri atau kekuatan lain selain Allah.
Persembahan hanya layak bagi Tuhan. Oleh persembahan berarti seseorang telah meyakini terlebih meng-imani hanya Tuhan yang mampu menolong hidupnya.
15
Maleakhi 1 : 10 ( Persembahan dan kelayakannya )
Persembahan menjadi sarana rehabilitasi hubungan Allah dengan umat. Toh demikian tidak berarti oleh persembahan hubungan itu pasti menjadi baik. Ada satu  hal penting  yang mesti diperhatikan ialah   : persembahan bukan alat untuk memancing kasih Allah, sehingga dapat direkayasa oleh manusia menurut pikirannya sendiri

Bijaksanalah senantiasa saat memberikan persembahan. Tuhan Mahatahu, mengetahui semua hal yang ada pada kita. Baik suara hati hingga materi yang pantas sebagai persembahan, IA selalu tahu, tidak dapat ditipu. Berikan kepada-Nya yang terbaik dan sungguh berkenan kepeda-Nya.
16
Matius 8 : 4 ( Persembahan dan pentahiran )
Dalam bagian ini tetap merujuk tradisi Perjanjian Lama bahwa penyucian atau pentahiran merupakan bentuk pembebasan dari segala kutuk. Persembahan diberikan sebagai ucapan syukur karena bebas dari kenajisan dan kutuk.
Persembahan menjadi bagian melekat bagi setiap orang percaya. Tuhan Yesus yang sudah menyerahkan nyawa-Nya bagi penebusan dosa orang percaya telah nyata. Oleh karenanya, persembahan sudah semestinya dilakukan sebagai ucapan syukur atas pembebasan dari kutuk dan dosa. Tembok pemisah karena kenajisan sudah dirobohkan oleh kematian Tuhan Yesus di kayu salib. Persembahan bukan alat untuk membawa kepada pengudusan, tetapi sebagai ucapan syukur oleh sebab Allah sendiri berdasar kasih karunia dalam Yesus Kristus.
17
Matius 15 : 5 ( Persembahan dan sikap etis moral )
Tuhan Yesus mengecam orang yang dengan sengaja mengelabuhi tanggungjawab moral etis dengan persembahan. Persembahan bukan berarti menggantikan tanggungjawab moral.
Persembahan adalah tanggungjawab kepada Tuhan. Persembahan tidak berarti meniadakan tanggungjawab sosial. Bandingkan dengan Matius 22 : 21. Apa yang wajib diberikan kepada kaisar dan kepada Allah perlu dipisahkan.
18
Matius 23 : 18 ( Persembahan lebih tinggi dari mezbah )
Mezbah adalah tempat untuk meletakkan jenis-jenis persembahan, terutama korban bakaran.
Nilai persembahan tidak ditentukan oleh besar- kecilnya atau banyak-sedikitnya jumlah yang ada. Nilai persembahan ditentukan oleh bobot persembahan itu sendiri. Artinya, motivasi serta pengkhususan demi kemuliaan Tuhan itulah yang menjadi pengukur. Oleh karenanya, persembahan yang benar jika diberikan atas dasar kesungguhan dan melalui penelitian hati nurani yang bersih. Semua itu hanya demi kemuliaan nama Tuhan, bukan untuk mencari pembenaran diri.
19
Matius 27 : 6 ( Persembahan dan kekudusannya )
Cerita Yudas yang mati bersama penyesalannya telah sengaja membuang uang hasil pengkhianatannya. Mungkin maksud Yudas adalah meninggalkan uangnya serta menyerahkan kepada pengelola bait suci tetapi tanpa pesan. Sementara imam-imam kepala menganggap najis atas uang Yudas, dan tidak pantas untuk bait suci. Pekerjaan suci harus diupayakan dengan prosedur dan proses yang suci pula.
Persembahan tidak bisa untuk membeli kekudusan. Persembahan tidak dapat dipakai sarana penghapus dosa. Oleh karenanya persembahan sebelum dipersembahkan terlebih dahulu diperiksa proses pemerolehannya. Yang menjadi pertanyaan sekarang, mungkinkah setiap orang yang mempersembahkan harus ditanya lebih dahulu dari mana persembahan didapat ? Jangan salah-paham ! Yang mesti melakukan pemeriksaan adalah yang bersangkutan sendiri. Persembahan akan ditolak jika bahkan dianggap kekejian bila itu hasil dari kejahatan.


Arti Persepuluhan Dalam Agama Kristen Menurut Alkitab

Persepuluhan pasti sudah terdengar akrab di telinga kita. Pertanyaan-pertanyaan juga muncul dalam benak kita terkait persepuluhan atau sering juga orang menyebutnya perpuluhan. Lantas, apakah persepuluhan ini? Kenapa harus sepersepuluh? Kenapa tidak seperlima, seperenam, atau seperduabelas? Apakah persepuluhan berbicara tentang jumlah yang harus dipatok mati sebesar sepersepuluh, tak boleh lebih atau kurang?
Apakah persepuluhan harus dalam bentuk uang? Bagaimana jika kita memberi hasil ladang kita? Kemana harus memberikan persepuluhan? Haruskah ke gereja atau boleh bebas kemana saja? Apakah persepuluhan harus wajib diberikan? Apakah hanya orang yang sudah bekerja yang wajib memberikannya? Bagaimana dengan seseorang yang berprofesi sebagai mahasiswa atau siswa? Semua pertanyaan ini hanya bisa kita temukan jika arti persepuluhan kita maknai dengan cara yang benar. Berikut akan di jelaskan arti persepuluhan dalam Agama Kristen Menurut Alkitab melalui artikel ini.
Persepuluhan Dalam Gereja Menurut Ajaran Gereja
Jika melihat dalam perjanjian lama, persepuluhan merupakan perintah yang ada dalam hukum Musa dan harus ditaati oleh seluruh bangsa Israel. Pada waktu itu, persepuluhan diberikan kepada Bani Lewi untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka yaitu pekerjaan pada Kemah Pertemuan (Bilangan 18 : 21). Itulah sebabnya kenapa Bani Lewi tidak akan mendapat milik pusaka di tengah-tengah orang Israel (Bilangan 18 : 24). Bani lewi yang mendapat persembahan persepuluhan dari bangsa Israel ternyata juga harus mempersembahkan persembahan persepuluhannya kepada Allah sebagai persembahan khusus (Bilangan 18 : 26), inilah beberapa keterangannya sebagai berikut:
· Bangsa Israel pada waktu itu memberikan persembahan persepuluhannya dalam bentuk hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan atau dari lembu sapi atau kambing domba (Imamat 27 : 30; Imamat 27 : 32).
· Tetapi, ada juga diantara mereka yang memberikan persembahan persepuluhannya dalam bentuk uang yaitu jika ada yang tidak dapat mengangkutnya karena tempat yang akan dipilih Tuhan untuk menegakkan nama-Nya terlalu jauh sehingga harus diuangkan (Ulangan 14 : 24).
· Di dalam perjanjian lama, bangsa Israel memberikan persembahan persepuluhannya ke tempat yang dipilih TUHAN, Allah, untuk membuat nama-Nya diam disana (Ulangan 12 : 11).
· Dan tempat tersebut tentulah tempat yang pasti berada di tanah Israel pula karena kita mengetahui di perjanjian lama, bangsa yang dikasihi oleh Allah adalah bangsa Israel.
· Di dalam 2 Tawarikh 31 : 12, ditekankan untuk memberikan persepuluhan dengan setia. Dan di kitab Nehemia, Amos, Maleakhi, mengenai persepuluhan tetap terus difirmankan.

Tujuan Persepuluhan Dalam Gereja Untuk Umat Kristiani

Berbeda dengan apa yang telah kita bahas mengenai persepuluhan di perjanjian lama, di perjanjian baru kita hanya dapat mengetahui sedikit tentang persepuluhan. Bahkan tak ada hal penekanan sedetail di perjanjian lama yang dapat kita temukan. Dalam Matius 23 : 23, Lukas 11 : 42 memang ditekankan untuk memberikan persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan, tetapi tetap mengingat yang terpenting dari hukum taurat : keadilan, belas kasihan dan kesetiaan, sehingga Matius mengatakan yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Firman inilah yang dapat menjadi dasar bagi kita untuk memberikan persepuluhan sekalipun mungkin ada banyak pengeluaran atau ada hutang yang harus dibayar atau jika punya kerinduan atau tergerak oleh belas kasihan untuk memberikan kepada seseorang yang ada di sekitar kita yang kesulitan makan dan lainnya.
Jadi bagaimana agar dapat mengerjakan keduanya? Kalau memang tidak memungkinkan untuk memberikan tepat sepersepuluh dari apa yang kita punya oleh karena melakukan hal ini, berdasarkan kebenaran firman Tuhan ini tidak salah jika menguranginya sehingga kurang dari sepersepuluh persembahan persepuluhan yang kita berikan. Tetap ingat, jika memang benar-benar tidak memungkinkan. Tapi jika alasannya karena sesuatu di luar ini, misalnya untuk hedonisme sehingga mengurangi persepuluhan, saya menyarankan kita untuk bertobat. Jadi tetap berhikmat dalam memberikan persepuluhan jika harus menguranginya, sebagai berikut:
· Tidak ada secara gamblang dituliskan dalam perjanjian baru tentang tempat memberikan persepuluhan. Suku-suku lewi tidak ada lagi di perjanjian baru, lalu kemana memberikan persepuluhan?
· Di zaman perjanjian baru, semuanya sudah digenapi oleh kematian dan kebangkitan Kristus sehingga tak perlu lagi mempersembahkan korban melalui suku lewi seperti di perjanjian lama sehingga tak lagi memberikan persepuluhan kepada suku lewi.
· Lalu kemana? Ke tempat yang memang benar-benar mengerjakan kerinduan/visi Allah/amanat agung-Nya, kesanalah kita memberikan persepuluhan, entah itu ke gereja atau sebuah komunitas Kristen di kampus atau tempat lainnya yang memang mengerjakan hal itu.
· Jadi tetap dituntut hikmat Allah dalam memutuskannya dan berdoalah supaya persepuluhan yang kita berikan benar-benar dialokasikan untuk pekerjaan Allah.
· Suatu kebenaran yang pasti baik dari perjanjian lama maupun dari perjanjian baru berdasarkan ayat-ayat Alkitab yang sudah kita baca terkait persepuluhan, maka yang terpenting dari persepuluhan adalah ketaatan dan kesetiaan serta motivasi yang benar.
· Dikatakan di dalam Alkitab ‘memberikan’ persepuluhan bukan ‘membayarkan’. Dengan kata lain, kita memberikan apa yang merupakan pemberian Allah yang telah kita terima sebelumnya dan dengan kata lain, tak ada satupun yang menjadi kepunyaan kita. Segala sesuatunya adalah milik Allah.
· Dan inilah yang menjadi motivasi kita memberikan persepuluhan : Kebergantungan kepada Allah. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatunya milik-Nya, maka kita pasti terus bergantung pada-Nya, sehingga sekalipun uang di rekening atau di kantong kita berkurang, kita tetap memberikan persepuluhan oleh karena iman kita padaNya bahwa Dia yang memelihara hidup kita, bukan karena materi yang kita miliki yang membuat kita terus hidup dan bertahan.
Dan dengan motivasi yang benar seperti ini, pastilah kita tidak pernah tidak taat dalam memberikan persepuluhan. Bukankah firman-Nya mengatakan : “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? …. Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu : Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu” (Matius 6 : 26 – 29). Persepuluhan bukan soal jumlah, tapi soal ketaatan. Ayo taat memberikan persepuluhan dengan motivasi yang benar.
Demikian artikel mengenai arti persepuluhan dalam agama kristen menurut alkitab, semoga artikel ini memberikan pemahaman terhadap arti persepuluhan dalam agama kristen menurut alkitab dan dapat kita terapkan dalam memberikan perpuluhan yang merupakan ucapan syukur atas berkah yang kita terima.
Ulangan 16 :16b - 17
yang terpenting dalam mempersembahkan itu adalah
sesuai dengan berkat yang diberikan kepada kita, ini yang tidak di pahami
oleh umat Tuhan, akhirnya mempersembahkan atau persembahan hanya sekedarnya.
yang kedua :
Persembahan itu tidak di batasi 10% tapi bisa separuh bahkan seluruh hidup
akan tetapi apakah kita sudah melakukannya, jangankan separuh atau seluruh hidup sedangkan yang sepuluh persen saja tidak bisa atau tidak mau, oleh karena itu belajar persepuluhan itu adalah belajar berbagi dengan sesama kita.

Penutup.
Dari Kajian dan penelusuran tentang persembahan yang diawali dengan korban dengan berbagai alasannya, maka penulis mencoba untuk memahami kenapa dan apa yang menyebabkan hal ini ditulis dalam Kitab suci, tidak lain dan tidak bukan agar supaya kita memahami dari berbagai hal serta dari berbagai sudut pandang yang bermacam macam, sehingga baik dasar yang dipakai oleh beberapa orang untuk nelusur (nelesih) tentang persembahan baik persembahan sebagai bukti ungkapan syukur maupun persepuluhan bahkan seluruh hidup, sebenarnya didalamnya ada hal yang terlepas dari pemahaman kita yaitu tentang peduli, dan berbagi. Peduli tidak hanya dalam kata kata, namun juga dengan tindakan nyata. Terkadang kita sendiri menyampaikan kebenaran firman Tuhan bukan sebagai kepanjangan mulut Tuhan, namun tidak jarang pula kita seperti orang farisi, yang hanya menyampaikan, menyampaikan dan menyampaikan tetapi tidak bisa bahkan tidak mau melakukannya, sehingga benar apa kata firman kita tak ubahnya seperti gong yang dipukul nyaring bunyinya akan tetapi didalamnya tidak ada apa apanya. Tidak jarang pula kita menjadi hakim dari kitab suci sedangkan kitab suci itu ditulis supaya kita mengetahui awal sampai akhirnya mengapa demikian sehingga kita bisa mengambil pelajaran yang berharga, kalau kita sebelumnya sudah menghakimi maka disana kita tidak akan menemukan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Tuhan. Sehingga kita sering lupa bahwa kita ini siapa dan apa yang harus kita perbuat serta kita lakukan dalam mengenal firman Tuhan yang kudus, karena penulis kitab suci sendiri bukanlah menulis secara asal asalan saja namun mereka dipilih oleh Tuhan supaya kita yang hidup pada saat ini dan saat yang akan datang  dapat mamahami karya Tuhan sejak dunia ini dijadikan. Penulis yang merangkum penelaahan dari berbagai sumber dari berbagai pendapat yang notabene adalah yang sudah paham dengan firman Tuhan, maka penulis mencoba mengatakan ini supaya kita tidak semakin jauh dalam memahami siapa diri kita, dimana keberadaan kita, apa yang harus kita lakukan dan yang paling penting apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita. Dan penulis akan mencoba bagaimana yang harus kita lakukan sebagai umat kepunyaanNya, dalam melakukan kehendakNya didalam kehidupan kita.
Yang Pertama, adalah tentang korban kenapa ini dilakukan? Supaya berhati hati dalam berbuat sesuatu dalam hidup sehingga tidak mendatangkan dosa, sehingga tidak melaksanakan korban tebusan, sehingga yang ada hanyalah berkorban untuk ungkapan syukur.
Yang ke dua, dalam Ulangan 16 : 16b - 17 adalah perintah bagi bangsa Israel pada saat itu agar mulai berfikir tidak hanya bagi dirinya sendiri namun juga berfikir untuk orang lain juga, kemudian dengan berjalannya waktu ternyata dari sebelas suku bangsa Israel itu melupakan satu suku yang bekerja di rumah ibadah, mereka juga perlu makan untuk hidup oleh karena itu munculah apa yang tertulis dalam Maleakhi 3 : 10. Kembali lagi karena apa? Ya karena apa yang sudah diperintahkan tidak dilakukan oleh umat Tuhan, Jadi ayat tersebut muncul bukan tanpa sebab. Oleh karena itu kembali lagi kita diperhadapkan lagi pada perjanjian Baru.
Yang ke tiga, pada perjanjian baru baik yang tersurat maupun yang tersirat tidak dijelaskan tentang persepuluhan, akan tetapi bukankah Tuhan Yesus sudah memberikan contoh maupun teladan bagi kita tentang kehidupan bersama, baik dalam persekutuan maupun dalam bermasyarakat, yang pada intinya justru kita diajarkan untuk peduli maupun berbagi, pada saat memberi makan 5000 orang, kemudian 4000 orang, bukankah ini juga sudah nyata. Sehingga pada perjalanan berikutnya dicontohkan lagi seperti apa yang dilakukan oleh Zakheus yang separuh dari harta miliknya dibagikan kepada orang orang miskin, kemudian sampailah kita juga pada apa yang dilakukan oleh janda miskin yang mempersembahkan seluruh hidupnya. Bukankah segala sesuatu yang ada pada diri dan hidup kita saat ini adalah seperti pada Roma 11 : 36, maka yang layak untuk kita lakukan adalah seperti yang tertulis pada Roma 12 ; 1, Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat sesuai dengan Roma 12:1 itu ketika kita sendiri masih berkutat dengan keinginan, kemauan dan selalu menuruti kebutuhan keinginan daging saja(diri sendiri). Memang benar kita yang hidup pada kasih karunia itu tidak ada belenggu belenggu yang mengancam seperti pada perjanjian lama, kalau kita tidak melakukan ini itu pasti ada sangsinya, akan tetapi sebnenarnya yang hidup di jaman kasih karunia itu tanggung jawabnya semakin berat. Kristen bukan hanya sebuah kata yang menggambarkan kita adalah milik Kristus, namun lebih dari pada itu bahwa Kristen itu adalah pengikut Kristus, sehingga ketika kita menjadi pengikut atau lebih tepatnya menjadi muridNya, sudah semestinya kita meniru atau malakukan seperti apa yang sudah diteladankan olehNya, Sudahkah kita melakukan seperti apa yang sudah dicontohkan oleh Dia? Kalau belum apa yang menyebabkan kita belum melakukan, apa penghalangnya, mengapa penghalang itu menguasai hidup kita, sehingga pada akhirnya kita akan semakin jauh dari harapanNya.

Ternyata ketika kita dapat melakukan apa yang diperintahkan kepada kita melakukan Kasih yang didalamnya ada kepedulian dan saling memperhatikan, maka kita akhirnya dapat melakukan seperti pada Efesus 5 : 20 - 21 sehingga pada akhirnya kita memperoleh mahkota kehidupan apabila kita mempunyai misi seperti tertulis pada Filipi 1: 21 - 22. sehingga hidup dan mati kita tidak akan pernah sia sia.

Kiranya apa yang sudah penulis sampaian dapat membahani kita semua dalam memahami persembahan, baik persembahan yang berupa materi maupun yang berupa kehidupan.